Hadits: Amalan yang Paling Dicintai oleh Allah: Sedikit Tapi Kontinyu

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Saudaraku yang dirahmati Allah,
Pada kesempatan kajian ini, kita akan membahas sebuah hadits yang amat agung, namun seringkali disalahpahami dalam kehidupan sehari-hari. Hadits ini berbicara tentang hubungan antara amal dan surga, tentang pentingnya menjaga konsistensi amal, dan tentang kenyataan bahwa tidak ada satu pun di antara kita yang bisa masuk surga hanya karena amalnya. Ini bukan hanya teks biasa, tapi fondasi pemahaman dalam akidah dan amal seorang Muslim.

Di tengah masyarakat, sering kita jumpai dua kecenderungan yang berlawanan namun sama-sama berbahaya. Di satu sisi, ada sebagian orang yang merasa ujub dengan amalnya. Mereka merasa telah banyak berbuat baik, merasa cukup dengan ibadah yang telah dilakukan, lalu tanpa sadar merasa “pantas” untuk mendapatkan surga. Padahal, Rasulullah ﷺ yang paling mulia sekalipun bersabda bahwa dirinya tidak akan masuk surga kecuali dengan rahmat Allah.

Di sisi lain, ada pula yang terlalu meremehkan amal. Dengan dalih bahwa surga adalah karena rahmat, sebagian orang menjadi malas, meninggalkan amal, dan tidak berusaha meningkatkan kualitas ibadahnya. Bahkan ada yang berkata, “Yang penting ikhlas, meski sedikit amal.” Padahal Islam mengajarkan untuk menyempurnakan amal semampunya, dan terus berusaha mendekati kesempurnaan.

Maka di sinilah pentingnya kita mempelajari hadits ini. Ia menata kembali orientasi hati kita dalam beramal: bahwa kita harus bersungguh-sungguh, tetapi tetap rendah hati. Bahwa kita harus istiqamah, meskipun dalam amal kecil. Bahwa kita tidak boleh bergantung pada amal, tetapi harus selalu berharap rahmat Allah. Hadits ini bukan sekadar teori—tetapi pegangan hidup yang akan menjaga kita dari kesombongan, keputusasaan, dan amal yang sia-sia.

Semoga dengan memahami hadits ini, kita tidak hanya memperbaiki cara beramal, tapi juga memperbaiki cara berpikir dan merasa dalam menjalani ibadah sehari-hari. Maka mari kita simak bersama dengan hati yang hadir dan jiwa yang rindu akan petunjuk-Nya. 


Dari Aisyah radhiallahu 'anha, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمُ الْجَنَّةَ عَمَلُهُ، وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Bersikap luruslah (dalam beramal), dan mendekatlah (jika tidak mampu sempurna), serta ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun di antara kalian yang akan masuk surga karena amalnya. Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling terus-menerus meskipun sedikit.

HR Al-Bukhari (6464), dan Muslim (2818)

Mp3: https://t.me/mp3qhn/251

 


Arti Per Kalimat


سَدِّدُوا 

Bersikap luruslah (berusahalah untuk tepat dan benar dalam amal)

Perkataan ini merupakan ajakan agar setiap Muslim mengarahkan dirinya kepada kebenaran secara maksimal. Kata "سَدِّدُوا" berasal dari akar kata س-د-د yang memiliki makna ‘lurus’ atau ‘tepat sasaran’. Dalam konteks ini, maksudnya adalah bersungguh-sungguh dalam beramal sesuai dengan tuntunan syariat dan tidak menyimpang dari jalan yang benar. Ini mencakup kesungguhan dalam mengikuti sunnah, menghindari bid’ah, dan menjadikan niat sebagai dasar amal yang lurus. Perintah ini juga mengandung dorongan untuk bersikap pertengahan, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula meremehkan dalam beribadah. Maka, setiap amal harus diupayakan sesuai petunjuk Rasulullah ﷺ, agar diterima di sisi Allah.


وَقَارِبُوا

Dan mendekatlah (jika tidak mampu mencapai yang sempurna)

Perkataan ini menunjukkan kemurahan Allah dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Ketika seseorang tidak mampu mencapai kesempurnaan dalam amal karena keterbatasan manusia, maka diperintahkan untuk mendekati kesempurnaan itu sebisanya. Kata "قَارِبُوا" berasal dari akar kata ق-ر-ب yang berarti ‘dekat’. Ini adalah bentuk keringanan dalam syariat: jika seseorang tidak bisa menyempurnakan ibadah, maka hendaknya tetap berusaha mendekatinya, tidak meninggalkannya sama sekali. Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 286. Maka, amal yang dilakukan sebisanya tetap bernilai dan berpahala, selama dilakukan dengan niat dan usaha terbaik.


وَاعْلَمُوا أَنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمُ الْجَنَّةَ عَمَلُهُ

Dan ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun di antara kalian yang akan memasukkan dirinya ke surga dengan amalnya

Perkataan ini menjelaskan prinsip penting dalam akidah Islam, yaitu bahwa masuk surga bukan semata karena amal perbuatan. Kata "لَنْ يُدْخِلَ... عَمَلُهُ" menekankan bahwa amal bukanlah sebab mutlak yang bisa menjamin masuk surga. Amal adalah sebab yang kuat untuk mendapatkan rahmat Allah, tetapi surga adalah karunia, bukan harga yang dibayar dengan amal. Rasulullah ﷺ sendiri, manusia terbaik, menyatakan bahwa bahkan beliau tidak akan masuk surga karena amalnya, melainkan karena rahmat Allah. Ini menunjukkan bahwa sebaik apa pun amal seseorang, itu tidak sebanding dengan nikmat surga, dan bahwa kita sangat bergantung kepada kasih sayang Allah.


 وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling terus-menerus meskipun sedikit

Perkataan ini menunjukkan bahwa Allah mencintai amal yang konsisten. Konsistensi dalam ibadah lebih penting daripada banyaknya amal yang hanya sesekali dilakukan. Kata "أَدْوَمُهَا" berasal dari د-و-م yang berarti terus-menerus atau langgeng. Amal yang sedikit namun dilakukan secara rutin menunjukkan keistiqamahan, kesungguhan hati, dan kecintaan terhadap ibadah. Dalam banyak hadits, Rasulullah ﷺ juga mencontohkan amal yang ringan namun dilakukan secara terus-menerus, seperti dzikir harian, shalat malam meskipun dua rakaat, atau membaca Al-Qur’an walau beberapa ayat. Maka, keberkahan dan kecintaan Allah tidak terletak pada kuantitas semata, tetapi juga pada kualitas dan kontinuitas amal tersebut.



Syarah Hadits


حَثَّ الإِسْلَامُ عَلَى مُلَازَمَةِ الرِّفْقِ فِي الْأَعْمَالِ،
Islam menganjurkan untuk senantiasa berlaku lembut dalam melakukan pekerjaan,

وَالاقْتِصَارِ عَلَى مَا يُطِيقُ الْعَامِلُ،
dan mencukupkan diri dengan apa yang mampu dilakukan oleh seorang pelaku amal,

وَيُمْكِنُهُ الْمُدَاوَمَةُ عَلَيْهِ.
serta memungkinkan dia untuk terus-menerus melakukannya.

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَقُولُ النَّبِيُّ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سَدِّدُوا"،
Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sasarlah kebenaran,"

أَيْ: اقْصِدُوا الصَّوَابَ وَلَا تُفْرِطُوا؛
yakni: berusahalah mencapai yang benar dan janganlah kalian berlebihan;

فَتُجْهِدُوا أَنْفُسَكُمْ فِي الْعِبَادَةِ؛
sehingga kalian memforsir diri kalian sendiri dalam ibadah;

لِئَلَّا يُفْضِيَ بِكُمْ ذَلِكَ إِلَى الْمَلَلِ،
karena hal itu dapat menyebabkan kalian merasa bosan,

فَتَتْرُكُوا الْعَمَلَ فَتُفَرِّطُوا،
kemudian meninggalkan amal dan menjadi lalai.

"وَقَارِبُوا"،
"Dan lakukanlah yang mendekati kebenaran,"

أَيْ: إِنْ لَمْ تَسْتَطِيعُوا الْأَخْذَ بِالْأَكْمَلِ، فَاعْمَلُوا بِمَا يُقَارِبُهُ،
yakni: jika kalian tidak mampu melakukan yang sempurna, maka lakukanlah yang mendekatinya,

"وَاعْلَمُوا أَنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ"،
"Dan ketahuilah bahwa amal kalian tidak akan memasukkan kalian ke surga,"

يَعْنِي أَنَّ الطَّاعَاتِ الَّتِي تَقُومُونَ بِهَا،
yakni bahwa ketaatan yang kalian lakukan,

لَيْسَتْ عِوَضًا وَثَمَنًا لِلْجَنَّةِ، وَلَا تُسَاوِيهَا،
bukanlah pengganti atau harga dari surga, dan tidak setara dengannya,

فَالْجَنَّةُ سِلْعَةٌ غَالِيَةٌ لَا يُكَافِئُهَا عَمَلٌ،
karena surga adalah sesuatu yang mahal dan tidak dapat diseimbangkan oleh amal,

وَإِنَّمَا تَدْخُلُونَهَا بِرَحْمَةِ اللَّهِ.
dan kalian hanya akan memasukinya karena rahmat Allah.

وَلَا تَعَارُضَ بَيْنَ هَذَا الْحَدِيثِ وَبَيْنَ قَوْلِهِ تَعَالَى: {ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} [النحل: 32]

Dan tidak ada pertentangan antara hadis ini dengan firman Allah Ta’ala: {Masuklah kalian ke surga disebabkan apa yang telah kalian kerjakan} [QS. An-Nahl: 32]

وَكَمَا قَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: فَإِنَّ الْمَنْفِيَّ نَفْيٌ بِبَاءِ الْمُقَابَلَةِ وَالْمُعَاوَضَةِ،

sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah: Yang dinafikan adalah penafian dengan 'ba’ kompensasi atau pertukaran

 كَمَا يُقَالُ: بِعْتُ هَذَا بِهَذَا،

sebagaimana seseorang mengatakan: Saya menjual ini dengan ini

 وَمَا أُثْبِتَ أُثْبِتَ بِبَاءِ السَّبَبِ،

sedangkan yang ditetapkan adalah dengan 'ba’ sebab'

 فَالْعَمَلُ لَا يُقَابِلُ الْجَزَاءَ وَإِنْ كَانَ سَبَبًا لِلْجَزَاءِ؛

karena amal tidak dapat menjadi kompensasi atas ganjaran, meskipun ia menjadi sebab ganjaran tersebut

 وَلِهَذَا مَنْ ظَنَّ أَنَّهُ قَامَ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِ وَأَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إِلَى مَغْفِرَةِ الرَّبِّ تَعَالَى وَعَفْوِهِ، فَهُوَ ضَالٌّ،

oleh karena itu, siapa yang menyangka bahwa dia telah melaksanakan kewajibannya dan tidak membutuhkan ampunan serta pengampunan dari Tuhan Yang Maha Tinggi, maka ia tersesat

 كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَنْ يَدْخُلَ أَحَدُ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ"،

sebagaimana telah ditegaskan dalam hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: 'Tidak ada seorang pun yang masuk surga karena amalnya

قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ"،

Mereka bertanya: 'Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Tidak juga aku, kecuali jika Allah meliputiku dengan rahmat dan karunia-Nya

 وَرُوِيَ "بِمَغْفِرَتِهِ".

dan dalam riwayat lain disebutkan: 'Dengan ampunan-Nya.'

 ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا"،

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan terus-menerus

 أَيْ: مَا اسْتَمَرَّ فِي حَيَاةِ الْعَامِلِ،

yakni: amal yang terus berlangsung dalam kehidupan seorang pelaku amal

 "وَإِنْ قَلَّ"

walaupun sedikit

 أَيْ: وَإِنْ كَانَ عَمَلًا قَلِيلًا؛ لِأَنَّهُ يَسْتَمِرُّ،

yakni: walaupun amal itu sedikit; karena amal tersebut tetap berlanjut

بِخِلَافِ الْكَثِيرِ الشَّاقِّ،

berbeda dengan amal yang banyak namun berat

وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ عَلْقَمَةَ، قَالَ:

Dalam Sahih Muslim dari Alqamah, disebutkan bahwa ia berkata

"سَأَلْتُ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ

'Aku bertanya kepada Ummul Mukminin, Aisyah

قَالَ: قُلْتُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، كَيْفَ كَانَ عَمَلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟

Aku berkata: Wahai Ummul Mukminin, bagaimana amal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

 هَلْ كَانَ يَخُصُّ شَيْئًا مِنْ الْأَيَّامِ؟

Apakah beliau mengkhususkan amalnya pada hari-hari tertentu?

 قَالَتْ: لَا، كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً،

Ia berkata: Tidak, amal beliau senantiasa dilakukan terus-menerus'

 وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَطِيعُ؟!"

dan siapa di antara kalian yang mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?'

 وَكَانَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إِذَا عَمِلَتِ الْعَمَلَ لَزِمَتْهُ.

Dan Aisyah radhiyallahu ‘anha, jika ia melakukan suatu amal, maka ia konsisten melakukannya.

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/113728

 


Pelajaran dari hadits ini


Hadits ini memberikan pelajaran penting tentang keseimbangan dalam beribadah, keikhlasan dalam amal, serta pemahaman akan hubungan antara amal dan rahmat Allah. Berikut adalah pelajaran yang dapat diambil:

1. Pentingnya Keseimbangan dalam Beribadah

  • "سَدِّدُوا" (Saddidu): Artinya adalah menargetkan kesempurnaan, tetapi dengan cara yang realistis. Islam mengajarkan untuk menghindari sikap berlebihan (ifrath) dalam beribadah sehingga tidak menyebabkan kelelahan fisik atau mental yang berujung pada kebosanan dan meninggalkan amal.
  • "وقارِبُوا" (Qaribu): Jika tidak mampu mencapai tingkat tertinggi, berusahalah mendekatinya. Amal harus dilakukan dengan usaha terbaik yang mampu dilakukan oleh pelakunya.

2. Pemahaman tentang Rahmat Allah dan Amal

  • Hadits ini menegaskan bahwa amal ibadah tidak dapat menjadi "harga" surga karena surga terlalu agung untuk dibandingkan dengan amal manusia. Surga adalah anugerah Allah yang diberikan berdasarkan rahmat-Nya.
  • Ayat dalam QS. An-Nahl: 32 yang menyebutkan "masuklah kalian ke dalam surga karena amal yang telah kalian lakukan" tidak bertentangan dengan hadits ini, karena amal adalah sebab diterimanya rahmat, tetapi bukan penukaran langsung dengan surga.

3. Kesadaran akan Ketergantungan kepada Allah

  • Nabi Muhammad ﷺ sendiri menyatakan bahwa beliau tidak akan masuk surga kecuali dengan rahmat Allah, meskipun amal beliau sangat sempurna. Ini mengajarkan kita untuk tidak merasa cukup dengan amal dan tetap rendah hati memohon ampunan dan rahmat Allah.

4. Pentingnya Konsistensi dalam Beramal

  • "وأَنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ": Amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan terus-menerus, meskipun kecil. Amal kecil tetapi konsisten lebih bermanfaat daripada amal besar tetapi hanya dilakukan sesekali.
  • Dalam riwayat Aisyah ra., dijelaskan bahwa Rasulullah ﷺ selalu menjaga konsistensi dalam amal. Bahkan ketika amal itu sedikit, beliau terus melakukannya. Konsistensi ini menunjukkan sifat istiqamah dalam ketaatan.

5. Keutamaan Kesederhanaan dan Ketahanan dalam Amal

  • Amalan yang terlalu berat atau terlalu banyak sering kali sulit dipertahankan. Oleh karena itu, Islam menganjurkan amal sederhana tetapi berkelanjutan.
  • Contoh dari kehidupan Rasulullah ﷺ dan para sahabat mengajarkan bahwa ketahanan dalam amal lebih penting daripada kuantitas yang besar dalam waktu singkat.

6. Hindari Merasa Cukup dengan Amal

  • Sikap merasa cukup dengan amal, sehingga merasa tidak membutuhkan rahmat Allah, adalah kesalahan besar. Amal kita tidak pernah sempurna, dan kita senantiasa membutuhkan ampunan dan kasih sayang-Nya.
  • Ini juga mengajarkan tawadhu (kerendahan hati) kepada Allah dan menyadari kelemahan diri di hadapan-Nya.

7. Pelajaran Praktis dari Kehidupan Rasulullah ﷺ

  • Rasulullah ﷺ tidak mengkhususkan hari tertentu untuk amal tertentu, tetapi amal beliau terus-menerus dilakukan setiap saat.
  • Aisyah ra. menekankan pentingnya menjaga amal agar menjadi kebiasaan yang mendalam dalam hidup, tidak hanya dilakukan karena dorongan sementara.

8. Manfaat Konsistensi Amal

  • Konsistensi memberikan dampak positif yang berkelanjutan: Amal yang konsisten memberikan pengaruh yang lebih besar pada diri sendiri dan lingkungan.
  • Konsistensi menciptakan disiplin spiritual: Dengan beramal secara konsisten, seseorang melatih dirinya untuk istiqamah dalam ketaatan kepada Allah.

Kesimpulan

Hadits ini adalah pedoman penting dalam menjalani kehidupan beribadah yang seimbang, penuh keikhlasan, dan konsisten. Ia mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam amal, menyadari kelemahan manusia, dan selalu bergantung kepada rahmat Allah. Pada saat yang sama, hadis ini menegaskan keutamaan amal yang terus-menerus, meskipun kecil, karena nilai keberlanjutannya lebih tinggi di sisi Allah.

1. Menjaga Kelurusan dalam Amal

Perkataan "سَدِّدُوا" (Bersikap luruslah) menunjukkan pentingnya ketepatan dan kelurusan dalam setiap amal yang dikerjakan. Seorang Muslim diperintahkan untuk senantiasa berusaha meluruskan niat, cara, dan tujuan amal sesuai dengan ajaran Rasulullah ﷺ. Amal yang lurus bukan hanya terkait bentuknya, tetapi juga kesesuaiannya dengan sunnah. Ini menuntut ilmu dan kehati-hatian dalam beramal. Allah Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Mulk ayat 2:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

(Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalnya).
Yang dimaksud “terbaik amalnya” oleh sebagian ulama adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Maka kesungguhan untuk menjaga kelurusan amal adalah jalan utama untuk mendapatkan penerimaan dari Allah.


2. Beramal dengan Usaha Maksimal Meskipun Tidak Sempurna

Perkataan "وَقَارِبُوا" (Dan mendekatlah) memberikan pesan bahwa meskipun seseorang tidak mampu mencapai kesempurnaan amal, ia tetap diperintahkan untuk berusaha mendekatinya. Allah Maha Pemurah dan tidak membebani hamba di luar kemampuan. Perintah ini menjadi penghibur bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik, waktu, atau kondisi lain dalam beramal. Allah Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 286:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

(Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya).
Dengan demikian, selama ada niat yang benar dan usaha untuk mendekati ideal, amal tersebut tetap dihitung dan bernilai besar di sisi Allah. Ini juga mengajarkan sifat tawadhu’ dalam ibadah—tidak merasa sudah sempurna—serta memberi semangat untuk terus memperbaiki diri.


3. Rahmat Allah adalah Kunci Masuk Surga

Perkataan "وَاعْلَمُوا أَنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمُ الْجَنَّةَ عَمَلُهُ" (Dan ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun di antara kalian yang akan memasukkan dirinya ke surga dengan amalnya) mengajarkan prinsip akidah yang sangat penting, yaitu bahwa amal bukan sebab utama masuk surga. Surga hanya dapat diraih karena rahmat dan karunia Allah. Ini tidak berarti amal tidak penting, melainkan amal adalah sebab turunnya rahmat, bukan sebagai pembayaran surga. Rasulullah ﷺ bersabda dalam riwayat Muslim:

لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ. قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ

(Tidak seorang pun yang amalnya akan memasukkannya ke surga.” Mereka bertanya, “Termasuk engkau juga wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, termasuk aku, kecuali jika Allah melimpahkan kepadaku rahmat dan karunia-Nya.”)
Kesadaran ini menumbuhkan rasa rendah hati dan ketergantungan total kepada Allah, serta menjauhkan dari ujub (bangga diri) dalam beramal.


4. Keutamaan Amal yang Konsisten

Perkataan "وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ" (Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling terus-menerus meskipun sedikit) menunjukkan bahwa Allah mencintai amal yang dikerjakan secara rutin meskipun kecil. Hal ini mengajarkan bahwa keistiqamahan adalah kunci utama dalam ibadah. 


Konsistensi menandakan kesungguhan hati, kebersinambungan dalam hubungan dengan Allah, dan ketekunan dalam menempuh jalan ibadah. Amal yang terus-menerus juga memperkuat keimanan dan menjadi tabungan pahala harian yang stabil, daripada amal yang besar namun hanya sesekali.


5. Amal Tidak Diukur dari Banyaknya, Tapi dari Kualitas dan Kontinuitasnya

Hadits ini secara keseluruhan juga mengajarkan bahwa ukuran amal bukan terletak pada kuantitas, tetapi pada kualitas, keikhlasan, dan kesinambungannya. Banyak orang tertipu dengan amal besar yang hanya dilakukan sesekali dan merasa cukup dengannya. Padahal, amal kecil yang dikerjakan setiap hari jauh lebih bermakna. Dalam Surah Al-Kahfi ayat 110 Allah berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

(Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya).
Ini menunjukkan pentingnya amal shalih yang murni dan sesuai petunjuk. Maka dari itu, fokus utama bukan hanya pada banyaknya amal, tetapi pada bagaimana amal itu dilakukan dan dijaga.


6. Keseimbangan antara Harapan dan Ketakutan

Hadits ini juga mengandung pelajaran tentang pentingnya menyeimbangkan antara raja’ (harapan) dan khauf (takut). Kita diharapkan bersungguh-sungguh dan berharap rahmat Allah untuk bisa masuk surga, namun tidak merasa aman hanya dengan amal. Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk tidak bersandar pada amal semata, dan tidak pula berputus asa dari rahmat Allah. Dalam Surah Al-Hijr ayat 56:

وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ

(Dan tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya kecuali orang-orang yang sesat).
Maka seorang mukmin selalu berada di antara harapan kepada rahmat dan takut akan siksa-Nya, sambil terus beramal dengan istiqamah.


7. Amal adalah Sebab Bukan Jaminan

Hadits ini juga mengoreksi pemahaman sebagian orang yang mengira bahwa banyaknya amal pasti menjamin surga. Perkataan Nabi ﷺ ini menegaskan bahwa amal hanyalah sebab, bukan jaminan. Allah berhak mengampuni atau mengazab siapa yang Dia kehendaki. Surga adalah murni rahmat-Nya. Maka tidak boleh seorang pun merasa aman hanya karena merasa sudah banyak beramal. Bahkan orang yang paling saleh pun tetap memohon rahmat Allah. Ini menjadi landasan kerendahan hati, tawakal, dan kejujuran dalam beribadah.


8. Tidak Meremehkan Amal Kecil

Pelajaran tambahan dari hadits ini adalah bahwa amal kecil yang dilakukan terus-menerus memiliki nilai besar. Maka jangan meremehkan amal sederhana seperti senyum, sedekah ringan, membaca dzikir pagi-sore, atau shalat sunnah dua rakaat. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا

(Jangan meremehkan sedikit pun dari kebaikan) [HR. Muslim].
Setiap amal yang dilakukan dengan ikhlas bisa menjadi jalan menuju keridhaan Allah jika dijaga secara rutin. Maka seorang mukmin cerdas menjaga amal kecil agar menjadi besar di sisi Allah.


9. Menumbuhkan Rasa Tawadhu’ dan Rasa Butuh kepada Allah

Kesadaran bahwa surga diraih karena rahmat Allah menumbuhkan rasa tawadhu’ (rendah hati) dan kebutuhan yang dalam kepada-Nya. Seorang hamba akan senantiasa berdoa, meminta taufik, dan tidak pernah merasa cukup dengan amalnya. Ia akan terus meminta perlindungan dari riya’, sum’ah, dan ujub. Dalam Surah Al-Fatihah kita diajarkan untuk selalu berkata:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

(Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan).
Ayat ini mempertegas bahwa ibadah kita hanya berhasil dengan pertolongan dari Allah.


10. Pendidikan Jiwa melalui Konsistensi Amal

Hadits ini juga menunjukkan bahwa konsistensi amal menjadi sarana pendidikan jiwa (tazkiyah). Dengan melatih diri untuk disiplin dalam ibadah, hati menjadi terbiasa, dan ruhani menjadi kuat. Amal yang dikerjakan setiap hari, meskipun ringan, akan membentuk kebiasaan dan karakter yang kokoh. Ini sejalan dengan prinsip dalam Surah Asy-Syams ayat 9:

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا

(Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya).

Kesucian jiwa tidak diraih sekaligus, tetapi melalui proses pembiasaan dan perbaikan terus-menerus.  


Penutup Kajian


Alhamdulillah, kita telah bersama-sama menyimak dan merenungi hadits yang begitu agung, yang keluar dari lisan manusia paling mulia—Rasulullah ﷺ. Hadits ini, meski singkat, mengandung pelajaran yang dalam: tentang bagaimana semestinya kita beramal, bagaimana kita menata niat, menjaga semangat, dan tetap rendah hati dalam perjalanan menuju ridha Allah.

Kita belajar bahwa amal yang kita lakukan—betapapun banyak atau beratnya—tidak akan bisa menjadi tiket otomatis masuk surga. Surga adalah karunia Allah, dan hanya dengan rahmat-Nya kita bisa mencapainya. Namun, bukan berarti kita berhenti beramal. Justru kita diperintahkan untuk bersungguh-sungguh, meluruskan amal, dan menjaga kontinuitasnya, karena amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling terus-menerus, walaupun sedikit.

Maka harapan kita bersama setelah kajian ini, semoga setiap dari kita pulang membawa kesadaran baru: bahwa setiap amal, sekecil apa pun, tidak remeh di sisi Allah jika dilakukan secara konsisten dan ikhlas. Bahwa kita perlu memperbaiki amal, bukan merasa cukup. Bahwa kita harus terus berdoa, agar amal kita diterima dan menjadi sebab turunnya rahmat-Nya.

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang istiqamah, tidak tertipu dengan amal, tidak putus asa dari rahmat-Nya, dan selalu memperbaiki diri hingga akhir hayat. Dan semoga hadits ini menjadi lentera dalam perjalanan hidup kita menuju surga-Nya yang penuh rahmat. 

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ



Belajar membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa harakat


حث الإسلام على ملازمة الرفق في الأعمال، والاقتصار على ما يطيق العامل، ويمكنه المداومة عليه.
وفي هذا الحديث يقول النبي صلى الله عليه وسلم: "سددوا"، أي: اقصدوا الصواب ولا تفرطوا؛ فتجهدوا أنفسكم في العبادة؛ لئلا يفضي بكم ذلك إلى الملل، فتتركوا العمل فتفرطوا، "وقاربوا"، أي: إن لم تستطيعوا الأخذ بالأكمل، فاعملوا بما يقرب منه، "واعلموا أنه لن يدخل أحدكم عمله الجنة" يعني أن الطاعات التي تقومون بها، ليست عوضا وثمنا للجنة، ولا تساويها، فالجنة سلعة غالية لا يكافئها عمل، وإنما تدخلونها برحمة الله، ولا تعارض بين هذا الحديث وبين قوله تعالى: {ادخلوا الجنة بما كنتم تعملون} [النحل: 32]؛ وكما قال ابن تيمية: فإن المنفي نفي بباء المقابلة والمعاوضة، كما يقال : بعت هذا بهذا، وما أثبت أثبت بباء السبب، فالعمل لا يقابل الجزاء وإن كان سببا للجزاء؛ ولهذا من ظن أنه قام بما يجب عليه وأنه لا يحتاج إلى مغفرة الرب تعالى وعفوه، فهو ضال، كما ثبت في الصحيح عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال : " لن يدخل أحد الجنة بعمله " ، قالوا : ولا أنت يا رسول الله ؟ قال : " ولا أنا، إلا أن يتغمدني الله برحمة منه وفضل " وروي " بمغفرته.
ثم قال النبي صلى الله عليه وسلم: "وأن أحب الأعمال إلى الله أدومها"، أي: ما استمر في حياة العامل، "وإن قل"؛ أي: وإن كان عملا قليلا؛ لأنه يستمر، بخلاف الكثير الشاق، وفي صحيح مسلم عن علقمة، قال: "سألت أم المؤمنين عائشة، قال: قلت: يا أم المؤمنين، كيف كان عمل رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ هل كان يخص شيئا من الأيام؟ قالت: لا، كان عمله ديمة، وأيكم يستطيع ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يستطيع؟!" وكانت عائشة رضي الله عنها إذا عملت العمل لزمته

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers