Hadits: Keutamaan Menutup Aib Orang Lain
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillah, shalawat dan salam kita haturkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hadirin yang dirahmati Allah,
Di tengah kehidupan bermasyarakat yang semakin terbuka dan didominasi oleh media sosial, kecenderungan untuk membuka aib orang lain semakin marak terjadi. Banyak orang dengan mudahnya menyebarkan kesalahan, kekeliruan, atau kejelekan sesama, baik melalui percakapan langsung maupun unggahan di dunia maya. Padahal dalam Islam, kehormatan seorang muslim adalah sesuatu yang sangat dijaga, bahkan lebih mulia daripada Ka'bah menurut sebagian riwayat. Fenomena saling membongkar aib ini bukan hanya merusak keharmonisan sosial, tetapi juga mencederai prinsip ukhuwah islamiyah yang menjadi fondasi umat.
Sikap cepat menghakimi, mempermalukan, dan menyebarkan aib, seringkali dilakukan tanpa melihat apakah orang tersebut sudah bertaubat atau apakah kesalahan itu benar-benar terbukti. Budaya ini bertolak belakang dengan akhlak Rasulullah ﷺ yang dikenal sangat menjaga rahasia dan kehormatan sahabat-sahabat beliau, bahkan terhadap musuh sekalipun. Dalam masyarakat kita, orang yang menutupi kesalahan saudaranya justru dianggap tidak tegas atau menyembunyikan kebenaran, padahal sejatinya ia sedang mengamalkan salah satu akhlak mulia yang sangat dijanjikan ganjaran besar di akhirat.
Inilah mengapa hadits ini menjadi sangat penting untuk dikaji. Hadits ini mengandung pesan yang tidak hanya menyentuh ranah akhlak pribadi, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang luas. Dengan memahami hadits ini, kita tidak hanya belajar tentang keutamaan menutupi aib, tetapi juga diajak untuk membangun budaya saling menjaga, saling menolong dalam kebaikan, dan saling menghormati dalam kehidupan bermasyarakat.
Urgensinya terletak pada perlunya membangun kesadaran kolektif bahwa tidak semua kebenaran harus diumbar, dan tidak semua kesalahan layak untuk diumumkan. Ada hikmah besar di balik sikap menutup aib, yaitu turunnya pertolongan dan perlindungan Allah kelak di hari yang tidak ada perlindungan selain dari-Nya. Maka, mempelajari hadits ini bukan sekadar menambah ilmu, tetapi juga menguatkan karakter dan akhlak sebagai muslim sejati.
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:
لا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا في الدُّنْيا، إلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَومَ
القِيامَةِ
Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba yang lain di dunia, kecuali Allah akan menutupi aibnya di hari Kiamat
HR.
Muslim (2590)
Syarah Hadits
Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan kepada akhlak yang baik, salah satunya adalah
menutup aib.
فَإِذَا رَأَى
الْإِنْسَانُ مِنْ أَخِيهِ مَعْصِيَةً فَلَا يَفْضَحْهُ وَلَا يَنْشُرْهَا بَيْنَ
النَّاسِ، بَلْ يَسْتُرُهَا
Jika seseorang melihat saudaranya melakukan dosa, janganlah ia mempermalukannya
dan jangan pula menyebarkannya di tengah masyarakat, tetapi tutupilah aib
tersebut.
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يُبَيِّنُ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَا يَسْتُرُ مُسْلِمٌ أَخَاهُ
الْمُسْلِمَ فِي أَمْرٍ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا، إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dalam hadis ini, Nabi ﷺ menjelaskan bahwa jika seorang Muslim
menutupi aib saudaranya dalam urusan dunia, maka Allah Yang Maha Agung akan
menutupi aibnya pada hari kiamat.
فَالْجَزَاءُ مِنْ
جِنْسِ الْعَمَلِ
Karena balasan itu sesuai dengan jenis perbuatannya.
وَيَكُونُ سَتْرُهُ
لَهُ بِسَتْرِ عُيُوبِهِ وَمَعَاصِيهِ عَنْ إِذَاعَتِهَا عَلَى أَهْلِ الْمَحْشَرِ
Penutupannya itu berupa ditutupinya aib dan dosanya dari tersebarnya di hadapan
orang-orang di Padang Mahsyar.
وَقَدْ يَكُونُ
بِتَرْكِ مُحَاسَبَتِهِ عَلَيْهَا وَذِكْرِهَا لَهُ
Dan mungkin juga berupa dibiarkannya tanpa dihisab atas dosa-dosa itu dan tidak
disebutkan kepadanya.
وَلَيْسَ فِي هَذَا مَا
يَقْتَضِي تَرْكَ الْإِنْكَارِ عَلَى الْعَاصِي بِالْحُسْنَى سِرًّا
Namun, ini tidak berarti meninggalkan pengingkaran kepada orang yang berbuat
maksiat secara baik-baik dan secara rahasia.
وَلَيْسَ فِيهِ تَرْكُ
الشَّهَادَةِ عَلَيْهِ بِذَلِكَ عَلَى مَا إِذَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ وَنَصَحَهُ،
فَلَمْ يَنْتَهِ عَنْ قَبِيحِ فِعْلِهِ، ثُمَّ جَاهَرَ بِهِ
Juga tidak berarti meninggalkan kesaksian terhadapnya jika sudah diingkari dan
dinasihati, namun ia tetap tidak meninggalkan perbuatannya yang buruk dan
bahkan melakukannya secara terang-terangan.
لِأَنَّ الْمُسْلِمَ
مَأْمُورٌ بِأَنْ يَسْتَتِرَ إِذَا وَقَعَ مِنْهُ شَيْءٌ مِنْ الْمَعَاصِي
Karena seorang Muslim diperintahkan untuk menutupi dirinya sendiri jika ia
terjerumus dalam suatu dosa.
فَالَّذِي يَظْهَرُ
أَنَّ السَّتْرَ مَحَلُّهُ فِي الْمَعْصِيَةِ الَّتِي قَدِ انْقَضَتْ وَلَا
يَتَعَدَّى أَثَرُهَا إِلَى غَيْرِ الْمُرْتَكِبِ
Yang tampak adalah bahwa menutup aib itu berlaku pada dosa yang telah selesai
dilakukan dan tidak berdampak kepada orang lain.
وَالَّتِي لَا
يُجَاهِرُ بِهَا وَلَا يُصِرُّ عَلَيْهَا
Dan dosa yang tidak dilakukan secara terang-terangan dan tidak terus-menerus.
أَمَّا الْإِنْكَارُ
فَيَكُونُ فِي مَعْصِيَةٍ قَدْ حَصَلَ التَّلَبُّسُ بِهَا
Adapun pengingkaran dilakukan terhadap dosa yang sedang berlangsung.
فَيَجِبُ الْإِنْكَارُ
عَلَيْهِ، وَإِلَّا رَفَعَهُ إِلَى الْحَاكِمِ
Maka wajib dilakukan pengingkaran terhadapnya, atau melaporkannya kepada hakim.
وَلَيْسَ ذَلِكَ مِنَ
الْغِيبَةِ الْمُحَرَّمَةِ، بَلْ مِنَ النَّصِيحَةِ الْوَاجِبَةِ
Hal ini tidak termasuk ghibah yang diharamkan, melainkan nasihat yang wajib.
وَخَاصَّةً إِذَا
اقْتَضَتِ الضَّرُورَةُ
Terutama jika ada kebutuhan yang mendesak.
وَمِنْ ذَلِكَ أَيْضًا:
التَّحْذِيرُ مِنْ شَرِّ مَنْ عُرِفَ بِالسُّوءِ وَنَصِيحَةُ مَنْ يَتَعَامَلُ
مَعَهُ
Termasuk juga memperingatkan dari keburukan orang yang dikenal suka berbuat
buruk dan memberi nasihat kepada orang yang berinteraksi dengannya.
وَمِنْهَا:
الْمُشَاوَرَةُ فِي أَمْرِ الْمُصَاهَرَةِ أَوِ الْمُشَارَكَةِ أَوِ
الْمُجَاوَرَةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ
Juga termasuk musyawarah dalam urusan pernikahan, kerja sama, bertetangga, dan
semisalnya.
وَمِنْهَا: غِيبَةُ
الْمُجَاهِرِ بِفِسْقِهِ أَوْ بِدْعَتِهِ، كَالْخَمْرِ
Termasuk juga adalah menyebutkan dosa orang yang terang-terangan berbuat
maksiat atau bid'ah, seperti meminum khamr.
فَيَجُوزُ ذِكْرُهُ
بِمَا يُجَاهِرُ بِهِ فَقَطْ وَعَدَمُ سَتْرِهِ
Maka diperbolehkan menyebutkan perbuatan yang ia lakukan secara terang-terangan
saja, dan tidak menutupinya.
Pelajaran dari hadits ini
1. Menjaga Kehormatan Sesama
Perkataan لا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا في الدُّنْيا (tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia) mengajarkan nilai utama dalam etika muamalah, yaitu menjaga kehormatan orang lain. Dalam kehidupan sosial, menjaga kehormatan bukan hanya terkait lisan, tetapi juga tindakan yang menjauhkan seseorang dari membuka aib, menyebarkan fitnah, atau mengumbar keburukan orang lain, apalagi di ruang publik seperti media sosial. Islam membangun masyarakat dengan asas saling menghormati dan menjauhkan dari sikap tajassus (mencari-cari kesalahan). Allah berfirman dalam QS Al-Hujurat ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا
(Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain...). Menutupi aib juga menunjukkan keluhuran budi dan akhlak, serta kemampuan untuk menahan diri demi maslahat bersama. Dalam muamalah, sikap ini menciptakan lingkungan bisnis, komunitas, atau keluarga yang harmonis dan saling percaya.
2. Balasan Ilahi yang Sempurna
Perkataan إلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَومَ القِيامَةِ (melainkan Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat) menunjukkan balasan yang sepadan dari Allah kepada hamba yang menjaga kehormatan saudaranya. Ini menegaskan bahwa setiap tindakan baik terhadap sesama manusia akan dibalas dengan kebaikan yang lebih agung di akhirat. Dalam konteks etika sosial dan muamalah, sikap menutup aib menjadi bentuk investasi spiritual jangka panjang. Allah berjanji dalam QS Al-Rahman ayat 60:
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
(Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan pula.)
Rasulullah ﷺ pun bersabda: "من ستر مسلمًا ستره الله في الدنيا والآخرة"
(Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.) [HR. Muslim]. Maka, orang yang tidak membuka aib orang lain sedang menanam benih penjagaan Allah bagi dirinya sendiri. Dalam praktik ekonomi syariah, sikap ini bisa diterapkan dalam menjaga rahasia dagang, menjaga privasi transaksi, dan tidak menyebarluaskan kesalahan administrasi atau keuangan yang belum tentu disengaja, melainkan diselesaikan secara profesional dan penuh adab.
3. Menghindari Ghibah dan Fitnah
Perkataan لا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا في الدُّنْيا juga mengandung larangan tersirat untuk tidak membuka aib, yang berarti pula menjauhi ghibah dan fitnah. Dalam dunia muamalah, ghibah bisa sangat berbahaya—misalnya menyebarkan kabar buruk tentang mitra bisnis atau pelanggan sehingga menimbulkan ketidakpercayaan dan fitnah. Hal ini dilarang keras sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Hujurat ayat 12:
وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
(Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik.)
Menjaga lisan dari membicarakan keburukan orang lain merupakan kunci terciptanya harmoni dalam jaringan sosial dan profesional. Dalam konteks bisnis, ini juga menghindarkan fitnah yang bisa memicu konflik hukum atau rusaknya reputasi seseorang.
4. Menanamkan Empati dan Kepedulian Sosial
Perkataan لا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا في الدُّنْيا menanamkan rasa empati—kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Seorang muslim yang sadar bahwa ia pun tak luput dari kekurangan, akan merasa iba terhadap kesalahan orang lain dan tidak tergesa dalam menghakimi. Ini adalah etika yang sangat penting dalam muamalah, di mana interaksi antarindividu sangat rentan terhadap konflik dan kesalahpahaman. Dalam QS An-Nur ayat 22, Allah menyeru:
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
(Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.)
Empati dalam bisnis dan sosial juga berarti memberi kesempatan kedua, membina, bukan menghancurkan karakter orang hanya karena satu kesalahan.
5. Menjadi Penjaga Keamanan Sosial
Perkataan إلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَومَ القِيامَةِ menunjukkan bahwa orang yang menjaga aib saudaranya telah menjadi pelindung bagi stabilitas sosial. Dalam masyarakat yang saling menjaga, fitnah, prasangka, dan kebencian akan berkurang. Ini adalah bentuk kontribusi nyata dalam menciptakan lingkungan muamalah yang damai. Rasulullah ﷺ bersabda:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
(Seorang muslim adalah yang mana muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.) [HR. Bukhari dan Muslim].
Menjadi penjaga kehormatan orang lain adalah bagian dari jihad sosial—menahan diri dari merusak kehormatan sesama dan menguatkan jaringan kepercayaan di antara anggota masyarakat.
6. Mendidik Diri Menjadi Rahmat Bagi Orang Lain
Perkataan ini secara keseluruhan mengajarkan bahwa seorang muslim seharusnya menjadi sumber rahmat, bukan malapetaka bagi saudaranya. Dalam muamalah, ini berarti kita harus menjadi pihak yang menenangkan, bukan membuat resah. Allah berfirman dalam QS Al-Anbiya ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
(Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.)
Setiap muslim yang mencontoh Rasulullah ﷺ dalam hal ini akan berhati-hati dalam bersikap, menimbang maslahat dan mafsadat sebelum bertindak, dan memilih jalan rahmah dalam menyelesaikan konflik, termasuk saat melihat aib saudaranya.
7. Membangun Reputasi dan Kepercayaan dalam Muamalah
Hadits ini juga mengajarkan pentingnya menjaga kepercayaan (amanah) dalam relasi muamalah. Menutup aib bisa juga berarti menjaga kerahasiaan informasi, menjaga kepercayaan klien atau mitra bisnis. Rasulullah ﷺ bersabda:
المجالس بالأمانة
(Majelis itu mengandung amanah.) [HR. Abu Dawud].
Dalam dunia profesional, etika ini menjadi fondasi dalam membangun reputasi jangka panjang. Orang yang terpercaya, tidak mudah membocorkan rahasia, dan menutupi cela akan dicari dan dihormati dalam berbagai urusan.
8. Menghindari Budaya Menghakimi dan Menghukum di Luar Proses Syari'ah
Hadits ini juga menjadi kritik terhadap budaya yang gemar menghukum seseorang di luar proses hukum atau syariat. Dalam muamalah, ini berarti membiarkan orang menyelesaikan masalahnya secara pribadi, atau melalui mekanisme syariah yang adil. Rasulullah ﷺ bersabda:
كل المسلم على المسلم حرام: دمه وماله وعرضه
(Setiap muslim atas muslim lainnya haram (dirusak): darahnya, hartanya, dan kehormatannya.) [HR. Muslim].
Menghakimi tanpa proses dan menyebar aib tanpa sebab yang dibenarkan adalah bentuk kezaliman yang berdampak luas pada stabilitas sosial dan keadilan.
9. Menahan Diri untuk Tidak Menjadi Penyebab Malapetaka Bagi Orang Lain
Hadits ini menyiratkan bahwa ada dampak serius dari menyebarkan aib—yakni menghancurkan martabat, merusak rumah tangga, bahkan menyebabkan kehilangan pekerjaan atau peluang. Islam melarang perbuatan yang memicu kerusakan. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 205:
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
(Dan Allah tidak menyukai kerusakan.)
Maka, seorang muslim harus berpikir panjang sebelum bertindak, dan selalu menjadikan maslahat umat sebagai pertimbangan utama.
10. Menjadi Pemaaf sebagai Ciri Pengusaha Muslim yang Sukses
Dalam praktik ekonomi syariah, hadits ini mendorong perilaku memaafkan dan mendidik, bukan menghukum. Seorang pengusaha atau pelaku muamalah yang memahami hadits ini akan lebih bersabar saat menghadapi kesalahan pegawai, klien, atau mitra. Rasulullah ﷺ bersabda:
ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء
(Sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan menyayangimu.) [HR. Tirmidzi].
Menjadi pemaaf dan penutup aib akan membuka pintu keberkahan dalam bisnis dan muamalah.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, hadits ini memberikan fondasi moral yang sangat penting dalam membangun ekonomi syariah yang berlandaskan rahmat, empati, dan rasa tanggung jawab. Dalam sistem ekonomi yang ideal, menjaga kehormatan sesama adalah bagian dari etika profesional, jaminan sosial, dan stabilitas relasi muamalah. Hadits ini menanamkan prinsip keadilan dan kasih sayang dalam hubungan sosial-ekonomi umat.
Penutupan Kajian
Hadirin yang dirahmati Allah,
Sebagai penutup kajian ini, kita perlu merenungkan kembali faedah agung yang terkandung dalam hadits ini. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa siapa saja yang menjaga aib saudaranya di dunia, maka Allah akan menjaga aibnya di akhirat. Ini bukan sekadar janji, tetapi bentuk keadilan dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang berbuat baik kepada sesama.
Menutupi aib adalah bentuk nyata dari rasa empati, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial. Ia melatih hati untuk tidak terburu-buru menghakimi, serta menjaga lisan dan jari agar tidak mudah menyebarkan sesuatu yang merugikan kehormatan orang lain. Faedah lainnya adalah terciptanya suasana damai, saling percaya, dan ukhuwah yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
Hadits ini juga mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki sisi lemah dan kekurangan. Sebagaimana kita ingin orang lain menutup aib kita, maka demikian pula seharusnya kita memperlakukan mereka. Dengan mengamalkan hadits ini, kita menjaga harga diri sesama muslim dan sekaligus sedang menyiapkan tabungan kebaikan untuk akhirat.
Harapan besar dari kajian ini adalah agar seluruh peserta tidak hanya memahami hadits ini secara teoritis, tetapi juga menjadikannya panduan dalam kehidupan sehari-hari. Baik di lingkungan keluarga, tempat kerja, media sosial, maupun dalam pergaulan umum, marilah kita menjadi pribadi yang tidak mudah membuka aib orang lain, tetapi ringan tangan untuk menasihati secara diam-diam dan menjaga kehormatan sesama.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang menjaga kehormatan saudara kita di dunia, agar Dia pun menjaga kehormatan kita kelak di hari yang penuh ketakutan dan penyesalan, yaitu hari kiamat. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Belajar membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa
harakat
أمر النبي صلى الله عليه وسلم بمحاسن الأخلاق، ومنها الستر، فإذا رأى الإنسان من أخيه معصية فلا يفضحه ولا ينشرها بين الناس، بل يسترها.
وفي هذا الحديث يبين النبي صلى الله عليه وسلم أنه لا يستر مسلم أخاه المسلم في أمر من أمور الدنيا، إلا ستره الله عز وجل يوم القيامة؛ فالجزاء من جنس العمل، ويكون ستره له بستر عيوبه ومعاصيه عن إذاعتها على أهل المحشر، وقد يكون بترك محاسبته عليها وذكرها له.
وليس في هذا ما يقتضي ترك الإنكار على العاصي بالحسنى سرا، وليس فيه ترك الشهادة عليه بذلك على ما إذا أنكر عليه ونصحه، فلم ينته عن قبيح فعله، ثم جاهر به؛ لأن المسلم مأمور بأن يستتر إذا وقع منه شيء من المعاصي، فالذي يظهر أن الستر محله في المعصية التي قد انقضت ولا يتعدى أثرها إلى غير المرتكب، والتي لا يجاهر بها ولا يصر عليها، أما الإنكار فيكون في معصية قد حصل التلبس بها، فيجب الإنكار عليه، وإلا رفعه إلى الحاكم، وليس ذلك من الغيبة المحرمة، بل من النصيحة الواجبة، وخاصة إذا اقتضت الضرورة، ومن ذلك أيضا: التحذير من شر من عرف بالسوء ونصيحة من يتعامل معه. ومنها: المشاورة في أمر المصاهرة أو المشاركة أو المجاورة، ونحو ذلك. ومنها: غيبة المجاهر بفسقه أو بدعته، كالخمر؛ فيجوز ذكره بما يجاهر به فقط وعدم ستره.