Hadits: Mukmin Yang Kuat Lebih Baik Daripada Mukmin Yang Lemah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Saudara-saudariku yang dirahmati Allah,
Dalam kehidupan kita sehari-hari, sering kita dapati banyak dari kaum muslimin yang kehilangan semangat hidup, mudah menyerah dalam menghadapi ujian, terpuruk dalam penyesalan, atau bahkan berlarut-larut dalam rasa kecewa terhadap takdir. Sebagian orang menyesali keputusan masa lalu tanpa mengambil pelajaran, sementara yang lain enggan berusaha dengan dalih "sudah takdir". Ada juga yang semangatnya hanya bertumpu pada kekuatan duniawi, tanpa menggandeng pertolongan dari Allah ﷻ. Fenomena ini menunjukkan adanya kekeliruan dalam memahami bagaimana seharusnya seorang mukmin menjalani hidup dengan iman yang benar, usaha yang sungguh-sungguh, dan sikap hati yang tunduk pada takdir ilahi.
Hadits yang akan kita bahas pada kajian ini adalah hadits yang sangat penting dan relevan dengan kondisi masyarakat kita saat ini. Rasulullah ﷺ memberikan kepada kita panduan hidup yang sangat lengkap—dari bagaimana seharusnya menjadi mukmin yang kuat, bagaimana bersikap terhadap manfaat, bagaimana bergantung pada Allah, hingga bagaimana menyikapi kegagalan atau musibah dengan mental yang benar dan hati yang lapang. Ini bukan hanya soal kekuatan fisik, tapi kekuatan jiwa, kekuatan prinsip, dan kekuatan untuk bangkit dari ujian hidup.
Urgensi mempelajari hadits ini sangat tinggi, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai akidah, adab, motivasi hidup, dan panduan mental yang benar. Ia mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang tidak lemah, yang tahu arah hidupnya, yang tidak larut dalam angan-angan masa lalu, dan yang ridha terhadap qadar Allah. Maka, hadits ini bukan sekadar teori, tapi solusi hidup yang sangat praktis dan aplikatif.
Semoga dengan mengkaji hadits ini secara mendalam, kita semua bisa keluar dari kajian ini dengan semangat yang baru, pandangan hidup yang lebih positif, dan keteguhan iman yang semakin kuat, sehingga kita benar-benar menjadi mukmin yang lebih baik, lebih dicintai oleh Allah, dan lebih bermanfaat bagi sesama.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
"الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ. احْرِصْ عَلَىٰ مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجِزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَٰكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ (لَوْ) تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ".
HR
Muslim (2664)
Arti Per Kalimat
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ
Seorang mukmin yang kuat
Perkataan ini menunjukkan sifat kekuatan yang melekat pada seorang mukmin. Kekuatan di sini bisa mencakup kekuatan iman, ilmu, akhlak, tekad, maupun fisik. Dalam konteks keimanan, kekuatan yang dimaksud adalah keteguhan dalam memegang prinsip-prinsip agama, ketahanan terhadap ujian, dan kesungguhan dalam menjalankan amal. Rasulullah ﷺ menyebutnya sebagai tipe mukmin yang ideal karena mampu memberikan manfaat yang lebih luas, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ
Lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah
Perkataan ini menegaskan keutamaan mukmin yang kuat dibanding mukmin yang lemah. Ia bukan hanya lebih utama (خَيْرٌ), tapi juga lebih dicintai oleh Allah (أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ). Ini menunjukkan bahwa kekuatan bukan hanya nilai duniawi, melainkan nilai ukhrawi yang membawa seseorang kepada kecintaan Allah. Allah mencintai hamba-Nya yang berusaha dengan sungguh-sungguh dan memberi manfaat, karena hal itu mencerminkan kesempurnaan dalam penghambaan.
مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
Daripada mukmin yang lemah
Perkataan ini menunjukkan perbandingan. Mukmin lemah tetap berada dalam keimanan, tetapi kelemahan yang dimaksud bisa meliputi lemahnya tekad, semangat, atau amal. Meskipun dia masih dalam kategori mukmin, tetapi ia tidak mencapai derajat yang diutamakan karena keterbatasannya dalam mengoptimalkan potensi diri untuk kebaikan. Namun demikian, ia tidak tercela secara mutlak, sebagaimana dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ
Dan pada masing-masing ada kebaikan
Perkataan ini menjadi penghibur dan penyeimbang. Rasulullah ﷺ tidak menghilangkan nilai mukmin yang lemah. Meski tidak seutama yang kuat, mukmin yang lemah tetap memiliki sisi kebaikan. Ini menandakan bahwa Islam mengakui keunikan tiap individu dan potensi kebaikan dalam setiap diri, selama ia tetap berada dalam lingkup iman. Allah menilai sesuai dengan usaha dan niat, bukan semata hasil akhir.
احْرِصْ عَلَىٰ مَا يَنْفَعُكَ
Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu
Perkataan ini adalah perintah untuk fokus dan giat dalam mengejar hal-hal yang membawa manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Islam tidak menganjurkan sikap pasif, tetapi menekankan pentingnya usaha dan orientasi yang tepat. Segala aktivitas hidup seorang muslim seharusnya diarahkan untuk memperoleh manfaat sejati, seperti ilmu, amal saleh, kesehatan, dan waktu yang berkualitas.
، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
Dan mintalah pertolongan kepada Allah
Perkataan ini menunjukkan bahwa upaya manusia harus diiringi dengan tawakal dan permohonan pertolongan kepada Allah. Seorang muslim tidak boleh bergantung sepenuhnya pada kekuatannya sendiri, tetapi harus menyadari bahwa segala keberhasilan datang dengan izin Allah. Maka dari itu, doa dan keyakinan kepada Allah adalah kunci untuk mendatangkan keberkahan dalam usaha.
وَلَا تَعْجِزْ
Dan janganlah lemah
Perkataan ini mengingatkan agar jangan menyerah atau berhenti berusaha. Kelemahan yang tercela adalah kelemahan karena malas, takut gagal, atau tidak percaya diri. Dalam Islam, sikap seperti ini tidak dibenarkan karena bertentangan dengan semangat untuk maju dan berbuat baik. Bahkan jika hasil belum terlihat, selama ada ikhtiar, itu adalah bagian dari kekuatan iman.
وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ
Dan jika menimpamu sesuatu
Perkataan ini membuka bagian dari hikmah ketika musibah atau hal tak diinginkan terjadi. Ini adalah pengantar untuk mengajarkan cara merespons takdir. Dalam hidup, musibah pasti akan datang, dan Rasulullah ﷺ memberikan bimbingan bagaimana seharusnya seorang mukmin bersikap ketika itu terjadi.
فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا،
Maka janganlah engkau berkata: "Seandainya aku melakukan ini, niscaya akan terjadi begini dan begitu"
Perkataan ini melarang penggunaan kata "seandainya" dalam konteks penyesalan yang melemahkan. Karena hal itu membuka pintu setan berupa keraguan terhadap takdir Allah, menyalahkan diri sendiri secara berlebihan, bahkan bisa menimbulkan keputusasaan. Islam mengajarkan sikap ridha dan sabar atas apa yang telah ditetapkan.
وَلَٰكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ،
Tetapi katakanlah: "Ini adalah takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki, Dia lakukan"
Perkataan ini adalah bentuk tawakal dan sikap menerima takdir. Dengan mengucapkannya, seseorang menyerahkan urusan kepada Allah dan menjaga hatinya dari keresahan yang sia-sia. Ini bukan bentuk pasrah tanpa usaha, tetapi bentuk ketenangan setelah usaha maksimal telah dilakukan. Perkataan ini juga mencerminkan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam memahami qadar.
فَإِنَّ (لَوْ) تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Karena sesungguhnya "seandainya" itu membuka perbuatan setan
Perkataan ini memperingatkan bahwa sikap berandai-andai secara negatif adalah celah bagi setan untuk merusak hati manusia. Setan bisa membisikkan kesedihan berlebihan, rasa gagal, atau bahkan menggugat kehendak Allah. Maka dari itu, Islam membimbing umatnya untuk segera menutup pintu-pintu bisikan setan dengan kalimat iman yang menguatkan jiwa.
Syarah Hadits
جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِتَعَالِيمَ نَافِعَةٍ، وَوَصَايَا جَامِعَةٍ
Telah datang Nabi ﷺ dengan ajaran-ajaran yang bermanfaat dan wasiat-wasiat yang
mencakup segala hal.
تَبُثُّ فِي المُسْلِمِ الأَمَلَ
وَالشَّجَاعَةَ وَالقُوَّةَ
Yang menanamkan dalam diri seorang Muslim harapan, keberanian, dan kekuatan.
وَتُحَوِّلُهُ إِلَى فَرْدٍ نَافِعٍ وَمُفِيدٍ
يَمْلَأُ الدُّنْيَا خَيْرًا وَعَطَاءً وَإِحْسَانًا
Dan mengubahnya menjadi individu yang bermanfaat dan memberi manfaat, yang
memenuhi dunia dengan kebaikan, pemberian, dan kemurahan hati.
وَفِي هَذَا الحَدِيثِ يُبَيِّنُ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ «المُؤْمِنَ القَوِيَّ» يَعْنِي فِي
إِيمَانِهِ
Dan dalam hadits ini, Nabi ﷺ menjelaskan bahwa 'seorang mukmin yang
kuat', yaitu kuat dalam keimanannya.
وَلَيْسَ المَرَادُ بِهَا قُوَّةَ البَدَنِ
Dan yang dimaksud bukanlah kekuatan tubuh.
«خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ»
'Lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Yang Maha Mulia daripada mukmin yang
lemah.'
وَهُوَ الَّذِي فِي إِيمَانِهِ ضَعْفٌ
Yaitu mukmin yang lemah dalam keimanannya.
«وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ»
'Dan pada masing-masing terdapat kebaikan.'
أَيْ: فِي كُلٍّ وَاحِدٍ مِنَ القَوِيِّ
وَالضَّعِيفِ خَيْرٌ؛ لاشْتِرَاكِهِمَا فِي الإِيمَانِ
Artinya: Pada masing-masing, baik yang kuat maupun yang lemah, terdapat
kebaikan; karena keduanya bergabung dalam keimanan.
وَالقُوَّةُ المَحْمُودَةُ تَحْتَمِلُ
وُجُوهًا عَدِيدَةً
Dan kekuatan yang terpuji mencakup banyak bentuk.
فَمِنْهَا القُوَّةُ فِي الطَّاعَةِ
Di antaranya adalah kekuatan dalam ketaatan.
فَيَكُونُ المُؤْمِنُ أَكْثَرَ عَمَلًا،
وَأَطْوَلَ قِيَامًا، وَأَكْثَرَ صِيَامًا وَجِهَادًا وَحَجًّا
Maka seorang mukmin menjadi lebih banyak beramal, lebih panjang berdiri (dalam
salat), lebih banyak berpuasa, berjihad, dan berhaji.
وَمِنْهَا القُوَّةُ فِي عَزِيمَةِ النَّفْسِ
Dan di antaranya adalah kekuatan dalam keteguhan jiwa.
فَيَكُونُ أَقْدَمَ عَلَى العَدُوِّ فِي
الجِهَادِ
Maka ia lebih terdepan menghadapi musuh dalam jihad.
وَأَشَدَّ عَزِيمَةً فِي تَغْيِيرِ المُنْكَرِ
وَالصَّبْرِ عَلَى إِيذَاءِ العَدُوِّ
Dan lebih kuat tekadnya dalam mengubah kemungkaran dan bersabar atas gangguan
musuh.
وَاحْتِمَالِ المَكْرُوْهِ وَالمَشَاقِّ فِي
ذَاتِ اللهِ
Dan menanggung hal-hal yang tidak disukai dan kesulitan demi Allah.
وَمِنْهَا القُوَّةُ بِالمَالِ وَالغِنَى
Dan di antaranya adalah kekuatan berupa harta dan kekayaan.
فَيَكُونُ أَكْثَرَ نَفَقَةً فِي الخَيْرِ
Maka ia lebih banyak berinfak dalam kebaikan.
وَأَقَلَّ مَيْلًا إِلَى طَلَبِ الدُّنْيَا،
وَالحِرْصِ عَلَى جَمْعِ شَيْءٍ فِيهَا
Dan lebih sedikit keinginannya
(kecondongannya) untuk mencari dunia serta keserakahan dalam
mengumpulkan sesuatu darinya.
وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهِ القُوَّةِ
Dan selain itu, dari bentuk-bentuk kekuatan lainnya.
وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنْهَا الَّتِي تَأْتِي
بِالتَّكَبُّرِ وَالتَّجَبُّرِ
Dan yang tercela darinya adalah kekuatan yang membawa kesombongan dan
kezaliman.
وَضَعْفُ الَّذِي فِيهِ خَيْرٌ هُوَ الَّذِي
يَكُونُ مِنْ لِينِ الجَانِبِ وَالانْكِسَارِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Sedangkan kelemahan yang terdapat kebaikan adalah kelembutan dalam bersikap dan
ketundukan kepada Allah Yang Maha Mulia.
وَيُذَمُّ مِنْهُ ضَعْفُ العَزِيمَةِ فِي
القِيَامِ بِحَقِّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dan yang tercela darinya adalah kelemahan tekad dalam melaksanakan hak-hak
Allah Yang Maha Mulia.
وَيُوصِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ المُسْلِمَ بِقَوْلِهِ: «احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ»
Dan Nabi ﷺ berwasiat kepada Muslim dengan sabdanya: 'Bersungguh-sungguhlah
terhadap apa yang bermanfaat bagimu.'
يَعْنِي: بِالأَخْذِ بِالأَسْبَابِ
Artinya: Dengan mengambil sebab-sebab.
وَمَعَ الأَخْذِ بِالأَسْبَابِ اعْتَمِدْ
عَلَى مُسَبِّبِ الأَسْبَابِ، وَهُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Dan bersama dengan mengambil sebab-sebab, bertawakallah kepada Pemberi Sebab,
yaitu Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi.
وَلِهَذَا قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ: «وَاسْتَعِنْ
بِاللهِ»
Karena itu, beliau ﷺ mengatakan setelahnya: 'Dan mintalah pertolongan kepada Allah.'
لِأَنَّ الإِنْسَانَ إِذَا أَخَذَ
بِالأَسْبَابِ وَلَمْ يَحْصُلْ لَهُ عَوْنٌ وَتَوْفِيقٌ مِنَ اللهِ تَعَالَى
Karena jika seseorang mengambil sebab-sebab namun tidak mendapatkan pertolongan
dan taufik dari Allah Yang Maha Tinggi,
فَلَنْ يَحْصُلَ مَا يُرِيدُهُ
maka ia tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya.
فَمُجَرَّدُ الأَخْذِ بِالأَسْبَابِ لا
يَكْفِي
Karena sekadar mengambil sebab-sebab tidaklah cukup.
بَلْ يُحْتَاجُ إِلَى شَيْءٍ وَرَاءَهُ،
وَهُوَ تَوْفِيقُ اللهِ وَإِعَانَتُهُ عَلَى حُصُولِ ذَلِكَ الشَّيْءِ
Tetapi membutuhkan sesuatu yang melengkapinya, yaitu taufik dari Allah dan
pertolongan-Nya untuk tercapainya hal tersebut.
فَإِنَّهُ لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلَّا
بِاللهِ
Karena sesungguhnya tiada daya dan kekuatan
kecuali dengan Allah.
وَالمُرَادُ بِالأَعْمَالِ النَّافِعَةِ: مَا
يَعُودُ عَلَى الإِنْسَانِ بِخَيْرَيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ مِنَ العِبَادَاتِ
وَالأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ
Dan yang dimaksud dengan amal-amal yang bermanfaat adalah apa yang membawa
kebaikan bagi seseorang dalam urusan dunia dan akhirat, berupa ibadah-ibadah,
amal-amal saleh, dan hal-hal serupa.
ثُمَّ يَنْهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ العَجْزِ
Kemudian Nabi ﷺ melarang kelemahan.
وَالمُرَادُ بِهِ هُنَا: الكَسَلُ
Yang dimaksud di sini adalah kemalasan.
وَهُوَ ضِدُّ النَّشَاطِ
Yaitu lawan dari semangat.
وَهُوَ التَّثَاقُلُ عَمَّا لا يَنْبَغِي
التَّثَاقُلُ عَنْهُ
Yaitu rasa berat terhadap sesuatu yang seharusnya tidak merasa berat
melakukannya.
وَيَكُونُ ذَلِكَ لِعَدَمِ انْبِعَاثِ
النَّفْسِ لِلْخَيْرِ مَعَ وُجُودِ القُدْرَةِ عَلَيْهِ
Hal itu terjadi karena jiwa tidak terdorong untuk melakukan kebaikan meskipun
ada kemampuan untuk melakukannya.
وَلِذَلِكَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيذُ بِاللهِ مِنْهُ
Karena itu, Nabi ﷺ berlindung kepada Allah darinya.
فَمَنْ عَمِلَ بِتِلْكَ الوَصِيَّةِ وَقَامَ
بِهَا عَلَى وَجْهِهَا الأَكْمَلِ
Maka barang siapa mengamalkan wasiat tersebut dan melakukannya dengan sempurna.
ثُمَّ أَصَابَتْهُ بَعْدَ ذَلِكَ مُصِيبَةٌ
Kemudian musibah menimpanya setelah itu.
فَلا يَقُلْ: «لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ
كَذَا وَكَذَا»
Maka janganlah ia berkata, 'Seandainya aku melakukan ini, tentu hasilnya begini
dan begitu.'
فَإِنَّ هَذَا القَوْلَ غَيْرُ سَدِيدٍ
Karena ucapan ini tidak benar.
وَلَكِنْ يَقُولُ مُسْتَسْلِمًا وَرَاضِيًا،
وَمُؤَمِّلًا الخَيْرَ: «قَدَّرَ اللهُ»
Namun, hendaknya ia berkata dengan berserah diri dan ridha, serta mengharapkan
kebaikan, 'Allah telah menetapkan.'
أَيْ: وَقَعَ ذَلِكَ بِمُقْتَضَى قَضَائِهِ
وَعَلَى وَفْقِ قَدَرِهِ
Artinya: Hal itu terjadi sesuai dengan keputusan-Nya dan berdasarkan
takdir-Nya.
«وَمَا شَاءَ فَعَلَ»
'Dan apa yang Dia kehendaki, Dia lakukan.'
فَإِنَّهُ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
Karena Dia adalah yang Maha Melakukan apa yang Dia kehendaki.
وَلا رَادَّ لِقَضَائِهِ، وَلا مُعَقِّبَ
لِحُكْمِهِ
Dan tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya, serta tidak ada yang dapat
membatalkan ketetapan-Nya.
وَبَعْدَ أَنْ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَوْلِ كَلِمَةِ الشَّرْطِ «لَوْ» فِي مِثْلِ هَذَا
المَوْضِعِ
Setelah Nabi ﷺ melarang ucapan bersyarat 'seandainya' dalam situasi seperti
ini.
نَبَّهَ عَلَى أَنَّهَا «تَفْتَحُ عَمَلَ
الشَّيْطَانِ»
Beliau ﷺ mengingatkan bahwa ucapan itu 'membuka amalan setan.'
مِنْ مُنَازَعَةِ القَدَرِ، وَالتَّأَسُّفِ
عَلَى مَا فَاتَ
Berupa penentangan terhadap takdir dan penyesalan atas apa yang telah berlalu.
لِأَنَّ فِيهَا الاعْتِرَاضَ عَلَى القَدَرِ،
وَالتَّحَسُّرَ مِنْ وُقُوعِهِ
Karena dalam ucapan itu terdapat penentangan terhadap takdir dan penyesalan
atas terjadinya.
كَأَنْ يَقُولَ
الإِنْسَانُ حِينَ تَنْزِلُ بِهِ مُصِيبَةٌ: لَوْ فَعَلَ كَذَا مَا أَصَابَهُ
المَرَضُ!
Seperti ketika seseorang berkata saat musibah menimpanya, 'Seandainya aku
melakukan ini, tentu aku tidak terkena penyakit!'
فَالمُسْلِمُ مُطَالَبٌ بِالتَّسْلِيمِ
لِلْقَدَرِ
Seorang Muslim diperintahkan untuk berserah diri kepada takdir.
فَمَا أَرَادَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَاقِعٌ
لا مَحَالَةَ
Apa yang dikehendaki Allah Yang Maha Mulia pasti akan terjadi.
إِذْ قَضَاءُ اللهِ وَقَدَرُهُ لا يَتَخَلَّفُ
Karena keputusan dan takdir Allah tidak mungkin tertunda.
فَمَا دَامَ الإِنْسَانُ قَدِ اجْتَهَدَ فِي
العَمَلِ، وَأَخَذَ بِالأَسْبَابِ
Selama seseorang telah bersungguh-sungguh dalam beramal dan mengambil
sebab-sebab.
مُسْتَعِينًا بِاللهِ، وَطَلَبَ الخَيْرَ
مِنْهُ سُبْحَانَهُ
Dengan memohon pertolongan kepada Allah dan mencari kebaikan dari-Nya Yang Maha
Suci.
فَلا عَلَيْهِ بَعْدَهَا إِلَّا أَنْ
يُفَوِّضَ أَمْرَهُ كُلَّهُ لِلَّهِ
Maka ia tidak memiliki kewajiban lain setelah itu kecuali menyerahkan seluruh
urusannya kepada Allah.
وَلْيَعْلَمْ أَنَّ اخْتِيَارَ اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ هُوَ الخَيْرُ
Dan hendaknya ia mengetahui bahwa pilihan Allah Yang Maha Mulia adalah yang
terbaik.
حَتَّى وَإِنْ كَانَ ظَاهِرُ مَا وَقَعَ لَهُ
مَكْرُوهًا
Meskipun apa yang tampak terjadi padanya adalah sesuatu yang tidak disukai.
وَلا يَسْتَطِيعُ أَحَدٌ مِنَ الخَلْقِ دَفْعَ
قَدَرِ الخَالِقِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَغْيِيرَهُ دُونَ إِذْنٍ مِنَ اللهِ
Dan tidak ada seorang pun dari makhluk yang dapat menolak takdir Sang Pencipta
Yang Maha Mulia atau mengubahnya tanpa izin dari Allah.
وَإِنِ اجْتَمَعَتْ لِذَلِكَ الدُّنْيَا بِمَا
فِيهَا
Meskipun seluruh dunia bersatu untuk melakukannya.
وَفِي الحَدِيثِ: الأَمْرُ بِفِعْلِ
الأَسْبَابِ وَالاسْتِعَانَةِ بِاللهِ
Dan dalam hadits ini (ada Pelajaran yaitu): perintah untuk melakukan
sebab-sebab dan memohon pertolongan kepada Allah.
وَفِيهِ: التَّسْلِيمُ لِأَمْرِ اللهِ،
وَالرِّضَا بِقَدَرِهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dan dalam hadits ini: (juga ada pelajaran untuk) berserah diri kepada perintah
Allah dan ridha terhadap takdir-Nya Yang Maha Mulia.
وَفِيهِ: ثُبُوتُ صِفَةِ المَحَبَّةِ لِلَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ
Dan dalam hadits ini: (juga ada pelajaran yaitu) penetapan sifat cinta kepada
Allah Yang Maha Mulia.
وَفِيهِ: أَنَّ الإِيمَانَ يَشْمَلُ
العَقَائِدَ القَلْبِيَّةَ وَالأَقْوَالَ وَالأَفْعَالَ
Dan dalam hadits ini: (juga ada pelajaran yaitu) bahwa sesungguhnya iman
mencakup keyakinan hati, ucapan, dan perbuatan.
وَفِيهِ: أَنَّ المُؤْمِنِينَ يَتَفَاوَتُونَ
فِي الخَيْرِيَّةِ، وَمَحَبَّةِ اللهِ وَالقِيَامِ بِدِينِهِ، وَأَنَّهُمْ فِي
ذَلِكَ دَرَجَاتٌ
Dan bahwa orang-orang beriman berbeda-beda dalam hal kebaikan, kecintaan kepada
Allah, dan pelaksanaan agama-Nya, serta mereka memiliki tingkatan-tingkatan
dalam hal tersebut.
Maraji:
https://dorar.net/hadith/sharh/62791
Pelajaran dari hadits ini
1. Keutamaan Mukmin yang Kuat
Perkataan "الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ" (Seorang mukmin yang kuat) mengandung pelajaran tentang pentingnya membangun kekuatan dalam keimanan. Seorang mukmin yang kuat adalah ia yang memiliki keteguhan hati, kemantapan iman, keberanian dalam membela kebenaran, serta keuletan dalam beramal saleh. Kekuatan ini mencakup aspek ruhani, intelektual, sosial, dan fisik.
Allah menyukai hamba yang kuat karena darinya muncul pengaruh yang luas dan kontribusi nyata bagi umat. Allah berfirman dalam QS. Al-Hajj: 40:
وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ
لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
(Sungguh, Allah pasti menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa).
Hadits ini mengarahkan umat Islam untuk menjadi pribadi yang tangguh dan proaktif, bukan lemah dan pasrah.
2. Nilai Keutamaan dan Kecintaan Allah
Perkataan "خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ" (lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah) menunjukkan bahwa kekuatan dalam iman bukan hanya menjadikan seseorang lebih baik, tetapi juga lebih dicintai oleh Allah.
Kecintaan Allah merupakan derajat tertinggi bagi seorang hamba. Maka, setiap upaya dalam menguatkan diri—baik dari sisi ilmu, amal, maupun mental—adalah bagian dari pendekatan diri kepada-Nya.
Kekuatan yang diridhai Allah adalah yang menjadikan seseorang lebih taat dan bermanfaat.
3. Pengakuan Kebaikan dalam Setiap Mukmin
Perkataan "وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ" (dan pada masing-masing ada kebaikan) mengajarkan bahwa setiap mukmin, baik yang kuat maupun yang lemah, tetap memiliki nilai kebaikan di sisi Allah. Islam tidak mendiskreditkan siapa pun yang tetap dalam keimanan. Bahkan mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau ekonomi pun tetap dimuliakan selama mereka jujur dalam keimanan dan berusaha semampunya. Rasulullah ﷺ bersabda dalam HR. Muslim:
عَجَبًا
لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ
(Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin... semua urusannya adalah baik baginya). Ini juga mengajarkan sikap tidak meremehkan orang lain dan pentingnya bersyukur atas kemampuan yang kita miliki.
4. Fokus pada Hal yang Bermanfaat
Perkataan "احْرِصْ عَلَىٰ مَا يَنْفَعُكَ" (bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu) adalah perintah untuk memiliki orientasi hidup yang jelas dan produktif.
Seorang muslim harus selektif dalam memilih apa yang dikerjakannya—baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Manfaat di sini bukan hanya materi, tapi juga ilmu, akhlak, amal, dan relasi sosial yang memperkuat iman.
Hidup seorang mukmin seharusnya tidak sia-sia dan penuh makna.
5. Memohon Pertolongan Allah dalam Segala Urusan
Perkataan "وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ" (dan mintalah pertolongan kepada Allah) mengajarkan pentingnya menjadikan Allah sebagai sandaran dalam setiap langkah. Usaha maksimal tetap harus dikombinasikan dengan doa dan tawakal.
Ketergantungan pada Allah adalah ciri orang beriman sejati yang menyadari keterbatasan dirinya. Dalam QS. Al-Fatihah: 5, kita membaca setiap hari:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
(Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan). Maka dari itu, permohonan pertolongan bukan hanya saat genting, tapi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
6. Larangan Bersikap Lemah dan Putus Asa
Perkataan "وَلَا تَعْجِزْ" (dan janganlah lemah) melarang sikap pesimis, putus asa, dan menyerah sebelum berusaha. Islam adalah agama optimisme dan gerakan.
Kelemahan yang tercela adalah ketika seseorang tidak mau mencoba, atau terus-menerus mencari alasan untuk tidak berbuat. Allah berfirman dalam QS. Az-Zumar: 53:
قُلْ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ
أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ
(Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas atas diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah). Kekuatan iman ditandai dengan semangat untuk bangkit meski jatuh berkali-kali.
7. Sikap Saat Tertimpa Musibah
Perkataan "وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ" (dan jika menimpamu sesuatu) menyiapkan mental seorang mukmin dalam menghadapi ujian. Musibah adalah bagian dari sunnatullah dalam kehidupan.
Sikap yang tepat bukan menghindari, tetapi bersabar dan mencari hikmah di baliknya. Dalam QS. Al-Baqarah: 155, Allah menyebutkan:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ
وَٱلْجُوعِ...
(Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan...). Maka, mukmin harus memiliki kesiapan batin menghadapi apa pun yang Allah takdirkan.
8. Larangan Mengucapkan “Seandainya” dengan Penyesalan
Perkataan "فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا" (maka janganlah engkau berkata: seandainya aku melakukan ini, niscaya akan terjadi begini dan begitu) mengajarkan larangan berandai-andai yang menyebabkan kegelisahan dan penyesalan.
Islam tidak membolehkan seseorang larut dalam penyesalan yang tidak membawa solusi, karena itu adalah celah bagi setan.
9. Pengakuan terhadap Qadar Allah
Perkataan "وَلَٰكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ" (tetapi katakanlah: ini adalah takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki, Dia lakukan) mengajarkan akidah tentang takdir (qadar). Seorang mukmin wajib meyakini bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah.
Ungkapan ini adalah bentuk keridhaan dan ketundukan yang sempurna. Dalam QS. At-Tawbah: 51 disebutkan:
قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ
لَنَا
(Katakanlah: Tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami). Dengan keyakinan ini, hati menjadi tenang dan tidak mudah diguncang musibah.
10. Bahaya Perkataan "Seandainya"
Perkataan "فَإِنَّ (لَوْ) تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ" (karena sesungguhnya “seandainya” itu membuka perbuatan setan) menegaskan bahaya berandai-andai. Kalimat "لو" (seandainya) bisa menjadi celah bagi setan untuk menanamkan keraguan, penyesalan, bahkan sikap tidak ridha terhadap qadar Allah.
Setan menggoda manusia agar terus menoleh ke belakang dan menyalahkan takdir. Allah memperingatkan dalam QS. An-Nisa: 120:
يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ ۖ وَمَا يَعِدُهُمُ ٱلشَّيْطَٰنُ
إِلَّا غُرُورًا
(Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka; padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain tipuan belaka).
11. Pentingnya Memperbaiki Diri dan Meningkatkan Daya Guna
Hadits ini juga mengandung pelajaran bahwa setiap mukmin memiliki peluang untuk menjadi lebih baik. Yang lemah bisa menjadi kuat, selama ada usaha dan keinginan.
Islam tidak membatasi manusia dalam kapasitas statis, tetapi membukakan pintu untuk peningkatan terus-menerus. Dalam QS. Ar-Ra’d: 11, Allah berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri).
12. Keseimbangan antara Ikhtiar dan Tawakal
Hadits ini menggambarkan keseimbangan antara usaha maksimal dan penyerahan diri kepada Allah. Islam tidak mengajarkan fatalisme atau sikap pasrah sebelum berusaha, juga tidak mengajarkan kesombongan dengan usaha tanpa doa. Ini selaras dengan QS. Ali ‘Imran: 159:
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ
(Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah). Dengan demikian, hidup seorang mukmin selalu berada di antara kerja keras dan ketenangan jiwa karena kepercayaan penuh kepada Allah.
13. Pentingnya Mental Positif dalam Menghadapi Ujian
Hadits ini mengajarkan bahwa respons mental sangat penting saat menghadapi kenyataan yang tidak sesuai harapan. Dengan berkata “قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ”, seseorang menjaga pikirannya tetap positif, menghindari stres berkepanjangan, dan terus bergerak maju. Ini selaras dengan QS. Ash-Sharh: 6:
فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا
(Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan). Islam membentuk karakter optimis, resilien, dan penuh harapan.
14. Peran Niat dan Usaha dalam Penilaian Allah
Walaupun seseorang termasuk “المؤمن الضعيف” (mukmin yang lemah), selama niat dan usahanya tulus, ia tetap dicatat sebagai orang baik. Dalam HR. Bukhari dan Muslim disebutkan: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ (Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya). Maka, hadits ini memotivasi siapa pun untuk tidak berkecil hati jika belum bisa maksimal, asalkan terus memperbaiki diri.
Secara keseluruhan, hadits ini adalah pedoman hidup yang menyeimbangkan antara kekuatan usaha dan ketundukan kepada takdir. Ia membentuk mukmin yang tangguh, produktif, tidak mudah menyerah, serta selalu optimis dan tenang dalam menerima kenyataan hidup. Dengan hadits ini, Rasulullah ﷺ mendidik kita untuk menjadi insan terbaik yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, dalam naungan iman dan ridha Allah.
Penutup
Kajian
Saudaraku yang dimuliakan Allah,
Setelah kita menelaah bersama hadits yang mulia ini, kita memahami bahwa ia bukan sekadar untaian nasihat biasa, melainkan petunjuk hidup dari Rasulullah ﷺ yang menyentuh berbagai sisi penting dalam kehidupan seorang mukmin. Hadits ini mengajarkan kepada kita nilai kekuatan—bukan hanya fisik, tetapi juga kekuatan iman, tekad, dan tawakal. Kita diajari untuk bersungguh-sungguh mengejar kemanfaatan, untuk tidak bergantung pada usaha semata, tetapi juga bersandar penuh kepada Allah ﷻ, serta untuk tidak terjebak dalam penyesalan atas takdir yang telah berlalu.
Dalam hadits ini juga terkandung prinsip akidah yang kokoh tentang takdir dan larangan berkata "seandainya", yang jika tidak dijaga akan membuka celah bagi setan merusak hati dan keyakinan seorang mukmin. Ini adalah pelajaran besar tentang bagaimana kita membangun jiwa yang kuat, pikiran yang positif, serta hati yang ridha dan berserah diri kepada kehendak Allah.
Harapan kami, semoga setelah keluar dari majelis ini, setiap dari kita membawa pulang bekal yang nyata: semangat baru untuk menjadi mukmin yang kuat dan dicintai Allah, kebiasaan baru untuk mengejar hal-hal yang bermanfaat, serta keteguhan hati untuk menghadapi ujian hidup dengan sabar, ikhtiar, dan ridha kepada takdir. Jadikanlah hadits ini panduan dalam menyikapi setiap episode kehidupan: ketika berhasil, kita bersyukur dan tidak sombong; ketika gagal, kita bersabar dan tidak putus asa.
Semoga Allah ﷻ memudahkan kita untuk mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari, menjaga hati kita dari bisikan syetan, dan menjadikan kita semua termasuk hamba-hamba-Nya yang kuat dalam iman, amal, dan akhlak.
Kita tutup kajian ini dengan doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ
Belajar membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa
harakat
جاء النبي صلى الله عليه وسلم بتعاليم نافعة، ووصايا جامعة، تبث في المسلم
الأمل والشجاعة والقوة، وتحوله إلى فرد نافع ومفيد يملأ الدنيا خيرا وعطاء
وإحسانا.
وفي هذا الحديث يبين النبي صلى الله عليه وسلم أن «المؤمن القوي» يعني في
إيمانه، وليس المراد بها قوة البدن، «خير وأحب إلى الله عز وجل من المؤمن الضعيف»
وهو الذي في إيمانه ضعف، «وفي كل خير» أي: في كل واحد من القوي والضعيف خير؛
لاشتراكهما في الإيمان، والقوة المحمودة تحتمل وجوها عديدة؛ فمنها القوة في
الطاعة؛ فيكون المؤمن أكثر عملا، وأطول قياما، وأكثر صياما وجهادا وحجا. ومنها
القوة في عزيمة النفس؛ فيكون أقدم على العدو في الجهاد وأشد عزيمة في تغيير المنكر
والصبر على إيذاء العدو واحتمال المكروه والمشاق في ذات الله. ومنها القوة بالمال
والغنى؛ فيكون أكثر نفقة في الخير وأقل ميلا إلى طلب الدنيا، والحرص على جمع شيء
فيها، وغير ذلك من وجوه القوة، وإنما يذم منها التي تأتي بالتكبر والتجبر، والضعف
الذي فيه خير هو الذي يكون من لين الجانب والانكسار لله عز وجل، ويذم منه ضعف العزيمة
في القيام بحق الله عز وجل.
ويوصي النبي صلى الله عليه وسلم المسلم بقوله: «احرص على ما ينفعك» يعني:
بالأخذ بالأسباب، ومع الأخذ بالأسباب اعتمد على مسبب الأسباب، وهو الله سبحانه
وتعالى؛ ولهذا قال بعد ذلك: «واستعن بالله»؛ لأن الإنسان إذا أخذ بالأسباب ولم
يحصل له عون وتوفيق من الله تعالى، فلن يحصل ما يريده، فمجرد الأخذ بالأسباب لا
يكفي، بل يحتاج إلى شيء وراءه، وهو توفيق الله وإعانته على حصول ذلك الشيء؛ فإنه
لا حول ولا قوة إلا بالله، والمراد بالأعمال النافعة: ما يعود على الإنسان بخيري
الدنيا والآخرة من العبادات والأعمال الصالحة ونحو ذلك.
ثم ينهى النبي صلى الله عليه وسلم عن العجز، والمراد به هنا: الكسل، وهو ضد
النشاط، وهو التثاقل عما لا ينبغي التثاقل عنه، ويكون ذلك لعدم انبعاث النفس للخير
مع وجود القدرة عليه؛ ولذلك كان النبي صلى الله عليه وسلم يستعيذ بالله منه.
فمن عمل بتلك الوصية وقام بها على وجهها الأكمل، ثم أصابته بعد ذلك مصيبة،
فلا يقل: «لو أني فعلت كان كذا وكذا»؛ فإن هذا القول غير سديد، ولكن يقول مستسلما
وراضيا، ومؤملا الخير: «قدر الله»، أي: وقع ذلك بمقتضى قضائه وعلى وفق قدره، «وما
شاء فعل»؛ فإنه فعال لما يريد، ولا راد لقضائه، ولا معقب لحكمه.
وبعد أن نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن قول كلمة الشرط «لو» في مثل هذا
الموضع، نبه على أنها «تفتح عمل الشيطان» من منازعة القدر، والتأسف على ما فات؛
لأن فيها الاعتراض على القدر، والتحسر من وقوعه، كأن يقول الإنسان حين تنزل به
مصيبة: لو فعل كذا ما أصابه المرض! فالمسلم مطالب بالتسليم للقدر، فما أراده الله
عز وجل واقع لا محالة؛ إذ قضاء الله وقدره لا يتخلف، فما دام الإنسان قد اجتهد في
العمل، وأخذ بالأسباب، مستعينا بالله، وطلب الخير منه سبحانه؛ فلا عليه بعدها إلا
أن يفوض أمره كله لله، وليعلم أن اختيار الله عز وجل هو الخير، حتى وإن كان ظاهر
ما وقع له مكروها، ولا يستطيع أحد من الخلق دفع قدر الخالق عز وجل وتغييره دون إذن
من الله، وإن اجتمعت لذلك الدنيا بما فيها.
وفي الحديث: الأمر بفعل الأسباب والاستعانة بالله.
وفيه: التسليم لأمر الله، والرضا بقدره عز وجل.
وفيه: ثبوت صفة المحبة لله عز وجل.
وفيه: أن الإيمان يشمل العقائد القلبية والأقوال والأفعال.
وفيه: أن المؤمنين يتفاوتون في الخيرية، ومحبة الله والقيام بدينه، وأنهم
في ذلك درجات.