Hadits: Penipu Itu Bukan dari Golongan Umat Muhammad

 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ مَرَّ علَى صُبْرَةِ طَعامٍ فأدْخَلَ يَدَهُ فيها، فَنالَتْ أصابِعُهُ بَلَلًا فقالَ: ما هذا يا صاحِبَ الطَّعامِ؟ قالَ أصابَتْهُ السَّماءُ يا رَسولَ اللهِ، قالَ: أفَلا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعامِ كَيْ يَراهُ النَّاسُ، مَن غَشَّ فليسَ مِنِّي

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lewat di depan tumpukan makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, maka jari-jari beliau terasa basah. Beliau berkata: Apa ini, wahai pemilik makanan? Dia menjawab: Kena air hujan, wahai Rasulullah. Beliau berkata: Mengapa kamu tidak meletakkannya di atas makanan agar bisa dilihat oleh orang-orang? Barang siapa yang menipu, maka dia bukan dari golonganku.

(HR Muslim No. 102)

 

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/60453

Mp3:


Syarah Hadits


الأمانةُ من مَحاسِنِ الأخلاقِ
Amanah itu dari keutamaan-keutamaan akhlak.

والتَّعاملُ في التِّجارةِ والأمورِ المادِّيَّةِ يَستلزِمُ الأمانةَ
Dan berinteraksi dalam perdagangan dan urusan-urusan materi memerlukan amanah.

حتَّى تَتِمَّ الأمورُ والتَّعاملاتُ بين النَّاسِ بلا مُنازَعاتٍ
Agar urusan-urusan dan transaksi-transaksi antara manusia terlaksana tanpa perselisihan.

وبلا إثارةِ شُرورٍ في المُجتمَعِ
Dan tanpa menimbulkan kejahatan-kejahatan dalam masyarakat.

وعلى العكسِ من ذلك؛ فإنِّ الغِشَّ والخِداعَ يَجلِبُ على المجتمَعِ الوَيْلاتِ والبَغضاءَ والتَّشاحُنَ بين النَّاسِ
Sebaliknya; sesungguhnya penipuan dan kebohongan membawa bencana, kebencian, dan permusuhan di antara manusia.

وهذا الحديثُ يُوضِّحُ أنَّ الغِشَّ ليس مِنَ الإسلامِ
Hadis ini menjelaskan bahwa penipuan bukan bagian dari Islam.

وأنَّ الغشَّاشَ على خَطرٍ عَظيمٍ
Dan bahwa penipu berada dalam bahaya yang besar.

فيَروي أبو هُريرةَ رَضيَ اللهُ عنه
Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan.

أنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مَرَّ على صُبْرَةِ طَعامٍ
Bahwa Rasulullah melewati tumpukan makanan.

والصُّبرَةُ: هي الكَومةُ مِنَ الطَّعامِ
Dan 'subrah' adalah tumpukan dari makanan.

مِثلُ القمحِ أوِ الشَّعيرِ
Seperti gandum atau jelai.

يَعرِضُها التَّاجِرُ ليَبيعَها
Yang dipajang oleh pedagang untuk dijual.

فأدخَل النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَدَه في جَوفِها
Jadi Nabi memasukkan tangannya ke dalamnya.

فوَجَد بَللًا في أسفلِ الطَّعامِ
Maka beliau menemukan kelembaban (basah) di bagian bawah makanan.

وفي روايةِ أبي داودَ
Dan dalam riwayat Abu Dawud.

«أنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مَرَّ برُجلٍ يَبيعُ طعامًا
Bahwa Rasulullah
lewat di depan seorang laki-laki yang menjual makanan.

فسألَه: كيفَ تَبيعُ؟
Maka beliau bertanya kepadanya: Bagaimana kamu menjualnya?

فأخبَرَه، فأُوحيَ إليه: أنْ أَدخِلْ يدَك فيه
Dia memberitahunya, lalu diwahyukan kepadanya: Masukkan tanganmu ke dalamnya.

فأَدخَلَ يدَه فيه، فإذا هو مَبلولٌ
Maka dia memasukkan tangannya ke dalamnya, dan ternyata makanan itu basah.

فكانَ إدخالُ يدِه صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بوَحيٍ منَ اللهِ سُبحانَه
Jadi memasukkan tangan beliau
adalah dengan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

فسألَه النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: ما هذا يا صاحِبَ الطَّعامِ؟
Maka Nabi
bertanya kepadanya: Apa ini, wahai pemilik makanan?

فأخبَرَه التَّاجرُ أنَّه قد سقَطَ عليه المطرُ فبَلَّلَه
Pedagang itu memberitahunya bahwa hujan telah turun dan membasahi makanan tersebut.

وهذا يَعني أنَّه جَعَل الجافَّ الصَّحيحَ ظاهرًا، والمبلولَ الرَّديءَ في الأسفلِ
Ini berarti dia meletakkan yang kering dan baik di atas, sementara yang basah dan buruk di bawah.

فقَبِلَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عُذرَه
Maka Nabi mendapatkan alasan tersebut.

ونبَّهَه إلى ما يَنبغي أن يَعمَلَه في هذه الحالةِ
Dan beliau menegurnya tentang apa yang seharusnya dia lakukan dalam keadaan ini.

فقالَ: أفَلا جعلتَه فوقَ الطَّعامِ
Beliau berkata: 'Mengapa tidak meletakkannya di atas makanan?'

بأن تُخرِجَ الحَبَّ المُبتلَّ من أسفَلَ إلى أعلى
Yaitu mengeluarkan biji yang basah dari bawah ke atas.

حتَّى يَراه النَّاسُ المُشترُونَ
Agar orang-orang yang membeli bisa melihatnya.

ويَكونُوا على بَيِّنةٍ ويَعلموا بحالِه وما فيه مِنَ العَطَبِ
Dan agar mereka jelas dan mengetahui kondisinya serta kerusakannya.

وقد كانوا يَتبايَعون بالصُّبرةِ كاملةً دونَ النَّظرِ إلى ما فيها
Dan mereka biasa melakukan transaksi dengan subrah secara utuh tanpa melihat isinya.

وقد عدَّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عَمَلَ هذا التَّاجِرِ غِشًّا
Dan Nabi menganggap tindakan pedagang ini sebagai penipuan.

فقالَ: مَن غشَّ فليْس مِنِّي
Beliau berkata: 'Barang siapa menipu, maka dia bukan dari golonganku.'

أي: مَن خَدَعَ النَّاسَ بأيِّ صُورةٍ فليس على هَديِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وسُنَّتِه وطَريقتِه
Yaitu: Barang siapa menipu manusia dalam bentuk apapun, maka dia bukan mengikuti petunjuk, sunnah, dan cara Nabi .

وهذا زَجرٌ شَديدٌ منَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم
Ini adalah peringatan keras dari Nabi .

وفيه تَهديدٌ لمَن تَمادى في الغِشِّ بأن يَخرُجَ عن طَريقةِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ
Dan di dalamnya ada ancaman bagi mereka yang terus-menerus menipu agar keluar dari cara hidup Nabi .

وفي الحديثِ: الزَّجرُ والنَّهيُ عنِ الغِشِّ في كلِّ الأمورِ، وفي المُعامَلاتِ خاصَّةً
Dan dalam hadis ini terdapat larangan dan peneguran terhadap penipuan dalam segala hal, khususnya dalam transaksi.

وفيه: ضَرورةُ تَبيينِ عيبِ السِّلعةِ للمُشتَري
Dan di dalamnya terdapat keharusan untuk menjelaskan cacat barang kepada pembeli.

وفيه: أنَّ الحاكِمَ يَستظهرُ أحوالَ النَّاسِ ويَنصَحُ مَن يَحتاجُ للنَّصيحةِ
Dan di dalamnya ada bahwa penguasa harus memeriksa keadaan manusia dan memberi nasihat kepada yang membutuhkan.

وفيه: حِرصُ الشَّريعةِ على إبعادِ كلِّ ما يَحصُلُ به الضَّررُ للمُسلِمِ
Dan di dalamnya terdapat perhatian syariat untuk menjauhkan segala hal yang dapat menimbulkan bahaya bagi seorang Muslim.

 


Pelajaran dari Hadits ini


1.   Amanah dalam Perdagangan: Hadits ini menegaskan pentingnya amanah dalam transaksi perdagangan. Pedagang yang jujur harus memberi informasi yang jelas kepada pembeli mengenai kondisi barang, terutama jika ada cacat atau kerusakan. Menutupi kondisi yang buruk atau melakukan penipuan adalah tindakan yang sangat dilarang dalam Islam.

2.   Larangan terhadap Penipuan (Ghisy): Hadits ini menunjukkan bahwa penipuan dalam segala bentuk adalah dosa besar. Rasulullah dengan tegas mengatakan, "Barang siapa yang menipu, maka dia bukan dari golonganku." Hal ini menunjukkan bahwa penipuan, terutama dalam hal jual beli, bertentangan dengan ajaran Islam.

3.   Transparansi dalam Transaksi: Islam mendorong transparansi dalam semua bentuk transaksi. Dalam kasus pedagang yang menutupi bagian bawah makanan yang basah dengan bagian atas yang kering, Rasulullah mengingatkan agar barang yang cacat (basah) harus diletakkan di atas agar pembeli bisa melihatnya dan mengetahui kondisi barang tersebut. Ini mengajarkan pentingnya kejujuran dalam bisnis.

4.   Pengawasan terhadap Perilaku Pedagang: Hadits ini juga menunjukkan bahwa penting bagi masyarakat dan otoritas (seperti pemerintah atau pemimpin) untuk mengawasi perilaku pedagang dan memberikan nasihat atau peringatan kepada mereka yang melanggar prinsip-prinsip kejujuran dalam perdagangan.

5.   Menghindari Kerusakan dalam Masyarakat: Penipuan tidak hanya merugikan individu yang ditipu, tetapi juga dapat merusak hubungan sosial dan menciptakan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, kejujuran dalam transaksi sangat penting untuk menjaga keharmonisan dan keadilan sosial.

6.   Keseriusan dalam Mengikuti Petunjuk Nabi : Hadits ini juga mempertegas bahwa siapa pun yang mengikuti jalan penipuan atau kebohongan tidak mengikuti petunjuk dan cara hidup Nabi . Ini adalah peringatan keras agar umat Islam selalu berusaha untuk mengikuti sunnah Nabi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berdagang.

Secara keseluruhan, hadits ini mengajarkan nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan amanah dalam interaksi sosial, terutama dalam perdagangan, serta memberikan peringatan tentang bahaya penipuan yang dapat merusak hubungan antar sesama.

 


Belajar membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa harakat


الأمانة من محاسن الأخلاق، والتعامل في التجارة والأمور المادية يستلزم الأمانة؛ حتى تتم الأمور والتعاملات بين الناس بلا منازعات، وبلا إثارة شرور في المجتمع، وعلى العكس من ذلك؛ فإن الغش والخداع يجلب على المجتمع الويلات والبغضاء والتشاحن بين الناس.
وهذا الحديث يوضح أن الغش ليس من الإسلام، وأن الغشاش على خطر عظيم، فيروي أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة طعام، والصبرة: هي الكومة من الطعام، مثل القمح أو الشعير، يعرضها التاجر ليبيعها، فأدخل النبي صلى الله عليه وسلم يده في جوفها، فوجد بللا في أسفل الطعام، وفي رواية أبي داود: «أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر برجل يبيع طعاما، فسأله: كيف تبيع؟ فأخبره، فأوحي إليه: أن أدخل يدك فيه، فأدخل يده فيه، فإذا هو مبلول»، فكان إدخال يده صلى الله عليه وسلم بوحي من الله سبحانه، فسأله النبي صلى الله عليه وسلم: ما هذا يا صاحب الطعام؟ فأخبره التاجر أنه قد سقط عليه المطر فبلله، وهذا يعني أنه جعل الجاف الصحيح ظاهرا، والمبلول الرديء في الأسفل، فقبل النبي صلى الله عليه وسلم عذره، ونبهه إلى ما ينبغي أن يعمله في هذه الحالة، فقال: «أفلا جعلته فوق الطعام» بأن تخرج الحب المبتل من أسفل إلى أعلى؛ حتى يراه الناس المشترون، ويكونوا على بينة ويعلموا بحاله وما فيه من العطب، وقد كانوا يتبايعون بالصبرة كاملة دون النظر إلى ما فيها، وقد عد النبي صلى الله عليه وسلم عمل هذا التاجر غشا، فقال: «من غش فليس مني»، أي: من خدع الناس بأي صورة فليس على هدي النبي صلى الله عليه وسلم وسنته وطريقته، وهذا زجر شديد من النبي صلى الله عليه وسلم، وفيه تهديد لمن تمادى في الغش بأن يخرج عن طريقة النبي صلى الله عليه وسلم.
وفي الحديث: الزجر والنهي عن الغش في كل الأمور، وفي المعاملات خاصة.
وفيه: ضرورة تبيين عيب السلعة للمشتري.
وفيه: أن الحاكم يستظهر أحوال الناس وينصح من يحتاج للنصيحة.
وفيه: حرص الشريعة على إبعاد كل ما يحصل به الضرر للمسلم. 

 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers