Hadits: Tentang Definisi Kebaikan dan Dosa
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Jama’ah yang dirahmati Allah,
Pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji sebuah hadits yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan pribadi kita, yaitu hadits tentang definisi birr dan ithm—tentang kebajikan dan dosa—yang diriwayatkan oleh sahabat Nabiyyullah ﷺ.
Mengapa hadits ini penting untuk kita kaji? Karena di tengah masyarakat saat ini, kita sedang menyaksikan maraknya kebingungan dalam membedakan antara kebaikan dan dosa. Banyak orang yang menilai kebaikan hanya dari sudut pandang masyarakat, bukan dari hati nurani atau petunjuk syariat. Akhlak yang baik kian memudar di tengah pergaulan, dan dosa sering kali disembunyikan atau bahkan dibungkus dengan istilah yang terlihat wajar. Di sisi lain, banyak dari kita yang kehilangan kepekaan hati, padahal hati adalah barometer pertama yang mengenali kebenaran dan kebatilan sebelum lisan dan tindakan mengikutinya.
Hadits ini sangat relevan, karena Rasulullah ﷺ tidak hanya memberikan definisi teoretis, tetapi juga petunjuk praktis untuk mengenali kebajikan dan menjauhi dosa. Hadits ini menunjukkan bahwa Islam menanamkan etika bukan hanya lewat aturan, tapi juga lewat pendidikan hati dan kesadaran diri. Dengan memahami hadits ini, kita belajar menjadikan akhlak mulia sebagai tolok ukur amal, dan kepekaan hati sebagai penjaga moral.
Oleh karena itu, mari kita simak dan renungi bersama setiap makna dalam hadits ini. Semoga Allah menjadikan kajian ini sebagai wasilah perubahan bagi diri kita dan masyarakat sekitar kita.
Dari An-Nawwas bin Sam'an radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
أَقَمْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ سَنَةً، مَا يَمْنَعُنِي مِنَ الْهِجْرَةِ إِلَّا الْمَسْأَلَةَ، فَإِنَّ أَحَدَنَا كَانَ إِذَا هَاجَرَ لَمْ يَسْأَلْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ، قَالَ: فَسَأَلْتُهُ عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ.
Saya tinggal bersama Rasulullah ﷺ di Madinah selama setahun, yang tidak menghalangi saya untuk berhijrah kecuali pertanyaan. Dulu, salah seorang dari kami apabila berhijrah tidak akan bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang sesuatu. Maka saya pun bertanya kepada beliau tentang kebaikan dan dosa. Rasulullah ﷺ bersabda: Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang menggigit hatimu (mengguncang perasaanmu atau menimbulkan keraguan dalam dirimu), dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya.
HR Muslim (2553)
Arti dan Penjelasan Per Kalimat
أَقَمْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ سَنَةً
(Aku tinggal bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah selama satu tahun)
Perkataan ini menunjukkan bahwa perawi memiliki kesempatan luar biasa untuk bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama.
Tinggal selama satu tahun di Madinah menunjukkan bahwa ia menyaksikan langsung kehidupan Nabi dan memperoleh banyak pelajaran dari beliau.
Hal ini menandakan kedekatan dan keistimewaan, karena bisa menyerap ajaran Islam langsung dari sumbernya.
Kata “أَقَمْتُ ” menunjukkan niat menetap, bukan sekadar lewat atau singgah.
مَا يَمْنَعُنِي مِنَ الْهِجْرَةِ إِلَّا الْمَسْأَلَةَ
(Tidak ada yang menghalangiku untuk berhijrah kecuali karena pertanyaan)
Perkataan ini menunjukkan bahwa yang menjadi penghalang hijrah bagi perawi bukan karena hal duniawi, tapi karena ia ingin tetap bisa bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“الْمَسْأَلَةَ” di sini berarti pertanyaan, menunjukkan bahwa perawi masih ingin belajar langsung dari Nabi sebelum hijrah sepenuhnya.
Ini mencerminkan kesungguhan dalam menuntut ilmu, karena hijrah bisa berarti jauh dari kesempatan bertanya langsung kepada Rasulullah.
Ia menunda hijrah bukan karena kemalasan, tetapi karena keinginan untuk memperoleh ilmu sebanyak mungkin dari Nabi selama masih ada kesempatan.
فَإِنَّ أَحَدَنَا كَانَ إِذَا هَاجَرَ لَمْ يَسْأَلْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ
(Sesungguhnya salah seorang dari kami apabila telah berhijrah, maka dia tidak akan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu pun)
Perkataan ini menunjukkan bahwa ada adab yang sangat tinggi dalam kalangan sahabat yang telah berhijrah.
Mereka menjaga sikap dan tidak banyak bertanya kepada Nabi, sebagai bentuk penghormatan dan tawakal kepada petunjuk yang sudah diberikan.
Setelah berhijrah, sahabat lebih sibuk dengan pengamalan dan tidak terbiasa mendesak Nabi dengan banyak pertanyaan.
Ini menunjukkan kedewasaan dalam memahami agama, serta kedisiplinan dalam menyikapi ilmu yang diterima langsung dari Nabi.
قَالَ: فَسَأَلْتُهُ عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ
(Lalu aku bertanya kepada beliau tentang kebaikan dan dosa)
Perkataan ini menunjukkan bahwa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi bukan pertanyaan remeh, melainkan pertanyaan inti dalam kehidupan beragama.
“الْبِرِّ ” dan “الْإِثْمِ” adalah dua konsep besar yang menjadi tolok ukur baik-buruknya amal seseorang.
Perawi ingin tahu kriteria hakiki dari kebaikan dan dosa menurut Nabi, bukan sekadar berdasarkan penilaian akal pribadi.
Ini menunjukkan semangat mencari kejelasan dalam perkara moral dan agama, sesuatu yang sangat penting bagi pembentukan akhlak.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ
(Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Kebaikan adalah akhlak yang baik)
Perkataan ini memberikan definisi yang sangat mendalam tentang hakikat kebaikan.
Rasulullah tidak menjelaskan dengan panjang, cukup dengan satu tolok ukur: akhlak yang baik.
Hal ini menunjukkan bahwa akhlak merupakan cerminan iman dan fondasi dari seluruh amal kebaikan.
Seseorang bisa berilmu tinggi, namun jika tidak berakhlak baik, maka belum mencapai hakikat al-birr.
وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ
(Dan dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan dalam dirimu)
Perkataan ini menunjukkan bahwa dosa memiliki bekas di dalam hati orang yang masih lurus fitrahnya.
Kata “حَاكَ ” menggambarkan pergolakan batin dan keraguan dalam hati ketika seseorang melakukan atau hendak melakukan sesuatu yang salah.
Ini adalah cara Nabi mengajarkan bahwa hati nurani bisa menjadi penuntun jika ia belum rusak oleh dosa dan hawa nafsu.
Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak tenang dengan suatu perbuatan, itu adalah tanda bahwa perbuatan itu mendekati dosa.
وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ
(Dan engkau tidak suka jika manusia mengetahuinya)
Perkataan ini menguatkan ciri dosa dari sisi sosial dan psikologis.
Jika seseorang tidak ingin perbuatannya dilihat orang lain, maka kemungkinan besar ada unsur dosa dalam perbuatan itu.
Perbuatan baik tidak perlu disembunyikan, tapi dosa selalu ingin ditutupi karena ada rasa malu dan bersalah.
Ini menunjukkan bahwa salah satu tolok ukur kejujuran adalah apakah kita rela perbuatan kita diketahui oleh orang lain atau tidak.
Syarah
Hadits
المُسْلِمُ عَلَيْهِ أَنْ يَسْأَلَ عَمَّا
يَجْهَلُ مِنْ أُمُورِ دِينِهِ
Seorang Muslim wajib bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya dari urusan
agamanya.
وَمَا خَفِيَ فَهْمُهُ مِنْ نُصُوصِ
شَرِيعَتِهِ
Dan apa yang sulit dipahaminya dari teks-teks syariatnya.
وَقَدْ كَانَ الصَّحَابَةُ الْكِرَامُ
يَتَحَمَّلُونَ الْكَثِيرَ مِنَ الصُّعُوبَاتِ
Para sahabat yang mulia rela menanggung banyak kesulitan.
وَيَرْحَلُونَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَتَعَلَّمُوا أُمُورَ دِينِهِمْ
Dan mereka bepergian kepada Nabi ﷺ untuk mempelajari urusan agama mereka.
وَيَسْأَلُونَهُ عَمَّا يَنْفَعُهُمْ
Dan mereka bertanya kepadanya tentang hal-hal yang bermanfaat bagi mereka.
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَرْوِي النَّوَّاسُ
بْنُ سَمْعَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Dalam hadis ini, An-Nawwas bin Sam'an radhiyallahu 'anhu meriwayatkan.
أَنَّهُ أَقَامَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ سَنَةً
Bahwa ia tinggal bersama Rasulullah ﷺ di Madinah selama satu tahun.
كَالزَّائِرِ وَفِي صُورَةِ الْعَازِمِ عَلَى
الرُّجُوعِ إِلَى الْوَطَنِ
Sebagai seorang tamu, dengan niat untuk kembali ke kampung halamannya.
ثُمَّ بَيَّنَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَبَبَ
عَدَمِ هِجْرَتِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَوْرَ إِسْلَامِهِ
Kemudian ia menjelaskan alasan tidak segera berhijrah ke Madinah setelah
memeluk Islam.
وَهِيَ الْمَسْأَلَةُ، أَيْ: الرَّغْبَةُ فِي
سُؤَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أُمُورِ الدِّينِ
Yaitu keinginan untuk bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang urusan agama.
لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ قَدْ نَهَى الْمُهَاجِرِينَ الْمُقِيمِينَ مَعَهُ فِي
الْمَدِينَةِ عَنْ كَثْرَةِ الْأَسْئِلَةِ
Karena Nabi ﷺ telah melarang kaum Muhajirin yang tinggal bersamanya di
Madinah dari terlalu banyak bertanya.
لِأَنَّهَا قَدْ تُؤَدِّي إِلَى الْمَشَقَّةِ
عَلَى النَّاسِ
Karena hal itu dapat menyebabkan kesulitan bagi orang-orang.
وَأَيْضًا فَإِنَّ بِإِقَامَتِهِمْ مَعَهُ
سَيَعْرِفُونَ أُمُورَ دِينِهِمْ عَلَى التَّوَالِي وَالتَّرْتِيبِ وَعِنْدَ
وُقُوعِ الْمَسْأَلَةِ بِعَيْنِهَا
Selain itu, dengan tinggal bersamanya, mereka akan mengetahui urusan agama
mereka secara bertahap dan sistematis ketika suatu masalah benar-benar terjadi.
لَا أَنْ يَفْتَرِضَهَا أَحَدُهُمْ وَهِيَ
لَمْ تَقَعْ بَعْدُ
Bukan dengan mereka mengandaikan masalah yang belum terjadi.
وَحَتَّى لَا يَشُقَّ عَلَيْهِمْ بِكَثْرَةِ
السُّؤَالِ أُمُورُ الدِّينِ
Agar mereka tidak merasa kesulitan dengan banyaknya pertanyaan tentang urusan
agama.
وَهُوَ مَا أَكَّدَهُ
الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ فِي قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ
تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ} [الْمَائِدَةُ:
101]
Hal ini ditegaskan oleh Al-Qur'an dalam firman Allah Ta’ala: {Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu bertanya tentang hal-hal yang jika dijelaskan
kepadamu, akan menyusahkan kamu. Dan jika kamu bertanya tentang hal itu ketika
Al-Qur'an sedang diturunkan, maka itu akan dijelaskan kepadamu} (Al-Maidah:
101).
وَلِذَلِكَ يَقُولُ النَّوَّاسُ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ: «كَانَ أَحَدُنَا إِذَا هَاجَرَ لَمْ يَسْأَلْ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ»
Oleh karena itu, An-Nawwas radhiyallahu 'anhu berkata, "Salah seorang dari
kami, jika berhijrah, tidak akan bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang apa
pun."
وَيُتِمُّ هَذَا الْمَعْنَى مَا قَالَهُ
أَنَسٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الْحَدِيثِ الَّذِي ذَكَرَهُ مُسْلِمٌ
Makna ini dilengkapi dengan apa yang dikatakan oleh Anas radhiyallahu 'anhu
dalam hadis yang disebutkan oleh Muslim.
«فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ
مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلِ، فَيَسْأَلَهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ»
"Kami senang jika ada seseorang dari pedalaman yang cerdas datang, lalu
bertanya kepadanya, sementara kami mendengarkan."
لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يَسْمَحُ بِالْأَسْئِلَةِ لِلطَّارِئِينَ مِنَ الْأَعْرَابِ وَغَيْرِهِمْ
Karena Rasulullah ﷺ mengizinkan pertanyaan dari para pendatang, baik dari kalangan
Arab pedalaman maupun lainnya.
لِأَنَّهُمْ يُحْتَمَلُونَ فِي السُّؤَالِ
وَيُعْذَرُونَ
Karena mereka dimaklumi dalam bertanya dan dimaafkan.
فَلَمَّا عَلِمَ النَّوَّاسُ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ ذَلِكَ كَانَتْ رَغْبَتُهُ فِي السُّؤَالِ عَنْ أُمُورِ دِينِهِ بَاعِثًا
لَهُ عَلَى عَدَمِ الْهِجْرَةِ
Ketika An-Nawwas radhiyallahu 'anhu mengetahui hal itu, keinginannya untuk
bertanya tentang urusan agamanya menjadi alasan ia tidak berhijrah.
ثُمَّ أَخْبَرَ النَّوَّاسُ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِرِّ
وَالْإِثْمِ
Kemudian, An-Nawwas radhiyallahu 'anhu memberitahukan bahwa ia bertanya kepada
Nabi ﷺ tentang kebajikan dan dosa.
أَيْ عَنْ مَعْنَى الطَّاعَةِ الَّتِي يُثَابُ
عَلَيْهَا الْإِنْسَانُ، وَمَعْنَى الْمَعْصِيَةِ الَّتِي يُعَاقَبُ عَلَيْهَا
Yaitu tentang makna ketaatan yang dengannya manusia diberi pahala, dan makna
maksiat yang dengannya manusia dihukum.
فَبَيَّنَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعْنَاهُمَا
Maka Nabi ﷺ menjelaskan kepadanya makna keduanya.
فَذَكَرَ لَهُ أَنَّ أَعْظَمَ خِصَالِ
الْبِرِّ أَوِ الْبِرَّ كُلَّهُ مُجْمَلًا هُوَ حُسْنُ الْخُلُقِ مَعَ النَّاسِ
Kemudian beliau menyebutkan kepadanya bahwa sifat kebajikan yang paling agung
atau kebajikan secara keseluruhan secara ringkas adalah akhlak yang baik
terhadap sesama manusia.
وَيَكُونُ حُسْنُ الْخُلُقِ مَعَ النَّاسِ
بِكَفِّ الْأَذَى عَنْهُمْ
Dan akhlak yang baik terhadap sesama manusia itu dengan menahan gangguan dari
mereka.
وَبَذْلِ الْخَيْرِ الدِّينِيِّ
وَالدُّنْيَوِيِّ لَهُمْ
Serta memberikan kebaikan agama dan duniawi kepada mereka.
وَطَلَاقَةِ الْوَجْهِ مَعَ الصَّبْرِ عَلَى
أَذَاهُمْ
Dan dengan wajah yang ceria disertai kesabaran atas gangguan mereka.
ثُمَّ بَيَّنَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْإِثْمَ هُوَ مَا تَرَدَّدَ وَتَحَرَّكَ وَأَثَّرَ فِي
النَّفْسِ بِأَنْ لَمْ تَنْشَرِحْ لَهُ
Kemudian Nabi ﷺ menjelaskan kepadanya bahwa dosa adalah sesuatu yang ragu-ragu,
bergerak, dan memengaruhi jiwa sehingga tidak merasa lapang terhadapnya.
وَحَلَّ فِي الْقَلْبِ مِنْهُ الشَّكُّ
وَالْخَوْفُ مِنْ كَوْنِهِ ذَنْبًا وَأَقْلَقَهُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ
Dan sesuatu itu menimbulkan keraguan dan rasa takut di hati bahwa itu adalah
dosa, sehingga membuatnya gelisah dan tidak merasa tenang dengannya.
وَكَرِهَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ؛
لِأَنَّهُ مَحَلُّ ذَمٍّ وَعَيْبٍ
Dan ia membenci jika manusia mengetahui perbuatan itu, karena perbuatan itu
adalah tempat celaan dan aib.
فَتَجِدُكَ مُتَرَدِّدًا فِيهِ، وَتَكْرَهُ
أَنْ يَطَّلِعَ النَّاسُ عَلَيْكَ
Maka engkau akan mendapati dirimu ragu terhadapnya, dan engkau membenci jika
manusia mengetahui perbuatanmu.
وَهَذِهِ الْجُمْلَةُ إِنَّمَا هِيَ لِمَنْ
كَانَ قَلْبُهُ صَافِيًا سَلِيمًا
Dan pernyataan ini adalah untuk seseorang yang hatinya bersih dan lurus.
فَهَذَا هُوَ الَّذِي يَحُوكُ فِي نَفْسِهِ
مَا كَانَ إِثْمًا وَيَكْرَهُ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Orang seperti ini yang merasa gelisah dalam dirinya atas apa yang merupakan
dosa dan membenci jika manusia mengetahuinya.
أَمَّا مَنْ فَسَدَ قَلْبُهُ وَانْتَكَسَتْ
فِطْرَتُهُ، فَقَدْ يَنْشَرِحُ صَدْرُهُ لِلْآثَامِ، وَيُجَاهِرُ بِهَا
Adapun orang yang hatinya rusak dan fitrahnya telah terbalik, maka dadanya merasa
lapang terhadap dosa-dosa dan terang-terangan melakukannya.
وَالْأَصْلُ أَنَّ الْبِرَّ: اسْمٌ
جَامِعٌ لِكُلِّ مَعَانِي الطَّاعَةِ،
Dan pada dasarnya, kebajikan adalah nama yang mencakup semua makna ketaatan,
وَالْإِثْمَ: اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ
أَنْوَاعِ الْمَعَاصِي
dan dosa adalah nama yang mencakup semua jenis maksiat.
وَإِنَّمَا كَانَ جَوَابُ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذِهِ الْمَعَانِي مِنْ بَابِ مَا يَتَنَاسَبُ مَعَ
حَالِ السَّائِلِ
Dan jawaban Nabi ﷺ dengan makna-makna ini adalah dari sisi kesesuaian dengan
keadaan si penanya.
كَمَا هِيَ عَادَتُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَعَ مِثْلِ تِلْكَ الْمَسَائِلِ
Sebagaimana kebiasaannya ﷺ dalam menghadapi persoalan-persoalan
seperti itu.
وَفِي الْحَدِيثِ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُعْطِيَ جَوَامِعَ الْكَلِمِ
Dan dalam hadis ini, bahwa Nabi ﷺ diberi kemampuan merangkum banyak makna
dalam sedikit kata.
يَتَكَلَّمُ بِالْكَلَامِ الْيَسِيرِ وَهُوَ
يَحْمِلُ مَعَانِيَ كَثِيرَةً
Beliau berbicara dengan ucapan yang ringkas
yang mengandung banyak makna.
فَقَوْلُهُ: "الْبِرُّ حُسْنُ
الْخُلُقِ" كَلِمَةٌ جَامِعَةٌ مَانِعَةٌ
Maka ucapannya: "Kebajikan adalah akhlak yang baik" adalah ungkapan
yang ringkas dan mencakup semuanya.
وَفِيهِ: الْحَثُّ عَلَى حُسْنِ الْخُلُقِ
maka dalam (potongan hadis) ini terdapat dorongan untuk berakhlak baik.
Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/17097
Pelajaran
dari hadits ini
1. Keutamaan menyertai Nabi dan menuntut ilmu langsung dari sumbernya
Perkataan "أَقَمْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ سَنَةً" (Aku tinggal bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah selama satu tahun) mengisyaratkan pentingnya mendampingi ulama besar dan belajar langsung kepada mereka. Dari perspektif muamalah, kedekatan dengan orang-orang saleh dan terpercaya dalam ilmu merupakan jaminan terhadap kebenaran ilmu dan etika yang diamalkan. Rasulullah ﷺ sebagai teladan utama adalah sumber ilmu dan akhlak terbaik. Ini selaras dengan firman Allah dalam Ali 'Imran ayat 31:
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
(Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.)
2. Adab menunda hijrah karena pertimbangan ilmiah
Perkataan "مَا يَمْنَعُنِي مِنَ الْهِجْرَةِ إِلَّا الْمَسْأَلَةَ" (Tidak ada yang menghalangiku dari berhijrah kecuali pertanyaan) menunjukkan bahwa sahabat ini menunda hijrah demi mendapatkan ilmu dari Nabi ﷺ. Dalam konteks muamalah, ini mencerminkan pentingnya menimbang maslahat dan mafsadat dalam setiap keputusan, bahkan dalam hal yang sangat dianjurkan seperti hijrah. Mengutamakan ilmu dalam batas syariat adalah bagian dari prioritas yang dibenarkan. Ini sejalan dengan sabda Nabi ﷺ:
مَنْ
يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
(Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan menjadikannya faqih dalam agama.) (HR. Bukhari no. 71)
3. Etika sahabat dalam menahan diri dari bertanya pasca hijrah
Perkataan "فَإِنَّ أَحَدَنَا كَانَ إِذَا هَاجَرَ لَمْ يَسْأَلْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ" (Karena salah satu dari kami jika telah berhijrah, tidak bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang apa pun) mengandung pelajaran etika: sahabat sangat menjaga adab mereka di hadapan Rasulullah ﷺ. Dalam muamalah, ini mencerminkan pentingnya menjaga etika berkomunikasi dengan pemimpin atau guru, serta tidak membebani mereka dengan pertanyaan yang tidak urgen. Allah berfirman dalam Al-Hujurat ayat 2:
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَرْفَعُوٓا۟ أَصْوَٰتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ ٱلنَّبِىِّ
وَلَا تَجْهَرُوا۟ لَهُۥ بِٱلْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ
أَعْمَـٰلُكُمْ وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
(Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi dan jangan kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, agar tidak gugur amalmu sedangkan kamu tidak menyadarinya.)
4. Pentingnya bertanya dalam mencari kebenaran dan pembedaan nilai
Perkataan "فَسَأَلْتُهُ عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ" (Lalu aku bertanya kepada beliau tentang kebaikan dan dosa) menunjukkan keutamaan bertanya demi membedakan antara hal yang benar dan salah. Dalam etika Islam, bertanya dengan niat mencari kebenaran adalah ibadah. Dalam muamalah, ini menjadi dasar kehati-hatian dalam transaksi, perilaku sosial, dan moral. Allah memerintahkan dalam An-Nahl ayat 43:
فَسْـَٔلُوا۟
أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
(Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.)
5. Hakikat kebaikan adalah akhlak mulia
Perkataan "الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ" (Kebaikan itu adalah akhlak yang baik) merupakan definisi yang sangat mendasar dalam Islam. Dalam perspektif muamalah, akhlak yang baik adalah fondasi bagi kepercayaan, keadilan, dan kelancaran hubungan antar manusia. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ
مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ
أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
(Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.) (HR. Tirmidzi no. 2018)
Dalam Al-Qalam ayat 4, Allah menyatakan:
وَإِنَّكَ
لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
(Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.)
6. Dosa adalah sesuatu yang membuat hati gelisah
Perkataan "وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ" (Dosa adalah apa yang menggelitik dalam jiwamu) menjadi indikator batin dalam menilai perbuatan. Dalam etika, ini menegaskan pentingnya suara hati (dhamir) yang bersih sebagai alat kontrol. Dalam muamalah, kejujuran hati menjadi dasar keadilan dalam akad dan interaksi sosial. Rasulullah ﷺ bersabda:
اسْتَفْتِ
قَلْبَكَ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
(Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun orang-orang memberi fatwa padamu.) (HR. Ahmad no. 17300)
7. Dosa adalah sesuatu yang engkau tidak suka jika orang lain melihatnya
Perkataan "وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ" (Dan engkau tidak suka jika manusia mengetahuinya) memberi kriteria praktis bahwa sesuatu yang memalukan jika diketahui orang lain adalah tanda dosa. Dalam muamalah, ini menjadi acuan untuk integritas pribadi dan profesional. Orang yang jujur tidak takut disorot publik karena tindakannya selaras dengan nilai-nilai kebenaran. Dalam Ali 'Imran ayat 29, Allah berfirman:
قُلْ
إِن تُخْفُوا۟ مَا فِى صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ
وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ
شَىْءٍۢ قَدِيرٌ
(Katakanlah: Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya. Dan Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.)
8. Keutamaan menunda keputusan demi mendapatkan jawaban dari sumber terpercaya
Perkataan “ما يمنعني من الهجرة إلا المسألة” dalam konteksnya juga memberi pelajaran bahwa dalam muamalah, mengambil keputusan besar (seperti hijrah atau investasi) boleh ditunda demi kejelasan hukum dan maslahat. Ini menegaskan prinsip tatsabbut (verifikasi) dalam Islam. Allah berfirman dalam Al-Hujurat ayat 6:
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۭ بِنَبَإٍۢ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن
تُصِيبُوا۟ قَوْمًۭا بِجَهَـٰلَةٍۢ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ
نَـٰدِمِينَ
(Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka telitilah dengan cermat agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.)
9. Menahan pertanyaan sebagai bentuk adab kepada ulama
Perkataan “فإن أحدنا كان إذا هاجر لم يسأل رسول الله عن شيء” juga mengandung nilai bahwa dalam majelis ilmu, etika bertanya sangat penting. Dalam fiqh muamalah, ini menunjukkan bahwa tidak semua pertanyaan harus dilontarkan—terutama jika berpotensi menyusahkan guru atau menimbulkan kebingungan dalam masyarakat. Ini sesuai dengan Al-Baqarah ayat 108:
أَمْ تُرِيدُونَ أَن تَسْـَٔلُوا۟ رَسُولَكُمْ كَمَا
سُئِلَ مُوسَىٰ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَتَبَدَّلِ ٱلْكُفْرَ بِٱلْإِيمَـٰنِ فَقَدْ
ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ
(Apakah kamu ingin meminta kepada Rasulmu seperti halnya Musa diminta sesuatu dahulu? Barang siapa menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh ia telah tersesat dari jalan yang lurus.)
Secara keseluruhan, hadits ini memberikan pelajaran komprehensif tentang pentingnya ilmu, adab dalam bertanya, hakikat kebaikan dan dosa, serta peran hati dalam menilai amal. Ia menjadi panduan dalam membentuk kepribadian muslim yang beretika tinggi, berhati-hati dalam muamalah, dan selalu mencari rida Allah dalam segala sikap dan keputusan.
Penutup Kajian
Hadirin yang dirahmati Allah,
Sebagai penutup kajian, hadits ini memberikan faedah yang sangat dalam bagi kehidupan kita sehari-hari, terutama dalam menjaga etika dan muamalah kita sesama manusia. Rasulullah ﷺ telah memberikan definisi yang sangat agung tentang al-birr sebagai ḥusnul khuluq—akhlak yang baik—yang mencakup kejujuran, kelembutan hati, rendah hati, dan rasa malu kepada Allah serta sesama. Ini menjadi landasan utama dalam membentuk masyarakat yang penuh rahmat dan harmoni. Sementara itu, definisi al-ithm sebagai sesuatu yang membuat hati gelisah dan tidak nyaman bila diketahui orang lain mengajarkan kita untuk menjadikan suara hati dan kepekaan nurani sebagai penjaga dari dosa yang tersembunyi. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya sikap malu dalam bermuamalah serta kehati-hatian dalam mengambil keputusan moral. Harapannya, setelah mengikuti kajian ini, setiap peserta dapat menerapkan makna birr dalam kehidupan rumah tangga, pekerjaan, dan interaksi sosial, serta menjauhi segala bentuk dosa yang tersembunyi dalam hati dan tidak disukai oleh fitrah. Jadikan hati sebagai cermin amal, dan jangan remehkan bisikan hati yang mengingatkan dari perbuatan tercela.
Mari kita akhiri kajian ini dengan bersama-sama membaca doa penutup majelis dan bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
(Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu dan bertobat kepada-Mu).
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Belajar
membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa harakat