Hadits: Tidak Halal Menarik Kembali Suatu Pemberian atau Hibah

Bismillahirrahmanirrahim. 

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mensyariatkan akhlak mulia dalam kehidupan kita, dan menjadikan adab sebagai pelengkap iman. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan kita dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam memberi dan bermuamalah dengan sesama manusia.

Hadirin yang dirahmati Allah,
Di tengah masyarakat kita hari ini, fenomena memberi lalu menarik kembali pemberian, atau menagih hadiah yang sudah diberikan, sering kali terjadi dan menjadi sumber keretakan hubungan sosial. Tidak sedikit orang yang awalnya memberi sesuatu – entah itu barang, uang, hadiah, atau bahkan janji bantuan – lalu ketika hatinya berubah atau kondisi tidak sesuai harapan, ia menarik kembali pemberiannya. Hal ini tidak hanya terjadi di tingkat individu, tetapi juga dalam lembaga sosial, organisasi, bahkan hubungan bisnis dan keluarga.

Pemberian yang seharusnya menjadi sarana mempererat tali kasih dan membangun kepercayaan justru menjadi sumber konflik, pertengkaran, bahkan perselisihan hukum. Tidak jarang pula pemberian digunakan sebagai alat manipulasi: seseorang memberi bukan karena tulus, tetapi karena ingin mengendalikan penerima. Ketika tidak lagi merasa diuntungkan, ia mencabut pemberiannya seakan-akan itu miliknya selamanya. Akibatnya, nilai spiritual dari sedekah dan hadiah menjadi rusak, dan kepercayaan antar sesama menjadi luntur.

Di sinilah pentingnya kita mengkaji sebuah hadits Rasulullah ﷺ yang sangat dalam maknanya, yang tidak hanya membahas hukum fiqih semata, tetapi juga membentuk kesadaran etika dan spiritual dalam bermuamalah. Hadits ini memberikan peringatan keras terhadap perilaku menarik kembali pemberian yang telah diberikan dengan sukarela, dan bahkan memberikan gambaran yang tegas dan mengena tentang keburukan akhlak tersebut. Nabi ﷺ menggambarkan perbuatan itu seperti anjing yang memakan muntahnya sendiri — gambaran yang tidak sekadar bersifat fisik, tetapi mengandung makna moral yang dalam: bahwa perilaku itu menjijikkan, rendah, dan sangat tidak layak bagi seorang Muslim yang beriman.

Oleh karena itu, hadits ini penting dikaji bukan hanya untuk memahami hukum menarik kembali hibah atau hadiah, tetapi juga untuk menghidupkan kembali nilai keikhlasan, menjaga konsistensi akad, serta membangun masyarakat yang dilandasi oleh kepercayaan, tanggung jawab, dan kemuliaan akhlak. Semoga dengan memahami hadits ini, kita dapat memperbaiki adab dalam memberi, dan menjadi insan yang lebih jujur dan mulia dalam bermuamalah.


 Dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِى يُعْطِى الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ فَإِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِى قَيْئِهِ

Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah kemudian dia memintanya kembali kecuali hibah ayah pada apa yang dia berikan kepada anaknya (maka boleh diminta kembali). Dan perumpamaan orang yang memberi pemberian lalu dia memintanya kembali seperti anjing yang makan lalu jika kenyang, dia memuntahkan, kemudian dia memakan muntahannya.”

 HR. Abu Daud (3539)


Mp3: https://t.me/mp3qhn/232



Arti per Kalimat


 

Perkataan لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ (tidak halal bagi seorang laki-laki) menjadi pembuka hadits yang menunjukkan adanya larangan tegas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kalimat ini menggunakan lafaz laa yahillu yang dalam kaidah ushul fiqh menunjukkan makna haram.

Larangan ini berlaku umum bagi setiap laki-laki, tanpa membedakan status sosialnya, selama ia berakal dan baligh.


Perkataan أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً (memberikan pemberian atau menghadiahkan suatu hadiah) memperjelas bentuk amal atau perbuatan yang dimaksud dalam larangan sebelumnya.

Dua kata yang digunakan, yaitu ‘athiyyah dan hibah, menunjukkan bentuk pemberian yang dilakukan secara sukarela dan bukan karena kewajiban.

Artinya, seseorang yang telah memberikan sesuatu dengan rela, baik dalam bentuk hadiah ataupun pemberian lainnya, sudah seharusnya menganggapnya sebagai hak milik penerima.


Perkataan فَيَرْجِعَ فِيهَا (kemudian ia menarik kembali pemberiannya) menunjukkan tindakan yang dilarang setelah seseorang memberi sesuatu.

Menarik kembali hadiah atau pemberian menunjukkan sikap tidak tulus dan ketidakstabilan dalam niat memberi.

Hal ini mencederai prinsip ikhlas dalam muamalah dan mengganggu ketenangan hubungan sosial di antara manusia.


Perkataan إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ (kecuali ayah terhadap apa yang ia berikan kepada anaknya) merupakan pengecualian dari hukum umum yang sebelumnya telah disebutkan.

Ayah memiliki hak untuk menarik kembali pemberiannya kepada anak, karena harta anak secara prinsip adalah bagian dari hak orang tua selama tidak menzalimi.

Namun, ulama menekankan bahwa penarikan kembali pemberian oleh ayah harus dengan alasan syar’i dan tidak merugikan anak secara zalim.


Perkataan وَمَثَلُ الَّذِى يُعْطِى الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا (dan perumpamaan orang yang memberikan pemberian lalu menariknya kembali) menggambarkan kejelekan perilaku tersebut dengan permisalan.

Rasulullah menggunakan metode tasybih (perumpamaan) agar umat memahami keburukan perilaku ini secara lebih konkret.

Orang yang menarik kembali pemberian disamakan dengan makhluk yang najis dan menjijikkan sebagai bentuk celaan.


Perkataan كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ فَإِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِى قَيْئِهِ (seperti anjing yang makan, lalu setelah kenyang memuntahkannya, kemudian kembali memakannya) menjadi klimaks dari hadits ini.

Ini adalah perumpamaan yang sangat keras dan menggambarkan rendahnya moral orang yang menarik pemberiannya.

Perbuatan itu menunjukkan ketamakan, keburukan akhlak, dan ketidakkonsistenan dalam memberi.

Nabi menyamakan orang seperti ini dengan perilaku hewan yang menjijikkan agar umat merasa hina bila melakukan hal serupa.


Syarah Hadits


 

الهَدِيَّةُ مِنَ الأُمُورِ الَّتِي حَسَّنَتْهَا الشَّرِيعَةُ

Hadiah termasuk salah satu hal yang dianjurkan oleh syariat,

وَرَغَّبَتْ فِي فِعْلِهَا

dan disarankan untuk melakukannya,

وَنَهَتْ عَنِ الرُّجُوعِ فِيهَا

serta melarang mengambil kembali hadiah tersebut,

حَتَّى شُبِّهَ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ بِالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ

hingga orang yang melakukannya diserupakan dengan anjing yang kembali kepada muntahannya.

وَفِي هَذَا الحَدِيثِ يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dalam hadis ini, Nabi bersabda:

"لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً، أَوْ يَهَبَ هِبَةً، فَيَرْجِعَ فِيهَا"

“Tidak halal bagi seseorang memberikan pemberian atau hadiah, lalu mengambilnya kembali.”

وَهَذَا نَهْيٌ عَنِ الرُّجُوعِ فِي الهَدِيَّةِ أَوِ الهِبَةِ

Ini adalah larangan untuk mengambil kembali hadiah atau pemberian.

ثُمَّ اسْتَثْنَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُورَةً مِنْ هَذَا النَّهْيِ

Kemudian Nabi mengecualikan suatu keadaan dari larangan ini,

فَقَالَ: "إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ"

beliau bersabda: “Kecuali orang tua terhadap pemberian yang ia berikan kepada anaknya.”

أَيْ: لِلْوَالِدِ أَنْ يَرْجِعَ فِي عَطِيَّتِهِ أَوْ هِبَتِهِ الَّتِي أَعْطَاهَا لِوَلَدِهِ

Artinya, orang tua boleh mengambil kembali pemberian atau hadiah yang diberikan kepada anaknya,

قِيلَ: ذَلِكَ لِأَنَّ الْوَالِدَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِ وَلَدِهِ الَّذِي لَمْ يَهَبْهُ لِوَلَدِهِ مَا شَاءَ إِذَا لَمْ يَضُرَّ الْوَلَدَ

dikatakan, hal ini karena orang tua boleh mengambil dari harta anaknya yang bukan hadiah, selama tidak merugikan anak tersebut.

ثُمَّ شَبَّهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَرْجِعُ فِي هِبَتِهِ

Kemudian Nabi membuat perumpamaan bagi orang yang mengambil kembali hadiahnya,

فَقَالَ: "وَمَثَلُ الَّذِي يُعْطِي الْعَطِيَّةَ، ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ

Beliau bersabda: “Perumpamaan orang yang memberikan hadiah lalu mengambilnya kembali seperti anjing yang makan,”

فَإِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ"

“ketika ia kenyang, ia muntah, lalu kembali kepada muntahannya.”

أَيْ عَادَ وَأَكَلَ قَيْئَهُ مَرَّةً أُخْرَى

Artinya, ia kembali dan memakan muntahannya lagi,

وَهَذَا مِنْ أَقْبَحِ الْأَفْعَالِ، وَأَكْثَرِهَا نُفْرَةً

dan ini adalah salah satu perbuatan paling buruk dan menjijikkan.

وَإِنَّمَا شَبَّهَهُ بِالْقَيْءِ وَلَمْ يُشَبِّهْهُ بِغَيْرِهِ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ

Perumpamaan ini menggunakan muntah, bukan hal lain yang diharamkan,

تَقْبِيحًا لِشَأْنِهِ

untuk menekankan buruknya perbuatan tersebut,

وَأَنَّ النَّفْسَ كَمَا تَكْرَهُ الرُّجُوعَ فِي الْقَيْءِ وَتَأْنَفُ مِنْهُ وَتَسْتَقْذِرُهُ

karena jiwa manusia seperti membenci, jijik, dan merasa kotor terhadap muntahan,

فَهَكَذَا يَنْبَغِي أَنْ تَنْفِرَ مِنَ الرُّجُوعِ فِي الْهِبَةِ وَتَكْرَهَهُ

demikian pula seharusnya ia membenci dan menjauhi perbuatan mengambil kembali hadiah.

وَفِي الْحَدِيثِ: ذَمُّ طَلَبِ رَدِّ الْهَدِيَّةِ

Hadis ini mencela tindakan meminta kembali hadiah.


Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/117382 


Pelajaran dari Hadits ini


1. Keharaman Menarik Kembali Pemberian

Perkataan لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ (tidak halal bagi seorang laki-laki) menunjukkan adanya hukum haram dalam syariat bagi seorang laki-laki yang menarik kembali pemberian yang telah ia berikan secara sukarela. Dalam konteks muamalah, kehalalan dan keharaman menjadi fondasi penting dalam menjaga keadilan dan kepercayaan antar individu. Memberi secara sukarela lalu mencabutnya mencederai nilai tabarru’ (pemberian sukarela) yang dibangun atas dasar ikhlas. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 177:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ... وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ...

(Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan ialah beriman kepada Allah... dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat...). Memberi dengan ikhlas adalah bagian dari akhlak yang tinggi, bukan sekadar formalitas.


2. Pentingnya Kejelasan dan Ketulusan dalam Pemberian

Perkataan أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً (memberikan pemberian atau menghadiahkan suatu hadiah) menegaskan pentingnya pemberian yang jelas, tulus, dan tidak bersyarat dalam muamalah. Dalam hukum Islam, pemberian atau hibah adalah akad tabarru’ yang bersifat final jika telah diserahterimakan. Etika dalam memberi mengharuskan seseorang untuk tidak berharap imbalan, baik berupa materi maupun pujian. Allah berfirman dalam Surah Al-Insan ayat 9:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

(Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terima kasih). Memberi dengan harapan untuk mengambil kembali merusak nilai spiritual dan sosial dari sedekah atau hadiah.


3. Menjaga Stabilitas Muamalah dengan Konsistensi Akad

Perkataan فَيَرْجِعَ فِيهَا (kemudian ia menarik kembali pemberiannya) memperlihatkan keburukan dari tindakan tidak konsisten dalam akad. Dalam etika muamalah, konsistensi adalah ruh dari kepercayaan (tsiqah) antar pelaku ekonomi. Jika orang terbiasa menarik kembali hadiah atau hibah, maka hilanglah kepercayaan dalam hubungan sosial dan bisnis. Dalam hadis lain Nabi bersabda:

المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

(Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka sepakati – HR. Abu Dawud). Menarik kembali pemberian adalah bentuk pelanggaran terhadap akad yang telah sempurna.


4. Kelonggaran Syariat terhadap Orang Tua

Perkataan إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ (kecuali ayah terhadap apa yang ia berikan kepada anaknya) menunjukkan adanya pengecualian dalam hukum ini. Syariat memberikan kelonggaran kepada orang tua untuk menarik kembali pemberian kepada anak karena pada dasarnya harta anak adalah bagian dari kekuasaan orang tua selama tidak zalim. Rasulullah bersabda:

أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ

(Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu – HR. Ibnu Majah). Namun, ini bukan berarti ayah bebas mengambil harta anak tanpa sebab, karena keadilan tetap menjadi prinsip utama.


5. Celaan Keras terhadap Penarik Pemberian

Perkataan وَمَثَلُ الَّذِى يُعْطِى الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا (dan perumpamaan orang yang memberikan pemberian lalu menariknya kembali) menjadi landasan untuk memahami bahwa perbuatan ini sangat tercela. Dalam etika sosial Islam, menjaga martabat dan konsistensi tindakan merupakan bagian dari adab. Seseorang yang memberi lalu menariknya kembali telah mencoreng martabatnya sendiri, serta menurunkan kepercayaan masyarakat kepadanya dalam interaksi sosial dan bisnis.


6. Gambaran Menjijikkan bagi Orang yang Tidak Konsisten

Perkataan كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ فَإِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِى قَيْئِهِ (seperti anjing yang makan, lalu setelah kenyang memuntahkannya, kemudian kembali memakannya) memberikan visualisasi menjijikkan bagi perilaku menarik kembali pemberian. Dalam etika Islam, akhlak yang buruk sering kali disamakan dengan perilaku binatang yang rendah untuk menunjukkan betapa hina perbuatan tersebut. Anjing yang kembali ke muntahannya menunjukkan sifat tamak dan tidak tahu malu, inilah perumpamaan orang yang tidak konsisten dalam memberi. Rasulullah bersabda:

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الخَصِمُ

(Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah yang paling suka berdebat dan keras kepala – HR. Bukhari). Orang yang menarik kembali pemberian biasanya adalah tipe orang yang suka mencari-cari kesalahan dan tidak lapang dada.


7. Menjaga Nilai Sosial Hadiah dalam Islam

Hadiah dalam Islam memiliki peran penting dalam mempererat hubungan dan membangun rasa kasih sayang antar sesama. Rasulullah bersabda:

تَهَادَوْا تَحَابُّوا

(Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai – HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad). Hadiah adalah alat pelembut hati. Maka menarik kembali hadiah akan merusak fungsi sosial dari pemberian itu dan berpotensi menimbulkan dendam atau permusuhan.


8. Etika Memberi Adalah Bagian dari Iman

Memberi secara tulus merupakan bagian dari iman yang mendalam. Orang yang menarik kembali pemberian menunjukkan kelemahan dalam sisi spiritualnya. Rasulullah bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

(Tidak sempurna iman salah satu dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri – HR. Bukhari dan Muslim). Jika ia tidak suka pemberiannya ditarik kembali oleh orang lain, maka janganlah ia lakukan hal yang sama.


9. Menanamkan Nilai Kepercayaan dalam Transaksi Sosial

Dalam masyarakat, hadiah sering kali menjadi bentuk kepercayaan dan penghargaan. Menariknya kembali menandakan kegagalan dalam menjaga amanah dan ketulusan. Allah berfirman dalam Surah Al-Mu’minun ayat 8:

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

(Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya). Dalam ekonomi Islam, membangun kepercayaan merupakan modal utama kelangsungan sistem sosial dan ekonomi yang adil.


Secara keseluruhan, hadits ini menanamkan prinsip penting dalam ekonomi syariah yaitu keikhlasan, konsistensi akad, dan kepercayaan sebagai landasan dalam interaksi sosial dan finansial. Pemberian tidak boleh digunakan sebagai alat manipulasi atau paksaan, dan menarik kembali pemberian mencederai etika muamalah serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai Islam dalam kehidupan.



Penutupan Kajian



Hadirin yang dimuliakan Allah,

Setelah kita menyimak hadits agung ini dan pelajaran-pelajaran berharganya, kita dapat memahami bahwa Islam tidak hanya mengatur ibadah mahdhah, tetapi juga sangat perhatian terhadap adab sosial, transaksi, dan relasi antar manusia. Hadits tentang larangan menarik kembali pemberian ini mengajarkan kepada kita pentingnya menjaga keikhlasan dalam memberi, menjunjung tinggi kehormatan akad yang sudah berlangsung, serta menanamkan rasa tanggung jawab dan konsistensi dalam setiap keputusan yang kita ambil.

Nabi ﷺ dalam hadits ini memberikan gambaran keras dan menggetarkan hati bagi orang yang gemar menarik kembali pemberiannya, bahwa perbuatan tersebut seperti seekor anjing yang kembali menjilat muntahnya. Ini bukan sekadar sindiran, tapi peringatan bahwa perilaku seperti itu merusak akhlak dan mencederai nilai-nilai sosial dalam Islam. Maka dari itu, hadits ini bukan hanya untuk diketahui secara teoritis, tapi sungguh perlu diresapi dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami berharap, dari kajian ini, para hadirin dapat mengambil pelajaran untuk lebih berhati-hati dalam memberi—bahwa setiap pemberian harus didasari dengan niat yang lurus, tidak berharap kembali, dan tidak menjadikan pemberian sebagai alat untuk menagih kebaikan atau menekan kehendak orang lain. Dalam praktik muamalah, baik di ranah keluarga, sosial, maupun bisnis, mari kita junjung tinggi etika Islami yang menanamkan kejujuran, konsistensi, dan keikhlasan.

Semoga setelah kajian ini, kita menjadi pribadi yang lebih jujur dalam memberi, lebih bertanggung jawab dalam berjanji, dan lebih luhur dalam bersikap. Dan semoga Allah menjadikan kita bagian dari hamba-hamba-Nya yang mencintai adab, menjunjung etika, dan menjaga amanah. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.




Belajar membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa harakat


الهدية من الأمور التي حسنتها الشريعة، ورغبت في فعلها، ونهت عن الرجوع فيها حتى شبه من يفعل ذلك بالكلب يعود في قيئه.

وفي هذا الحديث يقول النبي صلى الله عليه وسلم: "لا يحل لرجل أن يعطي عطية، أو يهب هبة، فيرجع فيها"، وهذا نهي عن الرجوع في الهدية أو الهبة، ثم استثنى النبي صلى الله عليه وسلم صورة من هذا النهي، فقال: "إلا الوالد فيما يعطي ولده"، أي: للوالد أن يرجع في عطيته أو هبته التي أعطاها لولده؛ قيل: ذلك لأن الوالد له أن يأخذ من مال ولده الذي لم يهبه لولده ما شاء إذا لم يضر الولد.

ثم شبه النبي صلى الله عليه وسلم الذي يرجع في هبته، فقال: "ومثل الذي يعطي العطية، ثم يرجع فيها كمثل الكلب يأكل، فإذا شبع قاء ثم عاد في قيئه"، أي عاد وأكل قيئه مرة أخرى وهذا من أقبح الأفعال، وأكثرها نفرة، وإنما شبهه بالقيء ولم يشبهه بغيره من المحرمات؛ تقبيحا لشأنه، وأن النفس كما تكره الرجوع في القيء وتأنف منه وتستقذره؛ فهكذا ينبغي أن تنفر من الرجوع في الهبة وتكرهه.

وفي الحديث: ذم طلب رد الهدية.



Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers