Hadits: Tiga Perkara Untuk Mendapatkan Manisnya Iman
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat Islam, nikmat iman, dan nikmat kesempatan untuk duduk dalam majelis ilmu. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, keluarga beliau, para sahabat, serta orang-orang yang setia mengikuti petunjuk beliau hingga hari kiamat.
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah,
Hari ini kita hidup di zaman di mana banyak hal yang bisa menggoyahkan iman. Banyak orang yang mengaku beriman, namun kecintaan mereka lebih besar kepada dunia daripada kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka lebih memilih mengejar popularitas, uang, atau kekuasaan, meskipun harus mengorbankan prinsip-prinsip agama. Dalam bermuamalah, seringkali kita dapati ketidakjujuran, penipuan, transaksi haram, dan kecintaan berlebihan terhadap harta, bahkan sampai menzalimi saudara sendiri. Semua itu menunjukkan bahwa rasa manisnya iman belum benar-benar tertanam dalam hati banyak orang.
Banyak pula orang yang menjalin hubungan sosial atau persahabatan karena kepentingan pribadi, bukan karena Allah. Bahkan tidak sedikit yang dengan mudah kembali kepada maksiat, bahkan kekufuran, ketika dihadapkan pada kesulitan hidup, seolah-olah iman mereka tak punya nilai dan tidak membekas dalam jiwa. Padahal Rasulullah ﷺ telah menyampaikan dalam haditsnya tentang tiga perkara yang jika ada pada diri seseorang, maka ia akan merasakan halawatul iman — manisnya iman yang lebih lezat dari segala kenikmatan duniawi.
Oleh karena itu, mempelajari hadits ini sangatlah penting. Ia menjadi tolok ukur kejujuran iman seorang hamba. Ia mengajarkan kepada kita bagaimana meletakkan cinta yang benar, membangun hubungan sosial atas dasar keimanan, dan menjaga keselamatan akidah dari kemurtadan dan dosa besar. Hadits ini tidak hanya menjadi teori, tetapi harus dihidupkan dalam praktik kehidupan sehari-hari, termasuk dalam muamalah, pergaulan, dan pilihan-pilihan hidup kita. Maka sangat urgen bagi kita semua untuk tidak hanya memahami lafaz-lafaznya, tapi juga merenungkan makna yang dalam dan menerapkannya dalam kehidupan.
Semoga dengan mempelajari hadits ini, Allah menanamkan dalam hati kita rasa manisnya iman, yang akan menjaga kita dari kecintaan semu dan membawa kita kepada kecintaan sejati kepada-Nya. Aamiin.
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى
فِي النَّارِ.
Tiga hal yang apabila terdapat pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; (2) mencintai seseorang, tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan (3) membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya darinya, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api.
HR. al-Bukhari (16), Muslim (43), at-Tirmidzi (2624) dengan
lafaz ini, an-Nasa’i (4987), Ibnu Majah (4033), dan Ahmad (12021).
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ
Tiga perkara, siapa yang ada padanya (tiga hal ini)
Hadits ini diawali dengan penyebutan angka “tiga” yang
menunjukkan pentingnya tiga perkara berikut sebagai indikator rasa manisnya
iman.
Rasulullah ﷺ menggunakan gaya
bahasa yang memikat dengan menyebutkan angka untuk menarik perhatian dan
mempermudah hafalan.
Kalimat "مَنْ كُنَّ فِيهِ" menjelaskan bahwa tiga sifat ini bukan sekadar
teori, tetapi harus ada dan tertanam dalam diri seseorang.
وَجَدَ حَلَاوَةَ الإِيمَانِ
Ia akan merasakan manisnya iman
Kalimat ini menjelaskan hasil dari memiliki tiga sifat
tersebut, yaitu merasakan kelezatan dan kenikmatan dalam beriman. “حَلَاوَةَ” berasal dari kata “حُلْو”
yang berarti manis, digunakan secara metaforis untuk menggambarkan kenikmatan
batiniah yang dirasakan seseorang ketika imannya benar dan tulus.
Rasa manis ini tidak kasat mata, namun dapat dirasakan dalam
hati berupa ketenangan, cinta kepada kebaikan, dan ridha terhadap ketetapan
Allah.
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِمَّا سِوَاهُمَا
Bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya
Perkataan ini adalah syarat pertama dari tiga hal yang
disebutkan. Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi kecintaan
kepada apa pun di dunia ini, termasuk diri sendiri, keluarga, harta, dan
jabatan.
Cinta ini
diwujudkan dalam ketaatan kepada perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya ﷺ, serta
menjauhi segala larangan-Nya, walau bertentangan dengan hawa nafsu.
Hal ini merupakan
dasar utama keimanan yang benar.
وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ
إِلَّا لِلَّهِ
Dan mencintai seseorang, tidak mencintainya kecuali karena Allah
Perkataan ini menunjukkan pentingnya membangun hubungan
karena Allah, bukan karena kepentingan duniawi.
Cinta karena Allah adalah mencintai seseorang karena
ketaatannya, ilmunya, atau perjuangannya dalam agama.
Ini juga menumbuhkan solidaritas dan ukhuwah Islamiyyah yang
murni, serta menjauhkan dari cinta yang didasarkan pada dunia, suku, atau
fanatisme kelompok.
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ
Dan membenci untuk kembali kepada kekufuran
Ini adalah bentuk penguatan iman, yaitu adanya rasa benci
yang kuat terhadap kekufuran, sekecil apa pun.
Seseorang yang telah merasakan nikmat iman akan sangat
membenci kembali kepada keadaan sebelum ia mengenal hidayah.
Kebencian ini bukan hanya bentuk emosional, tetapi juga
motivasi untuk terus menjaga keimanan dari hal-hal yang merusaknya.
بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ
Setelah Allah menyelamatkannya darinya (dari kekufuran)
Kalimat ini menegaskan bahwa hidayah adalah anugerah dari
Allah. Tidak ada yang bisa keluar dari kekufuran kecuali karena pertolongan dan
rahmat Allah.
Ini juga menjadi pengingat agar seseorang senantiasa
bersyukur atas nikmat iman, dan selalu memohon kepada Allah agar tetap
istiqamah.
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ
Sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api
Perkataan ini menggambarkan tingkat kebencian yang sangat
tinggi terhadap kekufuran, dengan perumpamaan yang ekstrem: dibakar dalam api.
Perumpamaan ini menunjukkan bahwa kebencian terhadap kekufuran harus sebesar rasa takutnya seseorang terhadap siksa neraka. Semakin besar rasa takut itu, semakin besar pula tekad untuk menjaga iman dan menjauhi kekufuran.
Syarah Hadits
هذا حَديثٌ عَظيمٌ، وأصلٌ مِن أُصولِ الإسلامِ
Ini adalah hadis yang agung, dan merupakan dasar dari pokok-pokok ajaran Islam.
وفيه يُرشِدُ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّمَ إلى ثِلاثِ خِصالٍ مِن أعْلَى خِصالِ الإيمانِ
Di dalamnya, Nabi ﷺ memberi petunjuk tentang tiga sifat yang termasuk dari
sifat-sifat iman yang paling tinggi.
مَن كمَّلَها فقدْ وجَدَ حَلاوةَ الإيمانِ
Barang siapa yang menyempurnakan sifat-sifat ini, maka ia akan merasakan
manisnya iman.
فالإيمانُ له حَلاوةٌ وطَعمٌ يُذاقُ بالقُلوبِ
Iman itu memiliki rasa dan kelezatan yang dapat dirasakan oleh hati.
كما تُذاقُ حَلاوةُ الطَّعامِ والشَّرابِ بالفَمِ
Sebagaimana manisnya makanan dan minuman yang dirasakan oleh mulut.
وكما أنَّ الجَسدَ لا يَجِدُ حَلاوةَ الطَّعامِ والشَّرابِ إلَّا عندَ
صِحَّتِه
Sebagaimana tubuh tidak merasakan manisnya makanan dan minuman kecuali dalam
keadaan sehat.
فكذلك القَلبُ إذا سَلِمَ مِن مرَضِ الأهواءِ المُضلَّةِ والشَّهواتِ
المُحرَّمةِ
Demikian pula hati. Jika hati selamat dari penyakit hawa nafsu yang menyesatkan
dan syahwat yang terlarang.
وجدَ حَلاوةَ الإيمانِ
Maka ia akan merasakan manisnya iman.
ومتى مَرِضَ وسَقِمَ لم يَجِدْ حَلاوةَ الإيمانِ
Namun, jika hati sakit dan lemah, maka ia tidak akan merasakan manisnya iman.
بلْ قدْ يَستحْلِي ما فيه هَلاكُه مِن الأهواءِ والمعاصي
Bahkan, bisa jadi ia merasa enak dengan apa yang dapat menghancurkannya dari
hawa nafsu dan dosa.
ومَن وجَدَ حَلاوةَ الإيمانِ استلذَّ الطَّاعاتِ
Barang siapa yang merasakan manisnya iman, ia akan merasakan kenikmatan dalam
ibadah.
وآثَرَها على أغراضِ الدُّنيا
Mengutamakan ibadah tersebut di atas kepentingan dunia.
وتحمَّلَ المشَاقَّ في سَبيلِ اللهِ تعالَى
Dan rela menanggung kesulitan di jalan Allah Ta'ala.
فالخَصلةُ الأُولى: أنْ يكونَ اللهُ ورسولُه أحَبَّ إليه ممَّا سِواهما
Sifat pertama adalah menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada
selain keduanya.
ومَحبَّةُ اللهِ تَنشَأُ مِن مَعرفةِ أسمائِه وصِفاتِه
Cinta kepada Allah tumbuh dari mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
والتفكيرِ في مَصنوعاتِه، وما فيها مِن الحِكَمِ والعَجائبِ
Serta merenungkan ciptaan-Nya yang penuh hikmah dan keajaiban.
وتَحصُلُ مِن مُطالَعةِ نِعَمِه على العِبادِ
Ini juga didapatkan melalui mengamati nikmat-nikmat-Nya yang diberikan kepada
hamba-Nya.
فإنَّ ذلك كلَّه يدُلُّ على كَمالِه وقُدرتِه
Semua itu menunjukkan kesempurnaan-Nya, kekuasaan-Nya.
وحِكمتِه وعِلمِه ورَحمتِه
Kebijaksanaan-Nya, ilmu-Nya, dan rahmat-Nya.
ومَحبَّةُ العبدِ لِخالقِه سُبحانه وتعالَى تَقودُ العبْدَ إلى الْتزامِ
شَريعتِه وطاعتِه
Cinta seorang hamba kepada Penciptanya akan membawanya untuk melaksanakan
syariat-Nya, menaati-Nya.
والانتهاءِ عمَّا نَهى عنه
Dan menjauhi larangan-Nya.
ومَحبَّةُ الرَّسولِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ
تابعةٌ لمَحَبَّةِ اللهِ
Cinta kepada Rasulullah ﷺ adalah pengikut dari cinta kepada Allah.
ويَلزَمُ مِن تلك المحبَّةِ اتِّباعُ النبيِّ
صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في أوامِرِه ونواهيه
Dan dari cinta tersebut akan muncul kewajiban untuk mengikuti perintah dan
larangan Rasulullah ﷺ.
كطاعةِ اللهِ عزَّ وجلَّ
Sebagaimana kita wajib menaati perintah Allah.
ويَجِبُ أنْ تكونَ مَحبَّةُ الرسولِ صلَّى
اللهُ عليه وسلَّمَ في قلْبِ كلِّ مسلِمٍ أعظَمَ مِن مَحبَّتِه لنفْسِه
Cinta kepada Rasulullah ﷺ harus lebih besar di dalam hati setiap
Muslim dibandingkan dengan cinta kepada dirinya sendiri.
ومَحبَّتِه لأبيهِ وأُمِّه
Cinta kepada orang tua.
وابنِه وبِنتِه، وزَوجتِه، وصَديقِه وأقارِبِه، والناسِ أجمعينَ
Cinta kepada anak, istri, sahabat, kerabat, dan seluruh umat manusia.
والخَصلةُ الثَّانيةُ: أنْ يُحِبَّ المرءَ لا يُحِبُّه إلَّا للهِ
Sifat kedua adalah mencintai seseorang hanya karena Allah.
فهذا حَثٌّ على التَّحابِّ في اللهِ
Ini adalah anjuran untuk saling mencintai karena Allah.
وهو مِن أَوثقِ عُرَى الإيمانِ
Yang merupakan salah satu ikatan yang paling kuat dalam iman.
فليستِ المحبَّةُ مِن أجْلِ تَبادُلِ مَنافعَ وتَحصيلِ أغراضٍ دُنيويَّةٍ
Cinta ini bukan karena ingin memperoleh manfaat duniawi atau tujuan pribadi.
وإنَّما جمَعَ بيْنَهما الحُبُّ في اللهِ
Melainkan karena ikatan cinta dalam rangka kebaikan di jalan Allah.
ويَلزَمُ مِن تلك المحبَّةِ نفْعُ المسلمِ لأخيه المسلمِ
Dari cinta seperti ini akan muncul perbuatan saling menolong antar sesama
Muslim.
وتَرْكُ إيذائِه
Menjauhi tindakan menyakiti satu sama lain.
كما في حَديثِ الصحيحَينِ: «المُسلِمُ أخو المُسلِمِ»
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis shahih: 'Seorang Muslim adalah saudara
bagi Muslim lainnya.'
«لا يَظلِمُه، ولا يُسْلِمُه»
'Tidak menzaliminya, dan tidak menyerahkannya pada keburukan.'
ومَن كان في حاجةِ أخيه كان اللهُ في حاجتِه
Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi
kebutuhannya.
ومَن فرَّجَ عن مُسلِمٍ كُرْبةً، فرَّجَ اللهُ عنه كُربةً مِن كُرُباتِ
يَومِ القيامةِ
Barang siapa yang melepaskan kesusahan seorang Muslim, maka Allah akan
melepaskan kesusahan-Nya pada hari kiamat.
ومَن ستَرَ مُسلِمًا ستَرَه اللهُ يَومَ القِيامةِ
Barang siapa yang menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya
pada hari kiamat.
والخَصلةُ الثَّالثةُ: أنْ يَكْرَهَ المسلمُ
أنْ يَعودَ في الكُفْرِ
Sifat ketiga adalah bahwa seorang Muslim membenci untuk kembali ke dalam
kekufuran.
كما يَكرَهُ أنْ يُقذَفَ في النَّارِ
Sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.
إذا رسَخَ الإيمانُ في القلْبِ، وتحقَّقَ به، ووجَدَ العبْدُ حَلاوتَه
وطَعْمَه
Jika iman telah tertanam dengan kuat dalam hati, dan seorang hamba merasakan
manisnya iman.
أحبَّه، وأحبَّ ثَباتَه ودَوامَه، والزِّيادةَ منه
Maka ia akan mencintainya, ingin tetap dalam keadaan beriman, dan berharap iman
tersebut bertambah.
وكَرِهَ مُفارقتَه
Ia juga akan membenci apabila terlepas dari iman.
وكانتْ كَراهتُه لمُفارقتِه أعظَمَ عندَه مِن كَراهةِ الإلقاءِ في النَّارِ
Dan rasa kebenciannya untuk terlepas dari iman akan lebih besar daripada
kebenciannya terhadap terjatuh ke dalam api neraka.
إذا وجَدَ العبْدُ حلاوةَ الإيمانِ في قَلْبِه أحَسَّ بمَرارةِ الكُفرِ
والفُسوقِ والعِصيانِ
Jika seorang hamba merasakan manisnya iman dalam hatinya, maka ia akan
merasakan kepahitan dalam kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.
قيل: وإنَّما قال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّمَ هذا تَحذيرًا وتَخويفًا للصَّحابةِ
Dikatakan bahwa Nabi ﷺ menyampaikan hal ini sebagai peringatan
dan ancaman kepada para sahabat.
لأنَّهم كانوا كُفَّارًا فأسلَموا
Karena mereka dulunya adalah orang-orang kafir yang kemudian memeluk Islam.
وكان في بَعضِ النُّفوسِ حُبُّ ما كان في الزَّمانِ الماضي
Dalam beberapa jiwa mereka masih ada rasa cinta terhadap masa lalu mereka
sebagai orang kafir.
فبيَّنَ لهم صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنَّ
العَودَ إلى الكُفْرِ كإلْقاءِ الرجُلِ نفْسَه في النارِ
Maka Rasulullah ﷺ menjelaskan kepada mereka bahwa kembali kepada kekufuran adalah
seperti melemparkan diri ke dalam api neraka.
لأنَّ عاقِبةَ الكُفَّارِ دُخولُ نارِ جهنَّمَ
Karena akibat dari kekufuran adalah masuknya ke dalam neraka Jahannam.
ونقْضُ التَّوبةِ والرُّجوعُ مِنَ التَّوبةِ إلى المعصيةِ أيضًا كإلْقاءِ
الرجُلِ نفْسَه في نارِ جهنَّمَ
Begitu juga, membatalkan taubat dan kembali lagi ke dalam dosa adalah seperti
melemparkan diri ke dalam api neraka.
وهذا مِن عِظَمِ ذَنبِ الكُفْرِ والعَودةِ إليه
Ini menunjukkan betapa besarnya dosa kekufuran dan kembali kepadanya.
Pelajaran dari Hadits ini
1.
Tiga sifat utama menuju manisnya iman
Dalam perkataan ثَلَاثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الإِيمَانِ (Tiga perkara, siapa yang ada padanya maka
ia akan merasakan manisnya iman), Rasulullah ﷺ
menjelaskan bahwa iman bukan sekadar keyakinan di hati, tetapi ada rasa dan
pengaruh yang dirasakan dalam jiwa berupa kenikmatan batin. Hal ini
mengisyaratkan bahwa iman sejati akan melahirkan kebahagiaan, ketenangan, dan
kepuasan hati yang hakiki. Allah juga menegaskan bahwa hanya dengan
mengingat-Nya hati menjadi tenteram:
أَلَا
بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(QS. Ar-Ra’d: 28) (“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”)
2.
Cinta tertinggi kepada Allah dan Rasul-Nya
Perkataan أَنْ
يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا (Bahwa
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya) menegaskan bahwa
cinta kepada Allah dan Rasul adalah pondasi utama iman. Cinta ini harus
mengalahkan cinta kepada makhluk, bahkan diri sendiri. Cinta ini membuahkan
ketaatan, kesetiaan, dan kerelaan berkorban. Allah berfirman dalam QS.
At-Taubah: 24:
قُلْ
إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
(“Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum kerabatmu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan
dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya.”)
3.
Persaudaraan karena Allah
Dalam perkataan وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ (Dan mencintai seseorang, tidak
mencintainya kecuali karena Allah), Islam menanamkan prinsip cinta suci yang
terbebas dari motif duniawi. Persaudaraan sejati dalam Islam dibangun atas
dasar keimanan dan keikhlasan. Inilah yang mengikat umat dalam ukhuwah yang
kuat. Rasulullah ﷺ
bersabda:
مَنْ
أَحَبَّ لِلَّهِ، وَأَبْغَضَ لِلَّهِ، وَأَعْطَى لِلَّهِ، وَمَنَعَ لِلَّهِ،
فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ
(“Barang
siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan
menahan karena Allah, maka sungguh ia telah menyempurnakan iman.”) — HR. Abu
Dawud (4681)
4.
Kebencian terhadap kekufuran
Perkataan وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ (Dan membenci untuk kembali kepada
kekufuran) menunjukkan bahwa orang beriman memiliki rasa jijik dan takut yang
sangat terhadap kekufuran, baik dalam bentuk keyakinan maupun perbuatan. Ini
adalah wujud dari keteguhan iman dan perlindungan diri dari fitnah dunia yang
bisa menyeret kepada kesesatan. Allah memuji orang-orang yang membenci
kekufuran dalam QS. Al-Hujurat: 7:
وَلَكِنَّ
اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ
إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
(“Tetapi
Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikannya indah dalam
hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekufuran, kefasikan, dan
kemaksiatan.”)
5.
Kesadaran akan nikmat hidayah
Perkataan بَعْدَ إِذْ
أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ (Setelah Allah menyelamatkannya darinya
[dari kekufuran]) mengajarkan bahwa iman adalah anugerah, bukan hasil usaha
semata. Maka seorang muslim harus selalu bersyukur dan merasa takut kehilangan
nikmat iman. Doa Nabi ﷺ yang
selalu beliau baca adalah:
يَا
مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
(“Wahai
Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.”) — HR.
Tirmidzi (2140)
6.
Ketakutan terhadap neraka sebagai motivasi iman
Dalam perkataan كَمَا
يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ (Sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam
api), ditunjukkan bahwa ketakutan terhadap siksa neraka bisa menjadi pendorong
kuat untuk menjaga iman. Ini adalah bentuk taqwa yang hakiki: rasa takut yang
melahirkan amal dan menjauhkan dari maksiat. Dalam QS. At-Tahrim: 6, Allah
berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
(“Wahai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”)
7.
Iman mencakup cinta, benci, dan rasa takut sekaligus
Hadits ini menunjukkan keseimbangan antara tiga unsur penting dalam iman: cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya, cinta kepada sesama karena Allah, serta kebencian
terhadap kekufuran dan rasa takut akan neraka. Ketiganya adalah bagian dari
kesempurnaan iman. Tanpa salah satunya, iman akan pincang dan mudah goyah.
8.
Keimanan bukan hanya dalam hati, tetapi membuahkan rasa dan sikap
Hadits ini menyiratkan bahwa iman yang benar itu akan dirasakan dalam bentuk
kelezatan rohani dan ditampakkan dalam bentuk sikap hidup. Manisnya iman adalah
rasa yang akan hadir jika iman terwujud dalam amalan dan prioritas hidup.
Rasulullah ﷺ bersabda:
ذَاقَ
طَعْمَ الْإِيمَانِ، مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا،
وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
(“Telah
merasakan lezatnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai
agama, dan Muhammad sebagai rasul.”) — HR. Muslim (34)
Secara
keseluruhan, hadits ini merupakan panduan mendalam dalam menakar kualitas iman,
tidak hanya melalui keyakinan, tapi juga melalui cinta, kebencian, dan rasa
takut yang benar. Iman yang sejati akan membawa ketenangan dan kebahagiaan,
karena ia hidup dalam naungan cinta kepada Allah, berjuang menjauhi kekufuran,
dan mengikat hubungan dengan sesama karena Allah.
Contoh
Orang Yang Mendapatkan Manisnya Iman
1. Menolak ajakan keluarga demi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
Seorang pemuda diajak orang tuanya untuk bekerja di tempat yang haram, seperti di bank ribawi atau usaha minuman keras. Namun ia menolak dengan halus karena cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya lebih besar daripada kecintaan kepada keluarga dan materi dunia. Ia lebih memilih pekerjaan yang halal meskipun gajinya lebih kecil. Ini adalah wujud dari perkataan "أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا".
2. Mencintai seseorang karena agama, bukan karena status sosial
Seorang wanita memilih untuk menikah dengan laki-laki saleh yang miskin, karena ia mencintainya karena Allah, bukan karena harta atau penampilan. Ia menolak lamaran pria kaya yang jauh dari agama. Ini menunjukkan aplikasi dari "وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ".
3. Menjauhi lingkungan pergaulan lama yang penuh maksiat
Seseorang yang dulunya tenggelam dalam dunia malam, minuman keras, dan pergaulan bebas, lalu Allah beri hidayah dan ia berhijrah. Ketika teman-teman lamanya mengajaknya kembali, ia menolak dengan tegas dan bahkan membenci kenangan-kenangan maksiat itu. Ia sangat takut jika kembali ke kekufuran atau jalan sesat. Ini mencerminkan perkataan "وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ".
4. Keteguhan muallaf meski diusir keluarga
Seorang muallaf yang masuk Islam harus menghadapi penolakan dan bahkan diusir dari rumah oleh keluarganya. Meski sakit, ia tetap sabar dan teguh karena cintanya kepada Allah dan Rasul ﷺ lebih besar. Ia tetap menjalankan shalat, membaca Al-Qur’an, dan belajar agama. Ini adalah gambaran hidup dari keseluruhan hadits ini.
5. Menolak suap atau jabatan karena takut kepada Allah
Seorang pejabat ditawari suap dalam jumlah besar, dengan janji akan mendapatkan jabatan lebih tinggi. Tapi karena takut kepada Allah dan benci kepada dosa serta korupsi (yang bisa menyeretnya ke dalam murka Allah), ia menolaknya. Ia lebih memilih hidup bersih walau sederhana. Ini wujud nyata dari rasa takut terhadap ‘api neraka’ sebagaimana dalam hadits: "كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ".
6. Mengembalikan barang temuan meski tak ada yang melihat
Seorang muslim menemukan dompet berisi uang di jalan tanpa ada seorang pun di sekitarnya. Ia bisa saja mengambil uang itu untuk dirinya, namun karena cintanya kepada Allah dan rasa takut akan dosa, ia justru mengumumkannya dan mengembalikannya kepada pemiliknya. Ia tahu bahwa kejujuran adalah bukti keimanan, dan ia tidak ingin kembali pada sifat curang dan dzalim yang termasuk sifat orang kafir. Ini mencerminkan perkataan "يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ" dalam aspek muamalah.
7. Menolak riba dan memilih transaksi syar’i
Seorang pedagang ditawari pinjaman berbunga rendah oleh bank untuk mengembangkan usahanya. Namun ia menolak dengan tegas karena cinta kepada Allah dan Rasul lebih besar dari keuntungan materi. Ia mencari alternatif pinjaman syar’i walau lebih rumit, demi menjaga kesucian hartanya. Ini adalah bentuk nyata dari "أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا" dalam praktik muamalah.
8. Memilih rekan bisnis karena ketakwaan, bukan karena keuntungan besar
Seseorang ditawari kerja sama oleh dua orang: satu ahli bisnis namun dikenal tidak jujur, satu lagi sederhana tapi jujur dan taat kepada Allah. Ia memilih bekerja sama dengan yang jujur karena mencintainya karena Allah. Ia tidak melihat dari sisi potensi profit semata, melainkan niat dan akhlak dalam bermuamalah. Ini adalah aplikasi dari "يُحِبُّهُ لِلَّهِ" dalam dunia bisnis.
9. Tidak menipu dalam timbangan meski konsumen tidak sadar
Seorang penjual buah bisa saja mengurangi timbangan beberapa gram tanpa ketahuan pembeli, namun ia memilih menambahkan sedikit agar tidak menzalimi. Ia sangat takut jika kelak perbuatannya menyeretnya ke dalam dosa besar, karena ia benci maksiat sebagaimana ia benci neraka. Ini sesuai dengan "يَكْرَهَ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ" dalam konteks muamalah.
10. Menolak mengambil hak orang lain dalam warisan meskipun bisa memanipulasi
Seseorang yang memiliki pengetahuan hukum waris melihat celah untuk mengambil bagian warisan yang bukan haknya dengan cara mempengaruhi ahli waris lain atau menyembunyikan informasi. Namun, ia menolak untuk melakukannya karena rasa takut kepada Allah dan kebenciannya terhadap perbuatan dzalim. Ia lebih mencintai kejujuran karena Allah daripada harta yang tidak halal. Ini wujud dari "وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ" karena kedzaliman adalah bagian dari kegelapan pada hari kiamat.
11. Membatalkan akad jual beli karena menyadari ada unsur gharar atau riba
Seorang pengusaha menyepakati suatu akad jual beli, namun setelah mempelajari lebih dalam, ia mengetahui akad tersebut mengandung unsur riba atau gharar yang dilarang syariat. Maka ia segera membatalkan kesepakatan itu meski akan merugi secara duniawi. Ia lebih mencintai kesucian usahanya karena Allah dan Rasul daripada keuntungan semata. Ini bentuk nyata dari "أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا".
12. Memaafkan mitra bisnis karena Allah semata
Seorang rekan bisnis pernah menipu dan merugikannya, namun setelah mitra tersebut bertaubat dan meminta maaf dengan sungguh-sungguh, ia memaafkannya karena mengharap pahala dari Allah. Ia tidak menyimpan dendam karena cintanya kepada saudaranya didasari karena Allah. Ini menggambarkan makna dari "يُحِبُّهُ لِلَّهِ" dalam praktik muamalah.
13. Menyampaikan aib barang dagangan secara jujur
Seorang penjual tahu ada sedikit kerusakan pada produk yang ia jual, seperti lecet atau cacat kecil. Ia bisa saja tidak memberi tahu calon pembeli, tetapi karena takut kepada Allah dan ingin menjaga kehalalan hartanya, ia menyampaikan aib tersebut dengan jujur. Ia lebih takut pada akibat dusta dalam muamalah daripada kehilangan pembeli. Ini bentuk dari "يَكْرَهَ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ" dalam jual beli.
14. Membayar hutang tepat waktu meskipun dalam kesulitan
Seorang muslim berusaha keras untuk melunasi utangnya tepat waktu meskipun sedang kesulitan, karena ia tahu menunda pembayaran tanpa uzur adalah bentuk kezaliman. Ia takut dosa dan murka Allah, dan ia ingin menjaga nama baiknya sebagai mukmin. Ini adalah bentuk nyata dari manisnya iman yang tercermin dalam amanah muamalah.
Penutup
Kajian
Sebagai penutup kajian kita hari ini, hadits tentang halawatul iman atau manisnya iman memberikan pelajaran yang sangat mendalam tentang hakikat iman yang sejati. Ia bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi perasaan cinta yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, hubungan yang dibangun karena Allah semata, serta keteguhan dalam menjaga keimanan dari kerusakan dan kekufuran. Hadits ini memberi kita standar untuk mengukur dan memperbaiki kualitas iman kita agar tidak mudah goyah oleh dunia dan hawa nafsu.
Marilah kita berusaha menerapkan kandungan hadits ini dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ibadah, pergaulan, maupun dalam muamalah. Jadikan cinta kepada Allah dan Rasul sebagai landasan setiap pilihan hidup. Pilih sahabat dan rekan karena agama dan ketakwaan, bukan semata karena kesamaan minat atau keuntungan dunia. Dan tanamkan rasa takut untuk kembali kepada kekufuran atau maksiat, dengan terus memohon pertolongan Allah agar kita diberi keteguhan hati di atas iman hingga akhir hayat.
Sebelum kita akhiri kajian ini, mari bersama-sama membaca doa penutup majelis agar pertemuan kita diberkahi dan diampuni oleh Allah:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ