Hadits: Nabimu Telah Mengajarkan Segala Sesuatu Hingga Adab Buang Hajat
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah ﷻ yang telah menyempurnakan agama ini dengan petunjuk yang sempurna, dan menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai suri teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang setia mengikuti sunnah beliau hingga akhir zaman.
Jamaah yang dirahmati Allah, pada kesempatan kajian kali ini kita akan membahas sebuah hadits yang sekilas terlihat sederhana karena berbicara tentang adab buang air. Namun jika kita telaah lebih dalam, hadits ini sejatinya menyimpan pelajaran besar tentang keindahan dan kelengkapan Islam. Ia mengajarkan kepada kita bagaimana Islam tidak hanya mengatur persoalan ibadah besar seperti shalat dan puasa, tetapi juga mengatur urusan sehari-hari yang sangat pribadi, seperti bagaimana cara bersuci dan menjaga adab saat di kamar kecil.
Kenyataannya, di masyarakat kita hari ini masih banyak yang kurang memperhatikan hal-hal kecil dalam agama, terutama terkait dengan adab kebersihan dan bersuci. Kita dapati sebagian orang masih menggunakan tangan kanan saat membersihkan najis, atau membuang air menghadap kiblat tanpa rasa bersalah, atau menggunakan alat yang tidak sesuai adab syar’i. Ironisnya, hal-hal ini dianggap sepele dan seringkali disepelekan, padahal dalam Islam, kebersihan adalah bagian dari iman, dan tata cara bersuci adalah syarat sahnya ibadah.
Oleh karena itu, mempelajari hadits ini menjadi sangat penting, agar kita tidak hanya memahami hukum-hukumnya, tapi juga menyadari urgensinya dalam membentuk pribadi Muslim yang bersih lahir dan batin, yang menjaga adab dalam seluruh aspek kehidupannya. Hadits ini menjadi bukti nyata bahwa Islam adalah agama yang lengkap, yang memperhatikan manusia secara total—fisik, jiwa, dan perilakunya.
Maka mari kita buka hati dan pikiran kita untuk menyimak pelajaran yang mulia dari hadits ini, agar kita bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadikan setiap perbuatan kita bernilai ibadah di sisi Allah ﷻ.
Mari kita bacakan haditsnya:
Dari Salman
Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata:
قَالَ لَنَا
الْمُشْرِكُونَ: إِنِّي أَرَى صَاحِبَكُمْ يُعَلِّمُكُمْ حَتَّى يُعَلِّمَكُمُ
الْخِرَاءَةَ، فَقَالَ: أَجَلْ، إِنَّهُ نَهَانَا أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا
بِيَمِينِهِ، أَوْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ، وَنَهَى عَنِ الرَّوْثِ
وَالْعِظَامِ، وَقَالَ: لَا يَسْتَنْجِيَ أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ.
Orang-orang musyrik berkata kepada kami: 'Sesungguhnya aku melihat teman kalian (Muhammad) mengajarkan kalian sampai-sampai mengajarkan kalian tentang buang air.' Maka ia (sahabat) berkata: 'Benar, beliau melarang kami untuk beristinja (cebok) dengan tangan kanan, atau menghadap kiblat (saat buang air), dan beliau melarang (kami) menggunakan kotoran hewan serta tulang (untuk bersuci). Dan beliau bersabda: Janganlah salah seorang di antara kalian beristinja dengan kurang dari tiga batu.
HR Muslim (262)
Arti dan Penjelasan Per Kalimat
قَالَ لَنَا الْمُشْرِكُونَ
Perkataan orang-orang musyrik kepada kami:
Perkataan ini menunjukkan bahwa dialog ini berasal dari
interaksi langsung antara kaum musyrik dan para sahabat Nabi ﷺ. Kata "قَالَ" berarti
"berkata", dan "لَنَا" berarti
"kepada kami", menunjukkan bahwa sahabat sedang menceritakan
pengalaman mereka. Sedangkan "الْمُشْرِكُونَ"
artinya "orang-orang musyrik", yaitu orang-orang yang menyekutukan
Allah. Ini menggambarkan bahwa bahkan kaum musyrik memperhatikan detail ajaran
Islam yang diajarkan Nabi ﷺ, hingga pada aspek kehidupan yang sangat
pribadi.
إِنِّي أَرَى صَاحِبَكُمْ يُعَلِّمُكُمْ
حَتَّى يُعَلِّمَكُمُ الْخِرَاءَةَ
Sesungguhnya aku melihat sahabat kalian mengajarkan kalian sampai-sampai
mengajarkan kalian tentang buang air.
Perkataan ini adalah bentuk kekaguman sekaligus ejekan
dari kaum musyrik terhadap Rasulullah ﷺ. Kata "إِنِّي أَرَى" berarti "aku melihat",
menandakan perhatian mereka terhadap apa yang diajarkan Rasul. "صَاحِبَكُمْ" berarti "teman kalian",
yakni Nabi Muhammad ﷺ. Kata ini terkadang digunakan dengan maksud
merendahkan. Kalimat ini menyoroti betapa lengkap dan terperincinya ajaran Nabi
ﷺ, bahkan mencakup adab buang air (الْخِرَاءَةَ).
Bagi mereka, hal ini terlihat berlebihan, namun dalam Islam, ini menunjukkan
kesempurnaan agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk
perkara kecil yang dianggap remeh.
فَقَالَ: أَجَلْ، إِنَّهُ نَهَانَا أَنْ
يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِيَمِينِهِ
Maka ia berkata: “Benar, beliau melarang kami untuk beristinja (cebok) dengan
tangan kanan.”
Perkataan ini adalah pengakuan langsung dari sahabat
bahwa benar ajaran Nabi ﷺ mencakup hal-hal detail, dan hal itu
bukanlah sesuatu yang memalukan. Kata "أَجَلْ"
adalah bentuk penegasan, artinya “benar” atau “ya”. Kemudian "إِنَّهُ نَهَانَا" artinya “sesungguhnya beliau
melarang kami”, menunjukkan bahwa perintah ini bukan sekadar saran, melainkan
larangan. Beristinja dengan tangan kanan dilarang karena tangan kanan
dimuliakan dalam Islam dan digunakan untuk aktivitas yang bersih dan baik,
seperti makan, memberi salam, dan menerima sesuatu. Larangan ini menunjukkan
pentingnya menjaga adab dalam segala urusan.
أَوْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ
Atau menghadap kiblat (ketika buang air).
Perintah ini merupakan bentuk penghormatan terhadap
kiblat, yaitu arah Ka’bah, pusat ibadah umat Islam. Menghadap ke arahnya dalam
keadaan tidak suci seperti buang air adalah tidak pantas. Kata “يَسْتَقْبِلَ” berarti “menghadap”, dan “الْقِبْلَةَ” adalah arah Ka’bah. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam Islam, bahkan arah saat buang air pun diperhatikan agar tetap
menjaga kehormatan tempat suci. Larangan ini mendidik umat untuk senantiasa
menjaga adab dan etika dalam setiap kondisi, bahkan yang dianggap sepele.
وَنَهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالْعِظَامِ
Dan beliau melarang (kami) menggunakan kotoran hewan dan tulang.
Larangan ini berkaitan dengan alat yang digunakan untuk
beristinja. Kata “الرَّوْثِ” berarti kotoran
hewan, dan “الْعِظَامِ” berarti tulang. Dalam hadits lain
dijelaskan bahwa kedua benda ini merupakan makanan jin dari golongan muslim,
sehingga tidak boleh digunakan untuk bersuci. Larangan ini menunjukkan bahwa
Islam juga memperhatikan hak makhluk lain, serta pentingnya kebersihan dan
pemilihan alat yang layak dan bersih dalam bersuci. Ini juga mencerminkan adab
terhadap ciptaan Allah secara umum.
وَقَالَ: لَا يَسْتَنْجِيَ أَحَدُكُمْ بِدُونِ
ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ
Dan beliau bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian beristinja
dengan kurang dari tiga batu.”
Kalimat ini menunjukkan bahwa dalam bersuci setelah
buang air, dibutuhkan minimal tiga batu agar bersih. Ini adalah standar minimal
dalam bersuci jika air tidak tersedia. Kata “لَا يَسْتَنْجِيَ”
berarti “janganlah beristinja”, dan “بِدُونِ ثَلَاثَةِ
أَحْجَارٍ” berarti “dengan kurang dari tiga batu”. Penekanan pada
jumlah ini menunjukkan pentingnya kesempurnaan dalam bersuci dan menjaga
kebersihan. Islam mengajarkan bahwa kebersihan adalah bagian dari iman, dan
karenanya bersuci tidak boleh dilakukan asal-asalan.
Syarah Hadits
حَرَصَ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى أَنْ يُعَلِّمَ
أُمَّتَهُ كُلَّ تَفَاصِيلِ الدِّينِ
Nabi ﷺ ingin sekali mengajarkan umatnya segala rincian agama,
وَيُصَوِّبَ لَهُمْ أَخْطَاءَهُمْ وَمَا
اعْتَادُوهُ مِنْ أُمُورِ الْجَاهِلِيَّةِ
dan meluruskan kesalahan mereka serta kebiasaan-kebiasaan yang mereka warisi
dari masa jahiliah,
وَمِنْ ذَلِكَ أَنْ عَلَّمَ أُمَّتَهُ آدَابَ
التَّخَلِّي وَقَضَاءِ الْحَاجَةِ
termasuk di antaranya adalah mengajarkan tata cara buang air besar dan kecil,
وَدُخُولِ الْحَمَّامَاتِ وَالْكُنُفِ
serta adab masuk ke tempat mandi dan toilet.
وَكَانَ مِنْ شَأْنِ الْمُشْرِكِينَ
الِاسْتِهْزَاءُ بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Adalah kebiasaan orang-orang musyrik mengejek para sahabat Rasulullah ﷺ,
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ يَحْكِي سَلْمَانُ
الْفَارِسِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا لِلصَّحَابَةِ
dan dalam hadis ini, Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa orang-orang musyrik berkata
kepada para sahabat,
-وَعَبَّرَ بِقَوْلِهِ: «قَالَ لَنَا
الْمُشْرِكُونَ» إِمَّا لِأَنَّ التَّقْدِيرَ: قَالَ لَنَا قَائِلُ الْمُشْرِكِينَ
-dan dia mengungkapkan dengan kalimat “orang-orang musyrik berkata kepada kami”
karena mungkin maksudnya: seseorang dari orang musyrik berkata kepada kami,
أَوْ إِنَّهُ أَرَادَ وَاحِدًا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ، وَجَمَعَهُ لِكَوْنِ بَاقِيهِمْ يُوَافِقُونَهُ-
atau dia bermaksud satu orang dari orang musyrik, namun dia menyebut mereka
dalam bentuk jamak karena yang lain menyetujui ucapan itu-
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُعَلِّمُكُمْ كُلَّ شَيْءٍ، حَتَّى الْخِرَاءَةَ
“Sesungguhnya Nabi kalian ﷺ mengajarkan kalian segala sesuatu, bahkan
tentang buang air besar.”
أَيْ: حَتَّى إِنَّهُ اهْتَمَّ فِي عَلَامِهِ
لَكُمْ كَيْفَ يَكُونُ تَطَهُّرُكُمْ مِنَ الْحَدَثِ
Yakni, sampai-sampai beliau memperhatikan dalam pengajaran kepada kalian cara
bersuci dari hadas.
وَالْخِرَاءَةُ: اسْمٌ لِهَيْئَةِ مَا
يُخْرِجُهُ الْإِنْسَانُ مِنْ فَضَلَاتٍ
Dan "al-khira'ah" adalah istilah untuk keadaan seseorang saat
membuang kotoran.
فَقَالَ سَلْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
مُشِيرًا إِلَى أَنَّ هَذَا مَقَامُ فَخْرٍ لَا اسْتِهْزَاءٍ: «أَجَلْ»
Maka Salman radhiyallahu 'anhu menjawab sambil menunjukkan bahwa ini
adalah suatu kebanggaan, bukan bahan ejekan: “Betul.”
عَلَّمَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ،
Nabi ﷺ telah mengajarkan kepada kami hal itu,
وَمِمَّا عَلَّمَهُ لَنَا
dan di antara yang beliau ajarkan kepada kami (adalah)
أَلَّا نَسْتَعْمِلَ الْيَدَ الْيُمْنَى فِي
إِزَالَةِ الْبَوْلِ أَوِ الْغَائِطِ
agar kami tidak menggunakan
tangan kanan untuk membersihkan kencing atau buang air besar,
وَلَكِنَّ الْعَمَلَ يَكُونُ بِالْيَدِ
الْيُسْرَى
melainkan harus dilakukan dengan tangan kiri,
تَعْظِيمًا لِلْيُمْنَى، وَتَخْصِيصًا لَهَا
بِالْأُمُورِ الشَّرِيفَةِ وَالْكَرِيمَةِ
sebagai bentuk penghormatan kepada tangan kanan dan mengkhususkannya untuk
hal-hal yang mulia dan terhormat,
وَتَخْصِيصًا لِلْيَدِ الْيُسْرَى
بِالْمُسْتَقْذَرَاتِ
serta mengkhususkan tangan kiri untuk hal-hal yang kotor,
وَهَذَا مِنْ حُسْنِ الْأَدَبِ وَالتَّنْظِيمِ
dan ini termasuk adab yang baik dan pengaturan yang sempurna.
وَالِاسْتِنْجَاءُ: هُوَ اسْتِخْدَامُ
الْمَاءِ أَوْ مَا شَابَهَ لِإِزَالَةِ الْأَذَى وَأَثَرِهِ الْخَارِجِ مِنَ
السَّبِيلَيْنِ
Istinja adalah menggunakan air atau benda sejenisnya untuk menghilangkan
kotoran dan bekasnya yang keluar dari dua jalan (kemaluan atau dubur).
وَنَهَانَا كَذَلِكَ عَنْ أَنْ يَسْتَقْبِلَ
أَحَدُنَا الْقِبْلَةَ عِنْدَ جُلُوسِهِ لِبَوْلٍ أَوْ غَائِطٍ
Dan beliau juga melarang kita menghadap kiblat ketika duduk untuk buang air
kecil atau besar,
وَلَكِنْ يَتَّجِهُ إِلَى الْجِهَاتِ الْأُخْرَى
melainkan harus menghadap ke arah lain,
وَهَذَا فِي الصَّحْرَاءِ وَالْفَضَاءِ
dan ini berlaku ketika berada di padang terbuka atau tempat lapang.
أَمَّا فِي الْبُيُوتِ وَمَا أَشْبَهَهَا
فَلَا بَأْسَ
Namun, jika berada di rumah atau tempat sejenisnya, maka tidak mengapa.
كَمَا فِي حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ الْأَصْفَرِ
Sebagaimana dalam hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dari Marwan bin Al-Ashfar:
«رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ، ثُمَّ جَلَسَ يَبُولُ إِلَيْهَا
“Aku melihat Ibnu Umar menambatkan hewan tunggangannya menghadap kiblat,
kemudian dia duduk dan buang air kecil menghadap kiblat.”
فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
أَلَيْسَ قَدْ نُهِيَ عَنْ هَذَا؟
Maka aku berkata: Wahai Abu Abdurrahman, bukankah ini dilarang?”
فَقَالَ: بَلَى، إِنَّمَا نُهِيَ عَنْ ذَلِكَ
فِي الْفَضَاءِ
Dia menjawab: “Betul, tetapi larangan itu hanya berlaku di tempat lapang.”
فَإِذَا كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ
شَيْءٌ يَسْتُرُكَ فَلَا بَأْسَ»
“Namun, jika ada sesuatu yang menjadi penghalang antara kamu dan kiblat, maka
itu tidak mengapa.”
وَنَهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالْعِظَامِ
Beliau juga melarang penggunaan kotoran hewan kering dan tulang,
فَلَا نَسْتَعْمِلُهُمَا فِي التَّطَهُّرِ
وَإِزَالَةِ الْأَذَى
sehingga kita tidak boleh menggunakannya untuk bersuci dan menghilangkan
kotoran.
فَنَهَى عَنْ اسْتِخْدَامِ
"الرَّوْثِ" -وَهِيَ فَضَلَاتُ الْبَهَائِمِ الْجَافَّةُ-
Beliau melarang penggunaan “ar-rawts” (kotoran hewan yang sudah kering),
لِأَنَّ الرَّوْثَ نَجِسٌ
karena kotoran hewan adalah najis,
وَنَهَى عَنِ الْعَظْمِ؛ لِأَنَّ الْعَظْمَ
طَعَامُ الْجِنِّ
dan melarang penggunaan tulang, karena tulang adalah makanan jin,
كَمَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ
مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ لِلْجِنِّ لَمَّا سَأَلُوهُ الزَّادَ
sebagaimana dalam hadis riwayat Muslim dari Ibnu Mas’ud ketika ia berkata
kepada jin yang meminta makanan:
«لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ
عَلَيْهِ يَقَعُ فِي أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا يَكُونُ لَحْمًا
“Setiap tulang yang disebutkan nama Allah atasnya yang kalian dapatkan akan
menjadi lebih banyak dagingnya.”
وَكُلُّ بَعْرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ»
“Dan setiap kotoran hewan akan menjadi makanan ternak kalian.”
وَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيْضًا أَنْ يَسْتَنْجِيَ أَحَدٌ بِأَقَلَّ مِنْ
ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ
Nabi ﷺ juga melarang bersuci dengan kurang dari tiga batu,
فَلَا يُكْتَفَى فِي الْإِزَالَةِ بِأَقَلَّ
مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ طَاهِرَةٍ جَافَّةٍ
sehingga tidak cukup menghilangkan najis dengan kurang dari tiga batu yang
bersih dan kering,
بَلْ لَهُ أَنْ يَزِيدَ فِي عَدَدِ
الْأَحْجَارِ حَتَّى يَتَطَهَّرَ تَمَامًا
tetapi boleh menambah jumlah batu hingga bersih sepenuhnya.
وَفِي الْحَدِيثِ: بَيَانُ مَا كَانَ عَلَيْهِ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِرْشَادِ أُمَّتِهِ
وَتَعْلِيمِهَا كُلَّ مَا يَنْفَعُهَا حَتَّى فِي أَدَقِّ الْأُمُورِ
Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang perhatian Nabi ﷺ dalam membimbing
umatnya dan mengajarkan mereka segala sesuatu yang bermanfaat, bahkan dalam
urusan yang paling kecil sekalipun.
وَفِيهِ: بَيَانُ لِآدَابِ قَضَاءِ الْحَاجَةِ
الَّتِي يَنْبَغِي لِكُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَحْرِصَ عَلَيْهَا
Dan di dalamnya terdapat penjelasan tentang adab buang hajat yang seharusnya
dijaga oleh setiap Muslim.
وَفِيهِ: أَنَّ الْمُسْلِمَ عَلَيْهِ أَنْ
يَفْتَخِرَ بِتَعَالِيمِ دِينِهِ
Juga menunjukkan bahwa seorang Muslim seharusnya bangga dengan ajaran agamanya,
وَخَاصَّةً مَعَ مَنْ يُرِيدُونَ بِهَا
الِاسْتِهْزَاءَ وَالسُّخْرِيَةَ
terutama ketika berhadapan dengan mereka yang bermaksud mengejek atau
memperoloknya
Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/23879
Pelajaran dari Hadits ini
1. Perhatian Orang Musyrik terhadap
Ajaran Islam
Dari perkataan قَالَ
لَنَا الْمُشْرِكُونَ (perkataan
orang-orang musyrik kepada kami), kita dapat mengambil pelajaran bahwa
bahkan musuh Islam memperhatikan secara cermat isi ajaran Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini menunjukkan bahwa
Islam dikenal sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Kaum
musyrik mengamati dan merasa heran dengan kedalaman ajaran Islam yang tidak
hanya membahas ibadah besar, tetapi juga adab-adab yang tampak remeh. Ini
sekaligus menjadi hujjah bahwa dakwah Nabi ﷺ
benar-benar membawa perubahan menyeluruh dalam kehidupan manusia. Allah
berfirman dalam QS Al-Ma’idah ayat 3:
ٱلۡيَوۡمَ
أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِينٗا
(Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu).
2. Kesempurnaan Islam dalam Mendidik
Umat
Dalam perkataan إِنِّي
أَرَى صَاحِبَكُمْ يُعَلِّمُكُمْ حَتَّى يُعَلِّمَكُمُ الْخِرَاءَةَ
(Sesungguhnya aku melihat
sahabat kalian mengajarkan kalian sampai-sampai mengajarkan kalian tentang
buang air), kita belajar bahwa Rasulullah ﷺ
tidak hanya mengajarkan ibadah-ibadah besar, tetapi juga mendidik umat dalam
perkara adab dan kebersihan yang paling pribadi sekalipun. Ini menunjukkan
bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Ajaran Islam tidak
membiarkan umatnya berada dalam kebiasaan yang tidak layak, bahkan dalam
perkara buang air. Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِنَّمَا
بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ ٱلْأَخْلَاقِ
(Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia) – HR. Ahmad.
3. Pentingnya Menjawab Tuduhan dengan
Ilmu dan Ketegasan
Perkataan فَقَالَ: أَجَلْ، إِنَّهُ نَهَانَا أَنْ
يَسْتَنْجِيَ أَحَدُنَا بِيَمِينِهِ (Maka
ia berkata: “Benar, beliau melarang kami untuk beristinja dengan tangan kanan”)
mengajarkan pentingnya membenarkan kebenaran syariat meskipun dianggap remeh
oleh orang lain. Sahabat tidak menyangkal atau merasa malu, melainkan
menegaskan bahwa memang benar Nabi ﷺ
melarang umatnya beristinja dengan tangan kanan. Ini menunjukkan bahwa seorang
Muslim seharusnya bangga dan yakin dengan syariat, serta tidak perlu merasa
inferior. Islam mengatur penggunaan tangan kanan untuk hal-hal yang bersih dan
mulia, seperti makan dan bersalaman, sebagaimana disebut dalam hadits:
إِذَا
تَوَضَّأْتُمْ فَابْدَؤُوا بِمَيَامِنِكُمْ
(Jika kalian berwudhu, maka dahulukan yang kanan) – HR. Bukhari dan Muslim.
4. Menghormati Kiblat dan Simbol
Ibadah
Dari perkataan أَوْ
يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ (atau
menghadap kiblat saat buang air), kita memahami bahwa Islam mengajarkan
untuk menghormati simbol-simbol ibadah, bahkan dalam kondisi tidak suci. Kiblat
adalah arah Ka’bah yang dijadikan pusat shalat, maka tidak pantas seseorang
menghadapnya ketika dalam keadaan membuang hajat. Ini menanamkan adab dalam
menjaga kehormatan arah yang Allah muliakan. Allah berfirman dalam QS
Al-Baqarah ayat 144:
قَدۡ
نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةٗ
تَرۡضَىٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ
(Sungguh Kami telah melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami
akan memalingkan engkau ke kiblat yang engkau ridhai, maka hadapkanlah wajahmu
ke arah Masjidil Haram).
5. Adab dalam Memilih Alat Bersuci
Perkataan وَنَهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالْعِظَامِ
(dan beliau melarang (kami)
menggunakan kotoran hewan dan tulang) mengajarkan bahwa Islam menaruh
perhatian pada alat yang digunakan untuk bersuci. Larangan ini bukan hanya karena
benda itu najis atau tidak efektif, tetapi karena dalam riwayat lain disebutkan
bahwa kotoran hewan adalah makanan hewan ternak jin, dan tulang adalah makanan
jin muslim. Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِنَّهَا
زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنَ الْجِنِّ
(Sesungguhnya benda itu (tulang dan kotoran) adalah makanan
saudara-saudaramu dari kalangan jin) – HR. Muslim.
Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan kepedulian lintas makhluk dan
memperhatikan kebersihan serta kesopanan dalam aktivitas bersuci.
6. Standar Minimal dalam Bersuci
dengan Batu
Dari perkataan وَقَالَ:
لَا يَسْتَنْجِيَ أَحَدُكُمْ بِدُونِ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ
(dan beliau bersabda:
“Janganlah salah seorang di antara kalian beristinja dengan kurang dari tiga
batu”), kita mengetahui bahwa Islam tidak hanya memerintahkan bersuci,
tetapi juga menentukan standar minimal untuk menjamin kebersihan sempurna. Tiga
batu adalah ukuran minimal agar najis benar-benar hilang, apalagi ketika tidak
ada air. Ini mengajarkan bahwa kebersihan dalam Islam bukan hanya simbolis,
tetapi fungsional dan praktis. Rasulullah ﷺ
bersabda:
الطُّهُورُ
شَطْرُ الإِيمَانِ
(Kebersihan adalah sebagian dari iman) – HR. Muslim.
7. Kewajiban Menjaga Kebersihan dalam Segala
Keadaan
Hadits ini secara keseluruhan
mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan dalam seluruh aspek hidup, termasuk
saat buang air. Tidak cukup hanya sekadar bersuci, tapi juga dengan cara yang
benar dan penuh adab. Dalam Islam, kebersihan tidak hanya soal fisik, tapi juga
menunjukkan sikap mental, spiritual, dan kedisiplinan. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam QS At-Taubah ayat 108:
فِيهِ
رِجَالٞ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُطَّهِّرِينَ
(Di dalamnya terdapat orang-orang yang mencintai untuk bersuci. Dan Allah
mencintai orang-orang yang bersuci).
8. Keindahan Islam yang Mengatur
Kehidupan Sehari-hari
Selain pelajaran khusus yang termuat
dalam hadits ini, ada pelajaran tambahan bahwa Islam tidak membiarkan manusia
hidup tanpa panduan, bahkan dalam hal yang dianggap kecil. Adab buang air,
posisi tubuh, hingga alat yang digunakan telah dijelaskan oleh Nabi ﷺ. Ini menunjukkan bahwa Islam
adalah rahmat dan panduan hidup yang lengkap, sesuai dengan firman Allah dalam
QS Al-Anbiya ayat 107:
وَمَا
أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ
(Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam).
9. Keterpaduan Iman dan Kebersihan
dalam Islam
Islam menjadikan kebersihan sebagai
bagian dari iman, bukan hanya rutinitas jasmani. Dalam kehidupan modern,
kebersihan sering dipandang sebagai aspek teknis, namun dalam Islam ia adalah
bagian dari spiritualitas. Hadits ini membuktikan bahwa iman tidak bisa
dipisahkan dari adab, etika, dan kebersihan. Rasulullah ﷺ tidak hanya mengatur aqidah
dan shalat, tetapi juga urusan harian dengan panduan yang terperinci dan
mendidik.
Secara keseluruhan, hadits ini menunjukkan betapa Islam
adalah agama yang sempurna, mencakup setiap aspek kehidupan, dari hal besar
hingga yang paling pribadi seperti buang air. Islam mendidik umatnya dengan
etika, adab, dan kebersihan sebagai bagian dari iman. Ajaran Rasulullah ﷺ tidak hanya memperbaiki
ibadah, tetapi juga membentuk karakter dan kebiasaan hidup bersih, terhormat,
dan bertanggung jawab.
Penutup Kajian
Hadirin yang dirahmati Allah,
Belajar
membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa harakat
حرص النبي صلى الله عليه وسلم على أن يعلم أمته كل تفاصيل الدين، ويصوب لهم
أخطاءهم وما اعتادوه من أمور الجاهلية، ومن ذلك أن علم أمته آداب التخلي وقضاء
الحاجة، ودخول الحمامات والكنف. وكان من شأن المشركين الاستهزاء بأصحاب رسول الله
صلى الله عليه وسلم، وفي هذا الحديث يحكي سلمان الفارسي رضي الله عنه أن المشركين
قالوا للصحابة -وعبر بقوله: «قال لنا المشركون» إما لأن التقدير: قال لنا قائل
المشركين، أو أنه أراد واحدا من المشركين، وجمعه لكون باقيهم يوافقونه-: إن النبي
صلى الله عليه وسلم يعلمكم كل شيء، حتى الخراءة، أي: حتى إنه اهتم في علامه لكم
كيف يكون تطهركم من الحدث، والخراءة: اسم لهيئة ما يخرجه الإنسان من فضلات، فقال
سلمان رضي الله عنه مشيرا إلى أن هذا مقام فخر لا استهزاء: «أجل»، علمنا النبي صلى
الله عليه وسلم ذلك، ومما علمه لنا: ألا نستعمل اليد اليمنى في إزالة البول أو
الغائط، ولكن العمل يكون باليد اليسرى؛ تعظيما لليمنى، وتخصيصا لها بالأمور
الشريفة والكريمة، وتخصيصا لليد اليسرى بالمستقذرات، وهذا من حسن الأدب والتنظيم،
والاستنجاء: هو استخدام الماء أو ما شابه لإزالة الأذى وأثره الخارج من السبيلين.
ونهانا كذلك عن أن يستقبل أحدنا القبلة عند جلوسه لبول أو غائط، ولكن يتجه
إلى الجهات الأخرى، وهذا في الصحراء والفضاء، أما في البيوت وما أشبهها فلا بأس،
كما في حديث ابن عمر رضي الله عنه عند أبي داود عن مروان بن الأصفر: «رأيت ابن عمر
أناخ راحلته مستقبل القبلة، ثم جلس يبول إليها، فقلت: يا أبا عبد الرحمن، أليس قد
نهي عن هذا؟ قال: بلى، إنما نهي عن ذلك في الفضاء، فإذا كان بينك وبين القبلة شيء
يسترك فلا بأس».
ونهى عن الروث والعظام، فلا نستخدمهما في التطهر وإزالة الأذى، فنهى عن
استخدام "الروث" -وهي فضلات البهائم الجافة-؛ لأن الروث نجس، ونهى عن
العظم؛ لأن العظم طعام الجن، كما في صحيح مسلم من حديث ابن مسعود أنه قال للجن لما
سألوه الزاد: «لكم كل عظم ذكر اسم الله عليه يقع في أيديكم أوفر ما يكون لحما، وكل
بعرة علف لدوابكم»، ونهى النبي صلى الله عليه وسلم أيضا أن يستنجي أحد بأقل من
ثلاثة أحجار، فلا يكتفى في الإزالة بأقل من ثلاثة أحجار طاهرة جافة، بل له أن يزيد
في عدد الأحجار حتى يتطهر تماما.
وفي الحديث: بيان ما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم من إرشاد أمته
وتعليمها كل ما ينفعها حتى في أدق الأمور.
وفيه: بيان لآداب قضاء الحاجة التي ينبغي لكل مسلم أن يحرص عليها.
وفيه: أن المسلم عليه أن يفتخر بتعاليم دينه، وخاصة مع من يريدون بها
الاستهزاء والسخرية.