Hadits: Hakim Yang Tidak Adil dan Hakim Yang Tidak Berilmu (Bodoh) Di Neraka

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ.

Hadirin rahimakumullah,

Dalam kehidupan bermasyarakat, kita sering menjumpai berbagai perselisihan dan permasalahan yang menuntut adanya keputusan yang adil. Mulai dari masalah utang-piutang, hak waris, sengketa tanah, hingga permasalahan rumah tangga — semua ini memerlukan kejelasan hukum yang bisa menuntun kepada keadilan.

Sayangnya, tidak jarang kita melihat keputusan-keputusan yang diambil tanpa dasar ilmu yang benar. Ada yang memutuskan hanya dengan mengandalkan opini pribadi, ada yang terburu-buru tanpa mengkaji secara mendalam, bahkan ada yang sengaja memihak karena pengaruh materi atau kedekatan dengan pihak tertentu. Akibatnya, kezaliman terjadi, hak orang lain terlanggar, dan kepercayaan terhadap lembaga peradilan pun merosot.

Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya peran seorang hakim atau siapa saja yang berwenang dalam memutuskan perkara untuk memiliki ilmu yang memadai. Jangan sampai keputusan yang seharusnya menegakkan keadilan justru menjadi sumber kezaliman.

Hadits yang akan kita kaji ini bukan hanya berbicara tentang hakim dalam ruang sidang semata, tetapi mencakup siapa saja yang mengambil peran dalam menyelesaikan perselisihan, baik sebagai pemimpin, tokoh masyarakat, atau orang yang dimintai pendapat untuk memutuskan perkara.

Karena itu, memahami hadits ini menjadi sangat penting agar kita tahu bagaimana seharusnya sikap seorang yang berwenang dalam memutuskan perkara, apa saja kriteria yang harus dimilikinya, dan bagaimana menjaga keadilan agar tidak tergelincir dalam kezaliman.

Mudah-mudahan dengan memahami hadits ini, kita semua dapat mengambil pelajaran, baik sebagai orang yang berperan dalam menyelesaikan masalah maupun sebagai masyarakat yang paham bagaimana menuntut keadilan dengan cara yang benar.

Semoga Allah ﷻ membimbing kita semua dalam menegakkan keadilan dan melindungi kita dari kesalahan yang dapat menjerumuskan ke dalam murka-Nya. Mari kita kaji hadits ini:

-----

Dari Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslami radhiallahu'anhu ia berkata,
Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: 

اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ، اِثْنَانِ فِي النَّارِ، وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ، رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ، لَقُلْنَا: إِنَّ الْقَاضِيَ إِذَا اجْتَهَدَ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ.

Para hakim ada tiga golongan: dua di neraka dan satu di surga; seorang yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan dengannya maka ia di surga, seorang yang memutuskan perkara dengan kebodohan maka ia di neraka, dan seorang yang zalim dalam keputusannya maka ia di neraka; jika seorang hakim berijtihad maka ia di surga.

(Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3573), At-Tirmidzi (1322), Ibnu Majah (2315) dengan lafaz ini, dan An-Nasa’i dalam kitab "As-Sunan Al-Kubra" (5922)

Mp3: https://t.me/mp3qhn/148

 


Arti per kalimat


اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ

"Para hakim itu ada tiga golongan."

Kata اَلْقُضَاةُ  (al-quḍāt) adalah bentuk jamak dari قَاضٍ  (qāḍin) yang berarti hakim. Jumlah tiga ini menunjukkan klasifikasi peran hakim dalam memberikan keputusan.


اِثْنَانِ فِي النَّارِ

"Dua di neraka."

Dua kelompok hakim ini termasuk orang yang tidak memenuhi syarat atau menyalahgunakan keputusannya.


وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ

"Dan satu di surga."

Satu kelompok hakim ini adalah mereka yang adil dan memutuskan sesuai kebenaran.


رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ

"Seorang lelaki yang mengetahui kebenaran, lalu ia memutuskan dengannya, maka ia berada di surga."

Ini adalah hakim yang memenuhi syarat ilmu, memahami hukum, dan memberikan keputusan dengan keadilan.


وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ

"Dan seorang lelaki yang memutuskan perkara manusia dengan kebodohan, maka ia berada di neraka."

Hakim ini tidak memiliki pengetahuan yang cukup tetapi tetap berani memutuskan perkara sehingga menzalimi pihak lain. Ini peringatan keras agar para hakim tidak sembarangan dalam memutuskan perkara karena keputusan mereka berdampak besar pada keadilan dan hak orang lain.


وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ

"Dan seorang lelaki yang berlaku zalim dalam memutuskan perkara, maka ia berada di neraka."

Hakim ini tahu kebenaran tetapi sengaja berpihak atau berbuat tidak adil. Menjadi hakim adalah amanah besar yang menuntut kejujuran ilmu dan objektivitas.


لَقُلْنَا: إِنَّ الْقَاضِيَ إِذَا اجْتَهَدَ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ

"Kami katakan: Sesungguhnya jika seorang hakim berijtihad (berusaha sungguh-sungguh) maka ia berada di surga."

Ini menunjukkan bahwa jika hakim berusaha dengan maksimal dengan ilmu yang ia miliki, meskipun akhirnya salah, maka ia tetap mendapat pahala atas usahanya meskipun hasilnya kurang tepat karena niatnya mencari kebenaran.

 


Syarah Hadits


الحُكْمُ بين النَّاسِ يَنْبغي أنْ يكونَ مَبنيًّا على عِلمٍ،
Hukum di antara manusia harus dibangun di atas ilmu,

ولا يَتولَّى القضاءَ إلَّا العُلماءُ العارِفونَ بأحكامِه وضَوابطِه،
dan tidak boleh seseorang memegang urusan kehakiman kecuali para ulama yang mengetahui hukum-hukumnya dan kaidah-kaidahnya,

وقد حذَّرَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ من القضاءِ بغَيرِ علْمٍ، أو بالهوى،
dan Nabi telah memperingatkan dari memberikan putusan tanpa ilmu atau berdasarkan hawa nafsu,

كما بيَّنَ فضلَ القضاءِ بالعدْلِ عن علْمٍ.
sebagaimana beliau juga menjelaskan keutamaan memberikan keputusan secara adil dengan dasar ilmu.

وفي هذا الحديثِ يقولُ أبو هاشمٍ الرُّمَّانيُّ: لولا حديثُ ابنِ بُريدةَ، عن أبيه، عن رسولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قال: "القُضاةُ ثَلاثةٌ"،
Dalam hadits ini, Abu Hasyim Ar-Rummani berkata: Kalau bukan karena hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Rasulullah yang bersabda: “Para hakim ada tiga jenis,”

أي: حُكْمُ القُضاةِ في الآخِرةِ أنَّهم ثلاثةُ أنواعٍ، "اثنانِ في النَّارِ"،
yaitu bahwa keadaan para hakim di akhirat ada tiga golongan: “Dua golongan di neraka,”

أي: مَحكومٌ لهما بها، "وواحدٌ في الجنَّةِ: رجُلٌ علِمَ الحقَّ، فقَضى به؛ فهو في الجنَّةِ"،
yaitu yang diputuskan untuk masuk neraka, “dan satu golongan di surga: Seorang lelaki yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskannya sesuai kebenaran; maka ia di surga,”

أي: إنَّه لم يعمَلْ بهواهُ، بل أنفَذَ حُكمَ اللهِ واتَّبعَ الحقَّ،
yakni ia tidak bertindak berdasarkan hawa nafsu, melainkan menjalankan hukum Allah dan mengikuti kebenaran,

"ورجُلٌ قَضى للنَّاسِ على جهلٍ؛ فهو في النَّارِ"،
“dan seorang lelaki yang memutuskan untuk manusia berdasarkan kebodohan; maka ia di neraka,”

أي: لا عِلْمَ عنده بأحكامِ القضاءِ.
yakni ia tidak memiliki ilmu tentang hukum kehakiman.

ويَحْتَمِلُ فيه: أنَّ الجزاءَ بالنَّارِ حتَّى ولو حكَمَ بالحقِّ في بعضِ مَسائلِه؛
Dan memungkinkan bahwa hukumannya berupa neraka meskipun ia memutuskan kebenaran dalam sebagian masalahnya;

لتَولِّيه مثلَ هذا المقامِ وهو غيرُ أهلٍ له؛ ففسادُه فيه أكثرُ من إصلاحِه،
karena ia menerima posisi seperti ini padahal ia tidak layak; sehingga kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya,

"ورجُلٌ جارَ في الحُكْمِ؛ فهو في النَّارِ"،
“dan seorang lelaki yang berbuat tidak adil dalam putusannya; maka ia di neraka,”

أي: وهو الَّذي يعلَمُ الحقَّ وخالَفَه واتَّبعَ هواهُ.
yakni dia adalah orang yang mengetahui kebenaran tetapi menyelisihinya dan mengikuti hawa nafsunya.

ثم بَيَّن أبو هاشمٍ الرُّمَّانيُّ أحدُ رُواةِ هذا الحديثِ ما يُريدُه بِسِياقَتِه لِلحديثِ بأنَّه لولا هذا الحَديثُ "لقُلْنَا: إنَّ الْقاضِي إذا اجْتَهدَ فهُو في الجنَّة"،
Kemudian Abu Hasyim Ar-Rummani, salah seorang perawi hadits ini, menjelaskan maksud pengungkapan hadits ini bahwa jika bukan karena hadits ini, “kami akan mengatakan: Sesungguhnya hakim jika berijtihad maka ia di surga,”

أي: لولا وُرودُ هذا الحديثِ لظَنَنَّا أنَّ الْقَاضِي إذا اجْتَهَدَ بغيرِ عِلمٍ وأصَابَ الحُكْمَ لدَخَلَ الجَنَّةَ باجتهادِه،
yakni jika bukan karena hadits ini, kami akan menyangka bahwa seorang hakim yang berijtihad tanpa ilmu dan kebetulan benar dalam putusannya, akan masuk surga karena ijtihadnya,

ولكنَّ هذا الحُكمَ بِدُخولِ الجنَّةِ يكونُ لِمَن كان عالِمًا بأُصولِ الأحْكامِ والْقَضاءِ فاجتهدَ للوُصولِ إلى الحُكمِ،
tetapi hukum masuk surga ini hanya berlaku bagi orang yang mengetahui dasar-dasar hukum dan kehakiman, lalu ia berijtihad untuk mencapai keputusan yang benar,

وفي الصَّحيحَينِ عَن عَمرِو بنِ العاصِ، أنَّه سمعَ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عَلَيه وسلَّم يقولُ: 

dan dalam Shahihain dari Amru bin Al-Ash, bahwa ia mendengar Rasulullah  bersabda:

"إذا حَكَمَ الحاكِمُ فاجْتَهدَ، ثُمَّ أصابَ فَله أجْرانِ، وَإذَا حكَم فَاجْتَهدَ ثُمَّ أخطأَ فله أجْرٌ"،
 “Jika seorang hakim memutuskan dengan berijtihad, lalu ia benar, maka baginya dua pahala. Dan jika ia memutuskan dengan berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala,”

وهذا مبنيٌّ على أنَّ هذا الحاكِمَ مُؤهَّل بالعِلمِ أولًا، واجتهد وحرَصَ على الوُصولِ إلى الحَقِّ.
dan ini didasarkan pada syarat bahwa hakim tersebut harus memiliki kelayakan ilmu terlebih dahulu, kemudian ia berijtihad dan berusaha keras untuk mencapai kebenaran.

وفي الحديثِ: بيانُ خُطورةِ القضاءِ بين النَّاسِ بغَيرِ علْمٍ، وأنَّ مَصيرَ ذلك إلى النَّارِ.
Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang bahaya memutuskan perkara di antara manusia tanpa ilmu, dan bahwa akibatnya adalah neraka.

وفيه: بيانُ أنَّه لا يَحكُمُ بين النَّاسِ إلَّا العالِمُ بأحكامِ القضاءِ، وأنَّ له أجرًا عظيمًا على ذلك.
Dan juga terdapat penjelasan bahwa yang memutuskan perkara di antara manusia hanya boleh dilakukan oleh orang yang mengetahui hukum-hukum kehakiman, dan bahwa ia memiliki pahala besar atas perbuatan tersebut.

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/81317


Pelajaran dari hadits ini


Hadits ini menegaskan bahwa dunia peradilan adalah medan yang penuh tanggung jawab besar. Seorang hakim dituntut memiliki ilmu yang mendalam, keadilan yang kuat, dan kesadaran bahwa setiap keputusannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Memutuskan perkara tanpa ilmu atau dengan hawa nafsu tidak hanya merusak hak orang lain tetapi juga mengundang murka Allah. Berikut adalah pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut secara rinci:


1. Tanggung Jawab Besar dalam Jabatan Hakim

  • Hadits ini memperingatkan bahwa jabatan sebagai hakim bukan sekadar posisi kehormatan, melainkan amanah besar yang pertanggungjawabannya sangat berat di hadapan Allah.
  • Seorang yang berani menjadi hakim tanpa ilmu akan menghadapi konsekuensi berat di akhirat.

2. Keadilan adalah Inti Peradilan

  • Keadilan tidak hanya berarti memutuskan sesuai teks hukum, tetapi juga memahami konteks dan kondisi masing-masing pihak agar keputusan benar-benar membawa keadilan.

3. Pentingnya Ilmu dalam Hukum dan Peradilan

  • Hukum yang benar harus didasarkan pada ilmu yang memadai. Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara berdasarkan prasangka, perkiraan, atau hawa nafsu.
  • Hanya orang yang memahami hukum syariat dan kaidah-kaidahnya yang berhak menjadi hakim. Hal ini untuk mencegah keputusan yang keliru atau menzalimi pihak yang berperkara.

4. Kriteria Hakim yang Ideal

  • Hakim yang ideal adalah mereka yang memiliki keahlian dalam hukum, mampu memahami dalil-dalil syar’i, dan berkomitmen pada keadilan tanpa dipengaruhi emosi atau tekanan.

5. Keutamaan Hakim yang Adil dan Berilmu

  • Seorang hakim yang memahami hukum, berusaha sungguh-sungguh, dan memutuskan perkara dengan keadilan akan mendapatkan balasan surga.
  • Jika hakim tersebut berijtihad (berusaha keras memahami dan memutuskan perkara) lalu keputusannya tepat, maka ia mendapatkan dua pahala: satu pahala atas ijtihadnya dan satu pahala karena keputusannya benar.
  • Jika hakim berijtihad tetapi ternyata keliru, maka ia tetap mendapat satu pahala atas usahanya yang tulus.

6. Bahaya Memutuskan Perkara Tanpa Ilmu

  • Nabi ﷺ memperingatkan keras tentang hakim yang memutuskan perkara tanpa ilmu.
  • Meskipun seorang hakim kadang bisa saja benar dalam keputusannya, jika ia tidak memiliki dasar ilmu yang kuat, maka keberhasilannya itu tidak bernilai karena ia telah berbuat di luar kapasitasnya.
  • Seorang hakim yang tidak berilmu berpotensi besar merusak keadilan lebih daripada memperbaikinya.

7. Ancaman bagi Hakim yang Zalim

  • Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi dengan sengaja menyimpang karena hawa nafsu, nepotisme, atau suap berada dalam ancaman besar.
  • Perbuatannya tidak hanya melanggar hak manusia tetapi juga berkhianat kepada amanah Allah.

 


Penutupan Kajian


Hadirin yang dirahmati Allah,

Setelah kita mengkaji hadits yang mulia ini, ada beberapa faedah penting yang harus kita tanamkan dalam diri kita:

Pertama, pentingnya keadilan dan amanah dalam memutuskan perkara. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa hanya hakim yang berilmu dan memutuskan dengan benar yang dijamin masuk surga. Hal ini menuntut kita untuk selalu berpegang pada ilmu, kebenaran, dan keadilan dalam setiap keputusan, sekecil apa pun itu.

Kedua, peringatan keras bagi mereka yang memutuskan perkara tanpa ilmu. Hadits ini mengajarkan bahwa orang yang asal bicara, terburu-buru mengambil keputusan, atau menuruti hawa nafsunya dalam memutuskan perkara berada dalam ancaman besar, yaitu siksa neraka.

Ketiga, motivasi untuk senantiasa berusaha mencari kebenaran. Seorang yang berijtihad dengan ilmu, meskipun hasil keputusannya keliru, tetap mendapat pahala karena niat baik dan usahanya yang tulus. Ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ Maha Pemurah dan Maha Adil terhadap hamba-Nya.

Hadirin sekalian,

Pelajaran dari hadits ini bukan hanya untuk para hakim di ruang sidang, tetapi juga untuk kita semua. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering berperan sebagai “hakim” dalam lingkup kecil: menengahi pertengkaran keluarga, membantu teman yang berselisih, atau bahkan memberikan nasihat yang dapat memengaruhi keputusan orang lain.

Maka marilah kita berusaha agar setiap keputusan yang kita ambil didasarkan pada ilmu, kejujuran, dan keadilan. Jangan mudah berfatwa atau memutuskan perkara tanpa ilmu yang cukup. Sebab, kezaliman sekecil apa pun bisa berdampak besar, baik di dunia maupun di akhirat.

Semoga Allah ﷻ menjadikan kita semua sebagai hamba yang adil, amanah, dan berpegang teguh pada kebenaran. Semoga pula Allah melindungi kita dari keputusan yang zalim dan dari tergelincir ke dalam murka-Nya.

Kita tutup dengan doa kafaratul majelis:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.

وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ إِلَىٰ أَقْوَمِ الطَّرِيقِ.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.



Belajar membaca dan menerjemahkan syarah hadits tanpa harakat


الحكم بين الناس ينبغي أن يكون مبنيا على علم، ولا يتولى القضاء إلا العلماء العارفون بأحكامه وضوابطه، وقد حذر النبي صلى الله عليه وسلم من القضاء بغير علم، أو بالهوى، كما بين فضل القضاء بالعدل عن علم.

وفي هذا الحديث يقول أبو هاشم الرماني: لولا حديث ابن بريدة، عن أبيه، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: "القضاة ثلاثة"، أي: حكم القضاة في الآخرة أنهم ثلاثة أنواع، "اثنان في النار"، أي: محكوم لهما بها، "وواحد في الجنة: رجل علم الحق، فقضى به؛ فهو في الجنة"، أي: إنه لم يعمل بهواه، بل أنفذ حكم الله واتبع الحق، "ورجل قضى للناس على جهل؛ فهو في النار"، أي: لا علم عنده بأحكام القضاء. ويحتمل فيه: أن الجزاء بالنار حتى ولو حكم بالحق في بعض مسائله؛ لتوليه مثل هذا المقام وهو غير أهل له؛ ففساده فيه أكثر من إصلاحه، "ورجل جار في الحكم؛ فهو في النار"، أي: وهو الذي يعلم الحق وخالفه واتبع هواه.

ثم بين أبو هاشم الرماني أحد رواة هذا الحديث ما يريده بسياقته للحديث بأنه لولا هذا الحديث "لقلنا: إن القاضي إذا اجتهد فهو في الجنة"، أي: لولا ورود هذا الحديث لظننا أن القاضي إذا اجتهد بغير علم وأصاب الحكم لدخل الجنة باجتهاده، ولكن هذا الحكم بدخول الجنة يكون لمن كان عالما بأصول الأحكام والقضاء فاجتهد للوصول إلى الحكم، وفي الصحيحين عن عمرو بن العاص، أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "إذا حكم الحاكم فاجتهد، ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر"، وهذا مبني على أن هذا الحاكم مؤهل بالعلم أولا، واجتهد وحرص على الوصول إلى الحق.

وفي الحديث: بيان خطورة القضاء بين الناس بغير علم، وأن مصير ذلك إلى النار.

وفيه: بيان أنه لا يحكم بين الناس إلا العالم بأحكام القضاء، وأن له أجرا عظيما على ذلك.



Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers