Ilmu Hadits: Hadits Palsu (Maudhu')

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

الحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَمَّا بَعْدُ..

Hadirin yang dirahmati Allah,

Ilmu hadits merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. Melalui ilmu ini, kita dapat membedakan mana hadits yang sahih dan dapat dijadikan pedoman, serta mana yang lemah bahkan palsu. Namun, di tengah semangat umat dalam mengamalkan sunnah, tidak sedikit hadits-hadits palsu yang tersebar, baik melalui ceramah, media sosial, atau dari mulut ke mulut.

Betapa bahayanya jika kita mengamalkan sesuatu yang kita anggap dari Rasulullah ﷺ, padahal itu adalah kedustaan yang disandarkan kepada beliau. Rasulullah ﷺ sendiri telah memberikan peringatan keras dalam sabdanya:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah seperti berdusta atas nama orang lain. Barang siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka." (HR. Bukhari (1291) & Muslim (18202)

Hadits ini merupakan peringatan keras bagi siapa saja yang membuat atau menyebarkan hadits palsu atas nama Rasulullah ﷺ. Oleh karena itu, dalam kajian ini, kita akan membahas secara mendalam tentang hadits palsu (الموضوع), bagaimana cara mengenalinya, apa sebab-sebab penyebarannya, serta bagaimana sikap kita sebagai umat Islam dalam menyikapi hadits-hadits yang tersebar di tengah masyarakat.

-----

Muncul pada periode-periode dan zaman dalam sejarah umat Islam fenomena pemalsuan dalam hadits Nabi yang mulia, yaitu membuat-buat hadits, mengarangnya, dan menghubungkannya kepada Nabi –shalawat dan salam atasnya– secara dusta dan mengada-ada terhadapnya. Pemalsuan hadits memiliki berbagai tujuan dan alasan yang beragam. Berikut ini adalah penjelasan tentang hadits maudhu’ (palsu), hukum mengamalkannya, sebab-sebab pemalsuan hadits, serta kitab-kitab yang dikarang mengenai hadits-hadits palsu.

Definisi Hadits Maudhu'

Para ulama hadits mendefinisikan hadits maudhu’ sebagai: kebohongan yang dibuat-buat, direkayasa, dan dinisbatkan kepada Nabi –shalawat dan salam atasnya–. Ini adalah jenis hadits dhaif yang paling buruk. Sebagian ulama menganggapnya sebagai kategori tersendiri, bukan bagian dari hadits dhaif. Nabi –shalawat dan salam atasnya– telah memperingatkan dari berdusta atas namanya, beliau bersabda:
"Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah seperti berdusta atas nama orang lain. Barang siapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka." (HR. Bukhari (1291) & Muslim (18202)

Hukum Mengamalkan Hadits Maudhu'

Para ulama telah sepakat bahwa tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits maudhu’, karena telah diriwayatkan dari Nabi –shalawat dan salam atasnya– bahwa beliau bersabda:

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ.

"Barang siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits, sedangkan ia mengetahui bahwa hadits itu adalah dusta, maka ia termasuk salah satu dari para pendusta." HR Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya (1/8), dan At-Tirmidzi (2662)

Sebagian ulama membagi hadits maudhu’ menjadi dua bagian, yaitu:

  1. Pertama: Hadits yang sengaja dibuat dan dikarang oleh pembuatnya serta berdusta atas Nabi –shalawat dan salam atasnya–.
  2. Kedua: Hadits yang terjadi karena kesalahan tanpa disengaja oleh perawinya.

Pemalsuan hadits memiliki dua bentuk, yaitu:

  • Pembuatnya mengarang suatu perkataan dari dirinya sendiri, lalu menyusun sanad untuknya.
  • Pembuatnya menggunakan kata-kata hikmah atau perkataan yang terkenal, kemudian menghubungkannya dengan sanad hadits.

Sebab-sebab Pemalsuan Hadits

Terdapat banyak faktor yang mendorong para pemalsu hadits untuk membuat-buat hadits dan berdusta atas Nabi –shalawat dan salam atasnya–. Di antara sebab-sebab tersebut adalah:

  • Mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala: Dengan mengarang hadits-hadits yang mendorong ketaatan atau memperingatkan dari maksiat dan kemungkaran, dengan anggapan bahwa hal itu mendekatkan kepada Allah.
  • Fanatisme mazhab: Pada masa-masa tertentu, umat mengalami berbagai fitnah dan munculnya mazhab-mazhab baru, sehingga sebagian pengikutnya membuat hadits guna mendukung mazhab mereka.
  • Menyerang Islam: Sebagian orang melakukannya dengan tujuan untuk merusak citra Islam dan membahayakannya.
  • Mendekatkan diri kepada penguasa: Sebagian orang yang lemah imannya membuat hadits yang sesuai dengan kepentingan para penguasa agar bisa mendekatkan diri kepada mereka.
  • Mencari keuntungan dan rezeki: Beberapa pemalsu hadits mengarang hadits-hadits dan menyebarkannya dalam bentuk cerita dan kisah untuk menghibur orang-orang, sehingga mereka mendapatkan keuntungan dari itu.
  • Mencari popularitas: Dengan membuat hadits-hadits baru, para pemalsunya menjadi terkenal karena hadits tersebut tidak dimiliki oleh ulama hadits lain.

Kitab-kitab tentang Hadits Maudhu'

Sejumlah ulama hadits telah mengarang kitab-kitab yang berisi hadits-hadits palsu dengan tujuan untuk menjelaskannya kepada masyarakat dan memperingatkan mereka darinya. Di antara kitab-kitab tersebut adalah:

  • "Tadzkiratul Maudhu’at" yang disusun oleh Muhammad bin Thahir al-Maqdisi.
  • "Al-Abathil" (Hadits-hadits Palsu yang Diangkat ke Derajat Hadits Marfu') yang disusun oleh Abu Abdillah al-Husain bin Ibrahim al-Jauzaqani.
  • "Al-Maudhu’at" yang disusun oleh Abu al-Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi.

 


Materi dalam Bahasa Arab


نَشَأَتْ فِي فَتَرَاتٍ وَأَزْمِنَةٍ مِنْ تَارِيخِ الْأُمَّةِ الْإِسْلَامِيَّةِ ظَاهِرَةُ الْوَضْعِ فِي الْحَدِيثِ الشَّرِيفِ؛ أَيْ اخْتِلَاقُ الْحَدِيثِ وَتَأْلِيفُهُ وَنِسْبَتُهُ إِلَى النَّبِيِّ -عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- كَذِبًا وَتَقَوُّلًا عَلَيْهِ، وَكَانَ لِوَضْعِ الْأَحَادِيثِ أَغْرَاضٌ مُتَعَدِّدَةٌ وَأَسْبَابٌ مُخْتَلِفَةٌ، وَآَتِيًا تَعْرِيفٌ بِالْحَدِيثِ الْمَوْضُوعِ، وَحُكْمُ الْعَمَلِ بِهِ، وَبَيَانُ أَسْبَابِ الْوَضْعِ فِي الْحَدِيثِ، وَأَبْرَزُ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ فِي الْأَحَادِيثِ الْمَوْضُوعَةِ.

تَعْرِيفُ الْحَدِيثِ الْمَوْضُوعِ

يُعَرِّفُ عُلَمَاءُ الْحَدِيثِ الْحَدِيثَ الْمَوْضُوعَ بِأَنَّهُ: الْكَذِبُ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوعُ الْمَنْسُوبُ إِلَى النَّبِيِّ -عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، وَهُوَ أَشَدُّ أَنْوَاعِ الْحَدِيثِ الضَّعِيفِ قُبْحًا، وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَعُدُّهُ قِسْمًا مُسْتَقِلًّا لَا نَوْعًا مِنْ أَنْوَاعِ الْحَدِيثِ الضَّعِيفِ، وَقَدْ حَذَّرَ النَّبِيُّ -عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- مِنَ التَّقَوُّلِ عَلَيْهِ كَذِبًا؛ فَقَالَ: (وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ).

حُكْمُ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الْمَوْضُوعِ

أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى عَدَمِ جَوَازِ رِوَايَةِ الْحَدِيثِ الْمَوْضُوعِ؛ وَذَلِكَ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ -عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- أَنَّهُ قَالَ: (مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ). وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يُقَسِّمُ الْحَدِيثَ الْمَوْضُوعَ إِلَى قِسْمَيْنِ، هُمَا:

الْأَوَّلُ: مَا تَعَمَّدَ قَائِلُهُ وَضْعَهُ وَالْكَذِبَ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ -عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-.

الثَّانِي: مَا وَقَعَ عَنْ خَطَإٍ دُونَ قَصْدٍ مِنْ قَائِلِهِ.

كَمَا أَنَّ لِوَضْعِ الْحَدِيثِ صُورَتَيْنِ؛ فَإِمَّا أَنْ يُؤَلِّفَ الْوَاضِعُ كَلَامًا وَيَخْتَلِقَهُ مِنْ عِنْدِهِ، ثُمَّ يُرَكِّبَ لَهُ سَنَدًا، وَإِمَّا أَنْ يَسْتَعْمِلَ حِكْمَةً أَوْ كَلَامًا مُشْتَهِرًا وَيُلْحِقَهُ بِسَنَدٍ.

أَسْبَابُ الْوَضْعِ فِي الْحَدِيثِ

تَعَدَّدَتِ الْأَسْبَابُ الَّتِي دَفَعَتِ الْوُضَّاعِينَ لِوَضْعِ الْحَدِيثِ وَالتَّقَوُّلِ عَلَى النَّبِيِّ -عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، وَمِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ:

التَّقَرُّبُ إِلَى اللهِ تَعَالَى: وَذَلِكَ بِاخْتِلَاقِ أَحَادِيثَ تُرَغِّبُ فِي الطَّاعَاتِ أَوْ تُحَذِّرُ مِنْ فِعْلِ الْمَعَاصِي وَالْمُنْكَرَاتِ، ظَنًّا مِنْهُمْ أَنَّهَا تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ تَعَالَى.

الِانْتِصَارُ الْمَذْهَبِيُّ: وَذَلِكَ فِي فَتَرَاتٍ مَرَّتْ فِيهَا الْأُمَّةُ بِأَحْوَالٍ ظَهَرَتْ فِيهَا الْفِتَنُ وَظَهَرَتْ مَذَاهِبُ جَدِيدَةٌ، فَلَجَأَ بَعْضُ أَتْبَاعِهَا إِلَى وَضْعِ الْأَحَادِيثِ انْتِصَارًا لِمَذَاهِبِهِمْ.

الطَّعْنُ فِي الْإِسْلَامِ: وَقَدْ لَجَأَ الْبَعْضُ لِذَلِكَ بِقَصْدِ تَشْوِيهِ الْإِسْلَامِ وَكَيْدِهِ.

التَّقَرُّبُ إِلَى أَصْحَابِ السُّلْطَةِ: حَيْثُ كَانَ بَعْضُ ضُعَفَاءِ الْإِيمَانِ يَخْتَلِقُونَ أَحَادِيثَ تُسَايِرُ الْمَسْؤُولِينَ وَتُجَارِيهِمْ؛ بُغْيَةَ التَّقَرُّبِ إِلَيْهِمْ.

التَّكَسُّبُ وَطَلَبُ الرِّزْقِ: حَيْثُ كَانَ بَعْضُ الْوُضَّاعِينَ يَضَعُونَ أَحَادِيثَ وَيَرْوُونَهَا، وَيَكُونُ مَضْمُونُهَا قِصَصًا وَأَحَادِيثَ تُسَلِّي النَّاسَ؛ فَيَتَكَسَّبُونَ وَيَتَرَزَّقُونَ مِنْهُمْ.

طَلَبُ الشُّهْرَةِ: وَذَلِكَ بِاخْتِلَاقِ أَحَادِيثَ فَيَشْتَهِرُ مُخْتَلِقُوهَا بِسَبَبِهَا وَيُعْرَفُونَ؛ لِكَوْنِ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ غَيْرَ مَوْجُودَةٍ لَدَى أَحَدٍ مِنْ شُيُوخِ الْحَدِيثِ.

مُصَنَّفَاتٌ فِي الْحَدِيثِ الْمَوْضُوعِ

صَنَّفَ عَدَدٌ مِنْ عُلَمَاءِ الْحَدِيثِ كُتُبًا ضَمَّتِ الْأَحَادِيثَ الْمَوْضُوعَةَ؛ بِقَصْدِ بَيَانِهَا لِلنَّاسِ لِتَحْذِيرِهِمْ مِنْهَا، وَمِنْ هَذِهِ الْمُصَنَّفَاتِ:

تَذْكِرَةُ الْمَوْضُوعَاتِ: وَصَنَّفَهُ مُحَمَّدُ بْنُ الطَّاهِرِ الْمَقْدِسِيُّ.

الْأَبَاطِيلُ "الْمَوْضُوعَاتُ مِنَ الْأَحَادِيثِ الْمَرْفُوعَاتِ": وَصَنَّفَهُ أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحُسَيْنُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْجَوْزَقَانِيُّ.

الْمَوْضُوعَاتُ: وَصَنَّفَهُ أَبُو الْفَرَجِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْجَوْزِيِّ.

Maraji: https://hadeethshareef.com/



Pelajaran Penting


1. Pentingnya Menjaga Keaslian Ajaran Islam

Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Jika hadits-hadits palsu tersebar dan diamalkan tanpa dasar yang benar, maka akan mengubah ajaran Islam yang murni dan merusak pemahaman umat.

Para ulama sejak dahulu telah bersungguh-sungguh dalam menjaga kemurnian hadits dengan menyusun ilmu musthalah hadits dan meneliti sanad (rantai periwayatan) serta matan (isi) hadits. Jika tidak ada usaha ini, maka umat Islam akan mudah terjebak dalam ajaran yang menyimpang.


2. Bahaya Berdusta atas Nama Nabi ﷺ

Memalsukan hadits termasuk perbuatan dosa besar karena berarti berdusta atas nama Nabi Muhammad ﷺ, yang konsekuensinya sangat berat.

Dalam banyak hadits sahih, Nabi ﷺ memperingatkan dengan tegas tentang bahaya berdusta atas namanya. Ulama juga menganggap pemalsuan hadits sebagai salah satu bentuk penghinaan terhadap agama dan dosa yang besar.


3. Perlunya Kritis dalam Menerima Hadits

Tidak semua hadits yang didengar atau dibaca bisa langsung diterima tanpa verifikasi. Umat Islam harus memiliki sikap kritis dalam menyaring hadits dan mencari sumber yang terpercaya.

Dalam era digital, banyak hadits palsu tersebar di media sosial dan internet tanpa adanya klarifikasi dari sumber yang berkompeten. Umat Islam harus berhati-hati dalam membagikan informasi keagamaan agar tidak ikut menyebarkan hadits palsu.

🔹 Contoh:
Ada orang menambahkan catatan ketika share di medsos dengan mencatumkan kalimat seperti "Barang siapa yang memberitahukan hadits ini kepada sepuluh orang, maka ia akan masuk surga." Ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam yang tidak menggantungkan surga pada sekadar menyebarkan informasi tanpa dalil yang benar.


4. Peran Ulama dalam Menyaring Hadits Palsu

Ulama hadis memiliki tugas besar dalam membedakan hadits yang sahih, hasan, dha’if, dan maudhu’ (palsu). Tanpa adanya penelitian para ulama, umat akan kesulitan membedakan hadits yang benar dan yang palsu.

Para ulama seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan Ibnu Hajar telah melakukan usaha besar dalam memilah dan mengklasifikasikan hadits. Di samping itu, ulama seperti Ibnu Al-Jauzi dan As-Suyuthi menyusun kitab khusus untuk membongkar hadits-hadits palsu agar umat tidak terjebak dalam kebohongan.


5. Dampak Negatif Hadits Palsu terhadap Umat Islam

Hadits palsu bisa menimbulkan pemahaman yang keliru dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam ibadah, akidah, maupun akhlak.

Banyak hadits palsu yang menyebabkan umat Islam terjerumus dalam amalan bid'ah atau menganggap ringan dosa yang sebenarnya berat. Bahkan, ada hadits palsu yang digunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi.


6. Kewajiban Menyebarkan Hadits yang Sahih Saja

Seorang Muslim tidak boleh menyebarkan hadits sebelum memastikan kesahihannya. Jika ragu, lebih baik diam daripada menyebarkan informasi yang salah.

Menyebarkan hadits palsu, meskipun dengan niat baik, tetap merupakan perbuatan yang berbahaya karena dapat menyesatkan banyak orang. Oleh karena itu, setiap Muslim dianjurkan untuk merujuk kepada ulama hadits atau kitab hadits yang terpercaya sebelum mengutip suatu hadits.

Banyak orang dengan mudah mengutip hadits dalam ceramah atau tulisan mereka tanpa mengecek sumbernya. Padahal, Rasulullah ﷺ sudah memperingatkan:

كَفَى بالمَرْءِ كَذِبًا أنْ يُحَدِّثَ بكُلِّ ما سَمِعَ

"Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta jika ia menceritakan segala yang ia dengar (tanpa meneliti terlebih dahulu)." (HR Abu Dawud (4992), Ibnu Hibban (30), dan Al-Hakim (386))


Kesimpulan

Kajian hadits palsu memberikan banyak pelajaran penting bagi umat Islam, antara lain:

  1. Menjaga kemurnian ajaran Islam dengan tidak menerima hadits secara sembarangan.
  2. Menyadari bahaya besar berdusta atas nama Nabi ﷺ dan konsekuensi beratnya.
  3. Menerapkan sikap kritis dalam menerima dan menyebarkan hadits, terutama di era informasi digital.
  4. Menghormati dan mengikuti metode para ulama dalam memilah dan meneliti hadits.
  5. Menghindari dampak negatif hadits palsu terhadap akidah, ibadah, dan kehidupan sosial.
  6. Memastikan hanya menyebarkan hadits yang sahih agar tidak ikut berdosa karena menyebarkan kebohongan. 


Penutup Kajian


Jamaah sekalian,

Dengan memahami hadits palsu dan bahayanya, umat Islam dapat lebih berhati-hati dalam berpegang pada ajaran yang benar dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam Islam. 

Alhamdulillah, kita telah menyelesaikan kajian tentang hadits palsu, sebuah topik yang sangat penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. Dari pembahasan ini, kita memahami bahwa berdusta atas nama Rasulullah ﷺ adalah dosa besar yang mendapat ancaman neraka. Maka, sebagai umat yang mencintai Nabi ﷺ, kita wajib berhati-hati dalam menyebarkan hadits, memastikan kebenarannya sebelum mengamalkan atau menyampaikannya kepada orang lain.

Mari kita jadikan ilmu ini sebagai pengingat agar selalu berpegang teguh pada hadits yang sahih dan menjauhi segala bentuk kedustaan dalam agama. Semoga Allah ﷻ memberikan kita pemahaman yang benar, menjaga lisan dan tulisan kita dari kebohongan, serta menjadikan kita bagian dari orang-orang yang menjaga keaslian sunnah Rasulullah ﷺ.

Wa billahi taufiq wal hidayah, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 


 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers