Kajian: Muzara’ah dan Musaqah (Kitab Minhajul Muslim)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللّٰهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَعَلٰى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ.

 Hadirin yang dirahmati Allah,

Di tengah perkembangan sektor agraria dan pertanian, kita sering menemukan berbagai praktik kerja sama antara pemilik lahan dan pekerja yang tidak selalu sesuai dengan prinsip syariah. Di masyarakat, masih banyak terjadi sistem kemitraan yang mengandung unsur gharar (ketidakjelasan), riba, atau eksploitasi sepihak, baik dalam pembagian hasil maupun tanggung jawab pengelolaan. Misalnya, ada perjanjian kerja sama yang merugikan salah satu pihak karena pembagian hasil yang tidak adil atau ketidaktahuan akan hak dan kewajiban masing-masing.

Di sisi lain, banyak lahan pertanian yang terbengkalai karena pemiliknya tidak mampu mengelola sendiri, sementara ada tenaga kerja yang ingin menggarap tanah tetapi tidak memiliki modal. Bagaimana Islam mengatur solusi yang adil dalam kemitraan agraria ini? Jawabannya ada dalam konsep musāqah dan muzāra‘ah, yaitu bentuk kerja sama antara pemilik tanah atau kebun dengan pekerja yang diatur dalam fiqh mu‘āmalah Islāmiyyah.

Maka dari itu, kajian kita hari ini akan membahas secara mendalam tentang:
Musāqah – Kemitraan dalam pengelolaan kebun atau pohon dengan sistem bagi hasil.
Muzāra‘ah – Kerja sama pertanian antara pemilik tanah dan penggarap dengan proporsi hasil yang telah disepakati.
Landasan syariah dan praktik Rasulullah ﷺ dalam penerapan kedua sistem ini, serta bagaimana para sahabat melanjutkannya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar musāqah dan muzāra‘ah menjadi akad yang sah dan bebas dari unsur yang diharamkan.
Manfaat dan dampak positif dari penerapan akad ini dalam pertanian modern.

Setelah mengikuti kajian ini, insyaAllah kita semua akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana Islam mengatur sistem agraria dengan prinsip keadilan, keberkahan, dan kesejahteraan bersama. Dengan ilmu ini, kita dapat menghindari transaksi yang bermasalah, serta memanfaatkan tanah dan sumber daya yang ada secara optimal sesuai syariah.

Semoga Allah ﷻ menjadikan majelis ilmu ini sebagai wasilah kebaikan dan keberkahan bagi kita semua. آمين يا رب العالمين.

📖 Mari kita mulai kajian ini dengan penuh perhatian dan niat mencari ridha Allah!


Materi Kajian


أ- الْمُسَاقَاةُ:

Musaqat

تَعْرِيفُهَا:الْمُسَاقَاةُ هِيَ إِعْطَاءُ نَخْلٍ أَوْ شَجَرٍ أَوْ نَخْلٍ وَشَجَرٍ لِمَنْ يَقُومُ بِسَقْيِهِ وَعَمَلِ سَائِرِ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ خِدْمَةٍ بِجُزْءٍ مَعْلُومٍ مِنْ ثَمَرِهِ مُشَاعًا فِيهِ.

Definisi: Musaqat adalah memberikan kebun kurma atau pohon lainnya, atau kebun yang berisi kurma dan pohon lainnya kepada seseorang yang akan mengurus penyiramannya serta melakukan segala perawatan yang dibutuhkan dengan imbalan bagian tertentu dari hasil buahnya yang telah ditentukan secara proporsional.

Sistem musaqah ini sangat relevan dalam pertanian di Indonesia karena memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Pemilik kebun tetap memperoleh hasil dari lahannya tanpa harus mengelola langsung, sementara petani mendapatkan bagian dari hasil panen meskipun tidak memiliki lahan sendiri. 

Model ini juga sejalan dengan prinsip keadilan dalam Islam karena membagi hasil dan risiko secara proporsional sesuai kesepakatan..


حُكْمُهَا: الْمُسَاقَاةُ جَائِزَةٌ، وَالْأَصْلُ فِي جَوَازِهَا عَمَلُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَعَمَلُ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِهِ، فَقَدْ أَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَامَلَ أَهْلَ (خَيْبَرَ) بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا (أَيْ مِنْ أَرْضِ خَيْبَرَ) مِنْ زَرْعٍ وَتَمْرٍ، كَمَا أَمْضَى هَذِهِ الْمُعَامَلَةَ مِنْ بَعْدِهِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ -.

Hukumnya: Musaqat diperbolehkan, dan dasar kebolehannya adalah praktik Rasulullah serta para khalifah setelahnya. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan perjanjian bahwa mereka mendapatkan setengah dari hasil panennya (baik berupa tanaman maupun kurma). Praktik ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu 'anhum setelahnya.  

Dalam konteks pertanian di Indonesia, praktik musaqah dapat ditemukan di berbagai sektor perkebunan. Misalnya, dalam perkebunan kelapa sawit, seorang pemilik lahan yang memiliki ratusan pohon sawit dapat bekerja sama dengan petani untuk merawat dan memanen sawitnya, dengan kesepakatan bagi hasil 30% untuk petani dan 70% untuk pemilik kebun. 

Contoh lainnya adalah pada kebun kopi di Aceh Gayo atau Temanggung, di mana seorang pemilik kebun kopi menyerahkan pengelolaan kebunnya kepada petani dengan sistem bagi hasil, misalnya 40% untuk petani dan 60% untuk pemilik. Begitu pula dalam kebun mangga di Probolinggo atau kebun durian di Kalimantan, di mana petani bertugas merawat tanaman hingga panen dengan bagian hasil yang disepakati bersama.


أَحْكَامُهَا:
Ketentuannya:

-1أَنْ يَكُونَ النَّخْلُ أَوِ الشَّجَرُ مَعْلُومًا عِنْدَ إِبْرَامِ الْعَقْدِ، فَلَا تَجْرِي الْمُسَاقَاةُ فِي مَجْهُولٍ خَشْيَةَ الْغَرَرِ وَهُوَ حَرَامٌ.

Pohon kurma atau tanaman harus diketahui keberadaannya saat akad dilakukan, maka akad musaqat tidak berlaku pada sesuatu yang tidak jelas, sebab mengandung unsur gharar (ketidakpastian) yang diharamkan.

Ketentuan bahwa pohon atau tanaman harus diketahui secara jelas saat akad musaqah dilakukan berarti bahwa lahan pertanian atau kebun yang dikerjasamakan harus spesifik dan tidak boleh dalam keadaan yang tidak jelas atau tidak pasti. 

Misalnya, seorang pemilik kebun durian ingin menjalin kerja sama musaqah dengan petani lokal. Ia harus memastikan bahwa jumlah pohon durian yang akan dikelola sudah jelas, misalnya 50 pohon durian yang berada di suatu lahan tertentu. Tidak diperbolehkan jika akad dibuat dengan ketidakjelasan, seperti hanya menyebutkan "sebagian pohon durian di kebun ini" tanpa menentukan secara pasti mana yang dimaksud.

Contoh lain: Jika seorang pemilik kebun kelapa ingin bekerja sama dengan seorang petani untuk merawat dan memanen kelapa, ia harus menyebutkan dengan jelas jumlah pohon kelapa yang termasuk dalam perjanjian, misalnya 100 pohon yang berada di sisi timur lahan. Tidak boleh sekadar menyebutkan bahwa petani boleh mengambil hasil dari "beberapa pohon kelapa di kebun ini" tanpa batasan yang jelas, karena bisa menyebabkan perselisihan di kemudian hari.

Ketidakjelasan dalam akad musaqah bisa menimbulkan unsur gharar (ketidakpastian), yang dilarang dalam Islam. Jika tanaman atau pohon yang disepakati tidak jelas, maka dapat terjadi sengketa, misalnya ketika beberapa pohon ternyata tidak berbuah atau ternyata jumlahnya kurang dari yang diperkirakan. Oleh karena itu, kejelasan objek akad sangat penting untuk menghindari perselisihan dan memastikan keadilan bagi kedua belah pihak.

----

-2أَنْ يَكُونَ الْجُزْءُ الْمُعْطَى لِلْعَامِلِ مَعْلُومًا كَرُبْعٍ أَوْ خُمُسٍ مِثْلًا، وَأَنْ يَكُونَ مُشَاعًا فِي جَمِيعِ النَّخْلِ أَوِ الشَّجَرِ؛ إِذْ لَوْ حُصِرَ فِي نَخْلٍ أَوْ شَجَرٍ خَاصٍّ قَدْ يُثْمِرُ وَقَدْ لَا يُثْمِرُ، وَفِي ذَلِكَ غَرَرٌ يُحَرِّمُهُ الْإِسْلَامُ.

Bahwa bagian yang diberikan kepada pekerja harus diketahui dengan jelas seperti seperempat atau seperlima misalnya, dan harus merata di seluruh pohon kurma atau pohon (yang digarap); karena jika dibatasi pada pohon kurma atau pohon tertentu saja, bisa jadi berbuah atau tidak berbuah, dan dalam hal itu terdapat gharar (ketidakpastian) yang diharamkan dalam Islam.

Dalam konteks pertanian di Indonesia, ketentuan ini menegaskan bahwa bagian hasil panen yang diberikan kepada pekerja (penggarap) dalam akad musaqah harus ditentukan dengan jelas dalam bentuk persentase, seperti seperempat (¼) atau seperlima (⅕) dari total hasil panen. Selain itu, bagian tersebut harus bersifat musya‘ (merata) di seluruh kebun atau lahan yang menjadi objek akad, bukan hanya dari pohon atau tanaman tertentu. Hal ini bertujuan untuk menghindari unsur gharar (ketidakpastian) yang dilarang dalam Islam.

Sebagai contoh, seorang pemilik kebun mangga menjalin akad musaqah dengan seorang petani untuk merawat dan menyiram 200 pohon mangga. Dalam akad tersebut disepakati bahwa petani akan mendapatkan ⅕ (20%) dari total hasil panen yang diperoleh dari seluruh pohon di kebun tersebut. Dengan demikian, baik pemilik maupun petani berbagi risiko dan keuntungan secara adil, karena hasil panen dihitung dari keseluruhan kebun, bukan dari pohon tertentu saja.

Sebaliknya, jika pemilik kebun hanya memberikan bagian hasil dari 20 pohon tertentu tanpa menjamin bahwa pohon-pohon tersebut akan berbuah, maka ini mengandung unsur gharar. Bisa saja 20 pohon tersebut ternyata tidak menghasilkan buah yang cukup, sementara pohon lainnya di kebun berbuah lebat. Dalam kondisi seperti ini, pekerja bisa dirugikan karena ketidakpastian jumlah panen yang akan diterimanya. 

Oleh karena itu, Islam melarang sistem yang tidak adil dan berpotensi merugikan salah satu pihak, dengan memastikan bahwa bagian yang diberikan harus merata dari keseluruhan hasil kebun, bukan hanya dari pohon-pohon tertentu.

-3عَلَى الْعَامِلِ أَنْ يَقُومَ بِكُلِّ مَا يَلْزَمُ لِإِصْلَاحِ النَّخْلِ أَوِ الشَّجَرِ مِمَّا جَرَى الْعُرْفُ أَنْ يَقُومَ بِهِ الْعَامِلُ فِي الْمُسَاقَاةِ.

Pekerja berkewajiban melakukan semua yang diperlukan untuk perawatan pohon kurma atau pohon (lainnya) sesuai dengan apa yang telah menjadi kebiasaan ('urf) yang dilakukan oleh pekerja dalam akad musaqah.

Ketentuan ini mengatur bahwa pekerja (penggarap) dalam akad musaqah bertanggung jawab untuk melakukan semua pekerjaan yang diperlukan dalam perawatan tanaman, sesuai dengan kebiasaan atau standar yang berlaku di masyarakat. Ini mencakup penyiraman, pemupukan, pemangkasan, pembersihan gulma, perlindungan dari hama, serta tindakan lain yang diperlukan agar tanaman tumbuh dengan baik dan menghasilkan panen yang optimal.

Sebagai contoh, seorang pemilik kebun kelapa sawit melakukan akad musaqah dengan seorang pekerja untuk mengelola kebunnya. Dalam kesepakatan tersebut, pekerja bertanggung jawab atas penyiraman, pemupukan, pembersihan lahan dari gulma, serta pemangkasan daun yang mengganggu pertumbuhan buah. Jika terdapat serangan hama, maka pekerja juga harus melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian sesuai dengan praktik pertanian yang umum dilakukan di daerah tersebut. Sebagai imbalannya, pekerja akan mendapatkan bagian dari hasil panen sesuai persentase yang telah disepakati sebelumnya.

Namun, jika ada tugas tambahan yang di luar kebiasaan, seperti membangun saluran irigasi baru atau mengganti pohon yang mati dengan bibit baru, maka ini tidak termasuk kewajiban pekerja dalam akad musaqah kecuali jika ada kesepakatan tambahan. 

Dengan demikian, ketentuan ini memastikan bahwa hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam akad musaqah berjalan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat pertanian Indonesia, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau terbebani dengan tugas yang tidak seharusnya.

-----

-4إِنْ كَانَ عَلَى الْأَرْضِ الْمُعْطَاةِ مُسَاقَاةً خَرَاجٌ أَوْ ضَرِيبَةٌ فَهِيَ عَلَى الْمَالِكِ دُونَ الْعَامِلِ إِذِ الْخَرَاجُ أَوْ الضَّرِيبَةُ مُتَعَلِّقٌ بِالْأَصْلِ بِدَلِيلِ أَنَّ الضَّرِيبَةَ مَدْفُوعَةٌ، وَلَوْ لَمْ تُغْرَسِ الْأَرْضُ أَوْ تُزْرَعْ.

Jika pada tanah yang diberikan dalam akad musaqah terdapat kharaj (pajak tanah) atau pajak lainnya, maka itu menjadi tanggungan pemilik (tanah) bukan pekerja, karena kharaj atau pajak terkait dengan aset pokok (tanah), dengan bukti bahwa pajak tetap harus dibayar meskipun tanah tersebut tidak ditanami atau digarap.

Dalam konteks pertanian di Indonesia, ketentuan ini menegaskan bahwa jika lahan pertanian yang digunakan dalam akad musaqah dikenakan pajak atau retribusi tertentu, maka kewajiban membayar beban tersebut tetap menjadi tanggung jawab pemilik lahan, bukan pekerja (amil). Hal ini karena pajak atau retribusi dikenakan atas kepemilikan tanah itu sendiri, bukan atas hasil usaha pertanian yang dilakukan di atasnya. Pajak tetap harus dibayar oleh pemilik lahan meskipun tanah tersebut tidak ditanami atau tidak menghasilkan panen.

Sebagai contoh, seorang pemilik kebun mangga di Jawa Timur membuat akad musaqah dengan seorang pekerja untuk merawat dan mengelola kebun tersebut. Di wilayah tersebut, pemilik tanah diwajibkan membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) setiap tahun. Dalam hal ini, meskipun lahan sedang dikelola oleh pekerja dalam akad musaqah, kewajiban membayar PBB tetap menjadi tanggung jawab pemilik lahan, karena pajak ini dikenakan atas kepemilikan tanah, bukan atas hasil panen yang diperoleh.

Jika pajak atau retribusi tersebut dibebankan kepada pekerja, maka hal ini akan menimbulkan ketidakadilan dan bertentangan dengan prinsip musaqah, yang menekankan pembagian hasil berdasarkan usaha pengelolaan tanaman, bukan beban kepemilikan tanah. 

Oleh karena itu, dalam sistem pertanian berbasis syariah, pemilik lahan tetap menanggung kewajiban pajak, sementara pekerja memperoleh bagiannya dari hasil panen sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

-----

-5تَجُوزُ الْمُسَاقَاةُ فِي الْأُصُولِ كَأَنْ يَدْفَعَ رَجُلٌ لِآخَرَ أَرْضًا لِيَغْرِسَهَا نَخْلًا أَوْ شَجَرًا، وَيَقُومَ بِسَقْيِهَا وَإِصْلَاحِهَا إِلَى أَنْ تُثْمِرَ عَلَى أَنَّ لَهُ الرُّبُعَ مِنْهَا أَوِ الثُّلُثَ مِثْلًا بِشَرْطِ أَنْ تُحَدَّدَ الْمُدَّةُ بِإِثْمَارِهَا مِثْلًا، وَأَنْ يَأْخُذَ الْعَامِلُ نَصِيبَهُ مِنَ الْأَرْضِ وَالشَّجَرِ مَعًا.

Musaqah diperbolehkan dalam hal aset pokok (tanah), seperti seseorang menyerahkan tanah kepada orang lain untuk ditanami pohon kurma atau pohon (lainnya), dan dia bertugas menyiramnya dan merawatnya sampai berbuah, dengan ketentuan bahwa dia mendapat seperempat atau sepertiga (dari hasilnya) misalnya, dengan syarat bahwa jangka waktunya ditentukan sampai berbuah misalnya, dan pekerja mengambil bagiannya dari tanah dan pohon secara bersamaan.

Dalam konteks pertanian di Indonesia, ketentuan ini menunjukkan bahwa akad musaqah tidak hanya berlaku untuk pohon yang sudah ada, tetapi juga dapat diterapkan pada lahan yang akan ditanami pohon (ushul). Artinya, seorang pemilik tanah dapat menyerahkan lahannya kepada seorang pekerja untuk ditanami pohon seperti kelapa, durian, atau mangga. Pekerja tersebut bertanggung jawab untuk menanam, merawat, menyirami, dan menjaga tanaman hingga berbuah, dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen, misalnya seperempat atau sepertiga dari hasilnya.

Sebagai contoh, seorang pemilik lahan memiliki sebidang tanah yang belum ditanami. Ia kemudian mengadakan akad musaqah dengan seorang petani untuk menanam pohon durian. Dalam akad tersebut, petani bertanggung jawab atas segala aspek perawatan pohon hingga menghasilkan buah. Setelah panen pertama dan seterusnya, petani akan menerima bagian yang telah disepakati, misalnya sepertiga dari hasil panen, sementara sisanya menjadi hak pemilik lahan.

Namun, agar akad ini sah, harus ada kesepakatan mengenai jangka waktu perjanjian, seperti hingga pohon pertama kali berbuah. Selain itu, bagian hasil yang diterima pekerja harus mencakup manfaat dari tanah dan pohon yang telah ditanam. Dengan demikian, akad ini memberikan keadilan bagi kedua belah pihak dan memastikan keberlanjutan usaha pertanian sesuai dengan prinsip syariah.

-----

-6لِلْعَامِلِ إِنْ عَجَزَ عَنِ الْعَمَلِ بِنَفْسِهِ أَنْ يُنِيبَ غَيْرَهُ، وَلَهُ الثَّمَرَةُ الْمُسْتَحَقَّةُ بِالْعَقْدِ.

Seorang pekerja dalam kontrak bagi hasil (musāqāh) yang tidak mampu bekerja sendiri boleh menunjuk orang lain sebagai wakilnya, dan ia tetap berhak atas hasil yang telah disepakati dalam kontrak.

Ketentuan ini mengatur bahwa pekerja (amil) dalam akad musaqah tetap berhak atas bagian hasil panen yang telah disepakati, meskipun ia tidak bisa mengerjakan tugasnya sendiri dan harus menunjuk orang lain untuk menggantikannya. Ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam pelaksanaan musaqah, selama pekerjaan tetap terlaksana dan tanaman dirawat dengan baik.

Sebagai contoh, seorang petani menerima lahan perkebunan kopi dari pemilik tanah melalui akad musaqah. Dalam perjanjian tersebut, ia bertanggung jawab atas penyiraman, pemangkasan, dan perawatan hingga panen dengan imbalan sepertiga dari hasil panen kopi. Namun, di tengah masa perjanjian, ia mengalami sakit berkepanjangan sehingga tidak dapat bekerja sendiri. Berdasarkan ketentuan ini, ia boleh menunjuk orang lain, seperti anggota keluarganya atau pekerja lain, untuk melanjutkan tugasnya. Meskipun pekerja pengganti yang menjalankan tugasnya, haknya atas bagian panen tetap terjamin sebagaimana yang telah disepakati dalam akad.

Dengan adanya aturan ini, musaqah menjadi lebih fleksibel dan adil, sehingga keberlanjutan produksi pertanian tetap terjaga tanpa menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Ketentuan ini juga membuka ruang bagi dua perusaahaan di bidang pertanian yang berbisnis dengan menggunakan akad musaqah.

-----

-7إِنْ هَرَبَ الْعَامِلُ قَبْلَ بُدُوِّ الثَّمَرَةِ فَلِرَبِّ الْأَرْضِ الْفَسْخُ، وَإِنْ هَرَبَ بَعْدَ بُدُوِّ الثَّمَرِ أَقَامَ مَنْ يُتِمُّ الْعَمَلَ بِأُجْرَةٍ مِنْ نَصِيبِ الْعَامِلِ.

Jika pekerja melarikan diri sebelum buah mulai tumbuh, maka pemilik tanah berhak membatalkan kontrak. Jika pekerja melarikan diri setelah buah mulai tumbuh, pemilik tanah dapat menunjuk orang lain untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan upah yang diambil dari bagian pekerja.

Jika pekerja meninggalkan pekerjaan musaqah sebelum buah mulai tampak (būdū al-thamar), maka pemilik lahan berhak membatalkan akad musaqah karena pekerja belum menjalankan kewajibannya. Misalnya, seorang petani menerima lahan sawit melalui akad musaqah, tetapi ia meninggalkan pekerjaannya sebelum pohon-pohon sawit mulai berbuah. Dalam hal ini, pemilik lahan dapat membatalkan perjanjian dan mencari pekerja lain tanpa ada hak bagi pekerja yang kabur untuk mendapatkan bagian hasil panen.

Namun, jika pekerja melarikan diri setelah buah mulai tampak, pemilik lahan tetap harus memastikan panen berjalan dengan baik. Oleh karena itu, ia dapat menyewa pekerja lain untuk menyelesaikan tugas yang ditinggalkan, dengan biaya upah yang diambil dari bagian hasil panen yang seharusnya menjadi hak pekerja yang kabur. Sebagai contoh, seorang petani di Sulawesi yang mengelola kebun cengkeh berdasarkan akad musaqah tiba-tiba pergi setelah pohon cengkeh mulai berbunga dan berbuah. Dalam situasi ini, pemilik lahan dapat mempekerjakan orang lain untuk menyelesaikan perawatan dan panen, dengan membayar mereka dari bagian hasil yang semestinya diterima oleh pekerja yang pergi.

Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban dalam musaqah (hak pekerja lama tidak hilang, namun diberikan sesuai prosentase tahapan pekerjaan selesai), mencegah kelalaian pekerja, dan memastikan produksi pertanian tetap berjalan tanpa kerugian bagi pemilik lahan.

-----
-8إِنْ مَاتَ الْعَامِلُ فَلِوَرَثَتِهِ أَنْ يُنِيبُوا غَيْرَهُ مِنْ طَرَفِهِمْ، وَإِنِ اتَّفَقَ الطَّرَفَانِ عَلَى الْفَسْخِ فُسِخَتِ الْمُسَاقَاةُ.

Jika pekerja meninggal dunia, maka ahli warisnya berhak menunjuk pengganti dari pihak mereka. Jika kedua belah pihak sepakat untuk membatalkan kontrak, maka kontrak musāqāh dianggap batal.

Ketentuan ini mengatur bagaimana penyelesaian jika pekerja (amil) dalam akad musaqah meninggal dunia sebelum panen.

Jika pekerja meninggal, hak dan kewajibannya dalam akad musaqah dapat dialihkan kepada ahli warisnya. Ahli waris berhak menunjuk seseorang untuk menggantikan posisi pekerja yang telah wafat agar perawatan tanaman tetap berjalan hingga panen. Misalnya, seorang petani di Jawa mengelola kebun kopi melalui akad musaqah, tetapi ia meninggal sebelum masa panen tiba. Dalam situasi ini, keluarganya dapat menunjuk anggota keluarga lain atau orang lain untuk melanjutkan pekerjaannya, sehingga akad tetap berlaku sampai panen selesai.

Namun, jika kedua belah pihak, yaitu ahli waris pekerja dan pemilik lahan, sepakat untuk membatalkan akad musaqah, maka perjanjian dapat dihentikan. Misalnya, dalam kasus di Kalimantan, seorang petani sawit yang terikat dalam akad musaqah meninggal dunia, dan ahli warisnya merasa tidak sanggup melanjutkan pekerjaannya. Jika pemilik lahan juga setuju untuk mengakhiri akad, maka perjanjian tersebut bisa dibatalkan, dan masing-masing pihak menyelesaikan hak serta kewajibannya sesuai dengan kesepakatan.

Ketentuan ini memberikan fleksibilitas bagi para pihak yang terlibat dalam musaqah, sehingga kepentingan pemilik lahan dan ahli waris pekerja tetap terlindungi serta keberlangsungan pertanian tetap terjaga. Ahli waris pekerja tetap mendapatkan hak dari tahapan pekerjaan yang telah diselesaikan oleh pekerja sebelum wafatnya.


ب- الْمُزَارَعَةُ:

Muzara’ah

تَعْرِيفُهَا: الْمُزَارَعَةُ هِيَ أَنْ يَدْفَعَ رَجُلٌ لِآخَرَ أَرْضًا يَزْرَعُهَا عَلَى جُزْءٍ مُعَيَّنٍ مُشَاعٍ فِيهَا.

Definisi: Muzara'ah adalah memberikan tanah kepada seseorang untuk ditanami dengan bagian tertentu dari hasil panennya yang telah disepakati secara proporsional.

Muzara'ah adalah sistem kerja sama dalam pertanian di mana pemilik lahan memberikan tanahnya kepada petani untuk ditanami dengan perjanjian bagi hasil dari panen yang dihasilkan. Bagi hasil ini ditentukan dalam bentuk persentase tertentu yang disepakati di awal akad.

Akad ini sangat bermanfaat dalam mendorong produktivitas pertanian, terutama bagi pemilik lahan yang tidak memiliki sumber daya untuk menggarap tanahnya sendiri. Dengan muzara'ah, petani yang tidak memiliki lahan bisa tetap bekerja dan mendapatkan hasil dari usaha mereka, sementara pemilik lahan tetap memperoleh manfaat dari tanahnya tanpa harus mengelolanya secara langsung.

-----

2 - حُكْمُهَا:أَجَازَ الْمُزَارَعَةَ جُمْهُورُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَالْأَئِمَّةِ وَمَنَعَهَا آخَرُونَ.

Mayoritas sahabat, tabi‘in, dan imam mazhab membolehkan al-muzāra‘ah, sedangkan sebagian ulama lain melarangnya.

وَدَلِيلُ الْمُجِيزِينَ مُعَامَلَتُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَهْلَ (خَيْبَرَ) بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ زَرْعٍ وَثَمَرٍ.

Dalil yang membolehkan praktik ini adalah transaksi Nabi Muhammad dengan penduduk Khaibar, di mana beliau menyerahkan lahan mereka untuk dikelola dengan imbalan setengah dari hasil panen, baik berupa tanaman maupun buah-buahan.

فَقَدْ رَوَى الْبُخَارِيُّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَامَلَ أَهْلَ (خَيْبَرَ) بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ زَرْعٍ وَثَمَرٍ، فَكَانَ يُعْطِي أَزْوَاجَهُ مِائَةَ وَسْقٍ (ثَمَانُونَ وَسْقًا تَمْرًا وَعِشْرُونَ وَسْقًا شَعِيرًا)،

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Umar رضي الله عنهما bahwa Nabi mengadakan perjanjian dengan penduduk Khaibar, di mana mereka bekerja di tanah tersebut dengan imbalan setengah dari hasil panennya. Rasulullah pun memberikan kepada istri-istrinya 100 wasq (80 wasq kurma dan 20 wasq gandum).

Dalam konteks pertanian di Indonesia, muzara'ah dapat diterapkan pada lahan pertanian padi di Jawa atau lahan jagung di Sulawesi. Misalnya, seorang pemilik lahan di Jawa Tengah yang memiliki sawah tetapi tidak bisa mengelolanya sendiri karena keterbatasan tenaga atau keahlian, menyerahkan sawah tersebut kepada seorang petani untuk ditanami padi. Mereka sepakat bahwa hasil panen akan dibagi secara proporsional, misalnya 1/3 bagian untuk pemilik lahan dan 2/3 bagian untuk petani sebagai pihak yang mengolah tanah.

-----

وَحَمَلُوا مَا رُوِيَ مِنَ النَّهْيِ عَنِ الْمُزَارَعَةِ إِمَّا عَلَى أَنَّهَا كَانَتْ بِشَيْءٍ مَجْهُولٍ مُحْتَجِّينَ

Adapun hadis yang melarang al-muzāra‘ah, sebagian ulama menafsirkannya sebagai larangan terhadap transaksi yang mengandung ketidakjelasan,

بِحَدِيثِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - إِذْ قَالَ: "كُنَّا مِنْ أَكْثَرِ الْأَنْصَارِ حَقْلًا، فَكُنَّا نُكْرِي الْأَرْضَ عَلَى أَنْ لَنَا هَذِهِ وَلَهُمْ هَذِهِ، فَرُبَّمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ".

Sebagaimana hadits Rafi‘ bin Khadij رضي الله عنه, yang berkata:
"Kami kaum Anshar memiliki banyak lahan pertanian, dan kami sering menyewakan tanah dengan ketentuan hasil dari satu bagian tertentu untuk kami dan bagian lain untuk mereka.
Terkadang, tanah yang ditentukan menghasilkan panen, sementara bagian lain tidak. Maka Rasulullah melarang praktik tersebut."

أَوْ أَنَّهَا لِلْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ بِدَلِيلِ قَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: إِنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - "لَمْ يَنْهَ عَنْهُ، وَلَكِنْ قَالَ: أَنْ يَمْنَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ عَلَيْهِ خَرَاجًا مَعْلُومًا".

Sebagian ulama juga memahami larangan ini sebagai larangan bersifat makruh (tidak haram), sebagaimana pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi tidak secara tegas melarangnya, tetapi bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian memberikan tanahnya kepada saudaranya tanpa meminta imbalan, itu lebih baik daripada mengambil upah tertentu darinya."

أَحْكَامُ الْمُزَارَعَةِ هِيَ:

Ketentuan-ketentuan Muzāra‘ah yaitu:

أ- أَنْ تَكُونَ الْمُدَّةُ مُحَدَّدَةً مُعَيَّنَةً كَسَنَةٍ مِثْلًا.

Jangka waktu Muzāra‘ah harus ditentukan secara jelas, misalnya satu tahun.

Penentuan jangka waktu sangat penting untuk menghindari ketidakjelasan yang dapat menyebabkan perselisihan antara pemilik lahan dan petani. Jangka waktu yang tidak jelas dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, baik dalam hal hasil panen maupun hak penggunaan lahan.

Di Indonesia, sistem ini dapat diterapkan dalam pertanian padi di daerah seperti Jawa, Sumatra, atau Sulawesi. Misalnya, seorang pemilik lahan memberikan sawahnya kepada seorang petani untuk dikelola dalam waktu satu musim tanam, yang biasanya berlangsung sekitar enam bulan. Dalam akad yang dibuat, disepakati bahwa setelah satu musim tanam, pemilik lahan dan petani akan mengevaluasi kerja sama mereka dan menentukan apakah akan melanjutkan akad untuk musim berikutnya atau tidak.

Dengan adanya batasan waktu yang jelas, baik pemilik lahan maupun petani dapat merencanakan usaha mereka dengan lebih baik. Pemilik lahan bisa mengevaluasi apakah sistem ini menguntungkan baginya, sementara petani memiliki kepastian mengenai hak dan kewajibannya selama periode yang telah disepakati.

-----

ب- أَنْ يَكُونَ الْجُزْءُ الْمُتَّفَقُ عَلَيْهِ مَعْلُومَ الْقَدْرِ كَالنِّصْفِ أَوِ الثُّلُثِ أَوِ الرُّبْعِ مِثْلًا، وَأَنْ يَكُونَ مُشَاعًا فِي جَمِيعِ مَا يَخْرُجُ مِنَ الْأَرْضِ، فَلَوْ قِيلَ: "لَكَ مَا يَنْبُتُ فِي كَذَا" لَمْ تَصِحَّ.

Bagian hasil yang disepakati harus ditentukan secara proporsional, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat dari total hasil panen, dan harus bersifat menyeluruh terhadap seluruh hasil panen. Jika kesepakatannya hanya mencakup sebagian tanaman tertentu, maka akad tersebut tidak sah.

Bagian hasil yang disepakati harus jelas kadarnya dan bersifat proporsional terhadap keseluruhan panen. Misalnya, bagian yang diperoleh salah satu pihak harus ditentukan dengan persentase seperti setengah (nisf), sepertiga (thuluth), atau seperempat (rub‘), bukan dalam bentuk nominal tetap. 

Selain itu, bagian tersebut harus berlaku untuk seluruh hasil panen, sehingga tidak boleh ada ketentuan bahwa salah satu pihak hanya mendapatkan hasil dari tanaman yang tumbuh di area tertentu saja. Jika akad dibuat dengan ketentuan seperti itu, maka akad tersebut dianggap tidak sah karena bagian yang diperoleh tidak bersifat umum (musya‘), melainkan hanya pada satu bagian tertentu dari lahan, yang bisa jadi menghasilkan banyak atau sedikit, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakadilan. 

Aturan ini ditetapkan untuk memastikan kejelasan dan keadilan dalam akad bagi hasil, sehingga tidak terjadi perselisihan di kemudian hari. Dengan demikian, baik pemilik lahan maupun pekerja mendapatkan hak yang proporsional sesuai hasil panen yang diperoleh. Larangan menentukan bagian tertentu dari hasil panen juga bertujuan untuk menghindari ketidakpastian (gharar) yang dapat merugikan salah satu pihak. 

Dalam praktik muzāra‘ah atau musaqah, bagian yang disepakati harus berbentuk persentase yang berlaku untuk seluruh hasil panen, bukan dengan angka kilo atau ton dan bukan hanya untuk bagian lahan tertentu.

-----

جـ- أَنْ يَكُونَ الْبَذْرُ مِنْ صَاحِبِ الْأَرْضِ؛ أَمَّا إِذَا كَانَ الْبَذْرُ مِنَ الْعَامِلِ فَهِيَ "الْمُخَابَرَةُ".

Benih harus berasal dari pemilik tanah. Jika benih berasal dari pekerja, maka akad tersebut disebut mukhābarah.

وَالْخِلَافُ فِي جَوَازِهَا أَشَدُّ مِنَ الْخِلَافِ فِي الْمُزَارَعَةِ؛ لِقَوْلِ جَابِرٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: "نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنِ الْمُخَابَرَةِ".

Perselisihan mengenai kebolehannya lebih besar daripada perselisihan mengenai al-muzāra‘ah, berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu:
"Rasulullah
melarang mukhābarah."

Dalam akad muzāra‘ah, benih (al-badzr) harus berasal dari pemilik lahan. Jika benih berasal dari petani (pekerja), maka akad ini berubah menjadi mukhābarah, yang memiliki konsekuensi hukum berbeda dalam fikih Islam.

Di Indonesia, konsep ini dapat diterapkan dalam pertanian padi di daerah seperti Jawa dan Sumatra. Misalnya, seorang pemilik sawah memberikan lahannya kepada petani untuk ditanami dengan sistem bagi hasil. Dalam skema muzāra‘ah yang sah, pemilik lahan tidak hanya menyediakan tanah, tetapi juga menyediakan benih padi, sementara petani bertanggung jawab atas pengolahan tanah, penanaman, dan perawatan hingga masa panen. Hasil panen kemudian dibagi sesuai kesepakatan, misalnya pemilik lahan mendapatkan 40% dan petani mendapatkan 60%.

Namun, jika yang menyediakan benih adalah petani, maka akad berubah menjadi mukhābarah, yang dalam beberapa mazhab dianggap tidak sah atau makruh karena potensi ketidakadilan dan ketidakpastian dalam pembagian hasil. Dalam praktik pertanian Indonesia, sistem seperti ini sering kali terjadi dalam skema kerja sama pertanian tradisional, tetapi harus dipastikan bahwa akad yang digunakan sesuai dengan prinsip syariah agar tidak terjadi unsur gharar (ketidakpastian) dan dharar (kerugian).

Dengan memahami perbedaan ini, para pelaku usaha tani di Indonesia dapat memilih sistem kerja sama yang sesuai dengan prinsip syariah dan memastikan keadilan bagi kedua belah pihak.

-----

د- لَوِ اشْتَرَطَ رَبُّ الْأَرْضِ أَخْذَ بَذْرِهِ مِنَ الْمَحْصُولِ قَبْلَ قِسْمَتِهِ وَمَا بَقِيَ فَهُوَ لَهُ وَلِلْعَامِلِ بِحَسَبِ مَا اشْتَرَطَاهُ لَمْ تَصِحَّ الْمُزَارَعَةُ.

Jika pemilik tanah mensyaratkan untuk mengambil benihnya terlebih dahulu sebelum hasil panen dibagi, dan sisanya dibagi sesuai kesepakatan, maka akad tersebut tidak sah.

Dalam akad muzāra‘ah, jika pemilik lahan mensyaratkan agar ia terlebih dahulu mengambil kembali benih yang telah disediakan dari hasil panen sebelum dilakukan pembagian hasil (hasil pertanian dikurangi dulu dengan modal pemilik lahan untuk benih), maka akad ini menjadi tidak sah. Sebab, hal ini menyebabkan ketidakpastian (gharar) dalam bagian hasil yang diterima oleh pekerja (petani).

Dalam konteks pertanian di Indonesia, misalnya dalam usaha pertanian padi di Jawa atau Sumatra, seorang pemilik lahan bekerja sama dengan petani untuk menanam padi dengan sistem bagi hasil. Jika mengikuti prinsip muzāra‘ah yang sah, pemilik lahan harus membagi hasil panen sesuai dengan kesepakatan awal, misalnya 50:50 atau 60:40, tanpa mengurangi terlebih dahulu jumlah benih yang ia berikan.

Namun, jika pemilik lahan menetapkan syarat bahwa sebelum pembagian hasil, ia berhak mengambil sejumlah padi sebagai pengganti benih yang telah diberikan, maka hal ini menimbulkan ketidakpastian bagi petani. Sebab, bagian hasil yang diterima petani menjadi tidak tetap dan bergantung pada jumlah benih yang diambil kembali oleh pemilik lahan. Dalam fikih Islam, ketidakpastian seperti ini dilarang karena dapat merugikan salah satu pihak.

Oleh karena itu, para pemilik lahan dan petani harus memastikan bahwa perjanjian bagi hasil dilakukan secara adil dan jelas sejak awal, tanpa adanya syarat tambahan yang dapat mengubah kesepakatan setelah panen dilakukan.

-----

هـ- كِرَاءُ الْأَرْضِ بِثَمَنٍ نَقْدًا أَوْلَى مِنَ الْمُزَارَعَةِ؛ لِقَوْلِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ: "أَمَّا بِالذَّهَبِ أَوِ الْوَرِقِ فَلَمْ يَنْهَنَا".

Menyewakan tanah dengan pembayaran dalam bentuk uang tunai lebih utama dibandingkan dengan akad al-muzāra‘ah, sebagaimana perkataan Rafi‘ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu: "Adapun menyewakan tanah dengan emas atau perak, maka Rasulullah tidak melarangnya."

Muzāra‘ah diperbolehkan, namun menyewakan lahan pertanian dengan harga tertentu (kirā’ al-ardh bi tsaman naqdan) lebih diutamakan dibandingkan dengan muzāra‘ah berdasarkan hadits di atas.

Dalam konteks pertanian di Indonesia, praktik penyewaan lahan pertanian lebih umum dibandingkan dengan sistem bagi hasil. Misalnya, seorang pemilik lahan menyewakan sawahnya kepada petani dengan harga Rp5 juta per musim tanam. Dengan sistem ini, petani memiliki kebebasan untuk mengelola lahan, menanam jenis tanaman yang diinginkan, dan mengambil seluruh hasil panennya, tanpa ada ketidakpastian dalam perjanjian.

Sebaliknya, jika pemilik lahan menerapkan muzāra‘ah, maka hasil panen harus dibagi sesuai kesepakatan, misalnya 60:40 atau 50:50. Meskipun boleh dilakukan, sistem ini berisiko menimbulkan konflik jika ada perbedaan pendapat tentang jumlah panen atau pembagian hasil yang tidak jelas. Oleh karena itu, dalam perspektif syariah, menyewakan lahan dengan harga tetap dianggap lebih baik karena lebih pasti dan menghindari sengketa.

Namun, dalam kondisi tertentu di Indonesia, muzāra‘ah tetap relevan, terutama bagi petani yang tidak memiliki modal untuk menyewa lahan. Oleh karena itu, pemilik lahan dan petani harus memilih akad yang paling sesuai dengan keadaan mereka, dengan memastikan bahwa prinsip keadilan dan transparansi tetap dijaga.

-----

و- يُسْتَحَبُّ لِمَنْ لَهُ أَرْضٌ زَائِدَةٌ عَنْ حَاجَتِهِ أَنْ يَمْنَحَهَا أَخَاهُ الْمُسْلِمَ بِلَا أَجْرٍ؛ لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ".

Disunnahkan bagi seseorang yang memiliki tanah lebih dari kebutuhannya untuk memberikannya kepada saudaranya sesama Muslim tanpa meminta bayaran, berdasarkan sabda Rasulullah : "Barang siapa memiliki tanah, hendaklah ia mengolahnya sendiri atau memberikannya kepada saudaranya."

وَقَوْلِهِ: "أَنْ يَمْنَحَ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ عَلَيْهِ خَرَاجًا مَعْلُومًا".

Beliau juga bersabda: "Jika seseorang memberikan tanahnya kepada saudaranya tanpa meminta imbalan, itu lebih baik daripada mengambil upah tertentu darinya."

Hadis ini menunjukkan anjuran untuk saling tolong-menolong dalam memenuhi kebutuhan hidup, khususnya dalam sektor pertanian, agar tanah yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik dan tidak dibiarkan sia-sia. 

Selain itu, tindakan ini juga mencerminkan sikap dermawan dan kepedulian terhadap sesama, yang merupakan salah satu nilai luhur dalam Islam. Dengan memberikan tanah kepada orang yang membutuhkan tanpa meminta bayaran, seseorang akan memperoleh pahala sedekah serta keberkahan dalam harta dan kehidupannya.

Di sisi lain, jika seseorang tidak ingin atau tidak mampu menggarap tanahnya sendiri, maka pilihan terbaik adalah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkannya. 

Hal ini tidak hanya mendukung kesejahteraan sosial, tetapi juga mencegah terjadinya penguasaan lahan secara tidak produktif yang dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. 

Oleh karena itu, prinsip ini menjadi bagian dari ajaran Islam dalam mengatur kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya secara adil dan bermanfaat bagi umat.

----

ي- الْجُمْهُورُ عَلَى مَنْعِ تَأْجِيرِ الْأَرْضِ بِالطَّعَامِ؛ إِذْ فِيهِ مَعْنَى بَيْعِ الطَّعَامِ بِالطَّعَامِ نَسِيئَةً وَمُتَفَاضِلًا وَهُوَ مَمْنُوعٌ،

Mayoritas ulama melarang penyewaan tanah dengan pembayaran berupa hasil pertanian, karena hal itu menyerupai jual beli makanan dengan makanan secara tidak tunai dan dalam jumlah yang berbeda, yang dilarang dalam Islam.

وَأَمَّا مَا رُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ مِنْ جَوَازِهِ فَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى الْمُزَارَعَةِ لَا عَلَى تَأْجِيرِ الْأَرْضِ بِالطَّعَامِ.

Adapun riwayat dari Imam Ahmad yang membolehkannya, itu ditafsirkan sebagai kebolehan dalam akad al-muzāra‘ah, bukan dalam akad penyewaan tanah dengan hasil panen sebagai pembayaran.

Maraji: Minhajul Muslim


Pelajaran dari Bab ini


 

1. Pengertian dan Hukum Musāqah

  • Musāqah adalah akad kerja sama dalam pengelolaan pohon kurma atau pohon lainnya dengan memberikan bagian tertentu dari hasilnya kepada pekerja.
  • Hukum musāqah adalah boleh, didasarkan pada praktik Nabi Muhammad ﷺ dan para Khulafā’ Rāsyidīn yang mengelola kebun Khaibar dengan sistem ini.

2. Syarat dan Ketentuan Musāqah

  • Kejelasan Objek: Pohon atau kebun harus diketahui saat akad untuk menghindari ketidakjelasan (gharar).
  • Persentase Upah Jelas: Upah pekerja harus berupa bagian tertentu dari hasil kebun secara proporsional (misalnya, seperempat atau seperlima).
  • Tanggung Jawab Pekerja: Pekerja bertanggung jawab atas perawatan dan pengelolaan kebun sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.
  • Pajak atau Zakat: Pajak tanah ditanggung pemilik, sedangkan zakat dikenakan jika hasil panen mencapai nisab.
  • Kelayakan Akad:
    • Boleh dilakukan untuk menanam pohon baru dengan perjanjian hasil yang jelas.
    • Pekerja boleh menunjuk pengganti jika tidak mampu bekerja sendiri.
    • Jika pekerja kabur sebelum panen, pemilik kebun bisa membatalkan akad. Jika setelah panen, ia boleh menggaji orang lain dari bagian pekerja.
    • Jika pekerja meninggal, ahli warisnya boleh menunjuk pengganti.

3. Pengertian dan Hukum Muzāra‘ah

  • Muzāra‘ah adalah akad kerja sama dalam menggarap tanah pertanian dengan pembagian hasil tertentu.
  • Sebagian besar ulama membolehkannya berdasarkan praktik Nabi Muhammad ﷺ di Khaibar. Namun, ada ulama yang melarangnya berdasarkan hadis yang melarang ketidakjelasan dalam pembagian hasil.

4. Syarat dan Ketentuan Muzāra‘ah

  • Durasi harus jelas, misalnya satu tahun.
  • Pembagian hasil harus jelas, seperti setengah atau sepertiga, dan berlaku untuk semua hasil panen.
  • Benih harus dari pemilik tanah, jika dari pekerja, maka itu disebut mukhābarah yang lebih diperselisihkan hukumnya.
  • Tidak boleh ada syarat mengambil kembali benih sebelum pembagian hasil.
  • Lebih baik menyewakan tanah dengan uang tunai daripada dengan sistem bagi hasil, sesuai dengan hadis Rāfi‘ bin Khadīj.
  • Disarankan memberikan tanah kepada orang lain tanpa imbalan, sebagaimana dianjurkan oleh Nabi ﷺ.
  • Mayoritas ulama melarang menyewakan tanah dengan pembayaran hasil panen, karena menyerupai jual beli makanan dengan makanan secara riba.

Penutup Kajian


 Alhamdulillah, kita telah menyelesaikan kajian tentang musāqah dan muzāra‘ah, dua bentuk kerja sama dalam sektor agraria yang telah diatur dengan indah dalam Islam. Dari kajian ini, kita telah memahami beberapa poin penting, di antaranya:

Musāqah adalah sistem kerja sama di mana pemilik kebun menyerahkan pohon atau tanaman kepada pekerja untuk dirawat dan disirami, dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
Muzāra‘ah adalah kerja sama pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap, di mana hasil pertanian dibagi sesuai kesepakatan.
Islam membolehkan kedua sistem ini dengan syarat-syarat tertentu untuk menghindari gharar, ketidakadilan, atau eksploitasi.
Rasulullah ﷺ sendiri telah mempraktikkan sistem ini, seperti dalam perjanjian dengan penduduk Khaibar.
Penerapan akad ini secara benar dapat mengoptimalkan lahan yang tidak tergarap, mengurangi pengangguran di sektor pertanian, dan menciptakan kesejahteraan ekonomi yang lebih merata.

Dari pembahasan ini, ada beberapa saran dan nasihat yang dapat kita ambil:

🔹 Jika kita adalah pemilik lahan atau kebun, hendaknya kita memahami aturan syariah dalam menjalin kemitraan dengan petani atau pekerja, sehingga kerja sama yang dibangun tidak mengandung unsur riba, gharar, atau ketidakadilan.
🔹 Jika kita adalah penggarap atau pekerja, hendaknya kita memahami hak dan kewajiban kita agar tidak terjebak dalam akad yang merugikan.
🔹 Hendaknya kita semua menghidupkan kembali konsep kemitraan agraria syariah ini di masyarakat, sebagai solusi atas berbagai permasalahan dalam sektor pertanian dan perkebunan.
🔹 Yang terpenting, kita harus selalu mencari keberkahan dalam setiap usaha, karena rezeki yang halal dan berkah akan membawa ketenangan dalam hidup kita.

Semoga ilmu yang telah kita pelajari hari ini menjadi manfaat bagi kehidupan kita, bukan hanya sebagai teori, tetapi juga untuk kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita niatkan setiap aktivitas kita dalam mencari rezeki sebagai bagian dari ibadah kepada Allah ﷻ.

اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْمًا وَعَمَلًا يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.

"Ya Allah, ajarkanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat, manfaatkanlah ilmu yang telah kami pelajari, dan tambahkanlah ilmu serta amal kami, wahai Rabb semesta alam."

Akhir kata, semoga kita semua selalu diberikan hidayah, keberkahan, dan kemudahan dalam menerapkan ajaran Islam di setiap aspek kehidupan. جزاكم الله خيرا atas perhatian dan partisipasi dalam kajian ini. Sampai bertemu di majelis ilmu berikutnya. Mari kita tutup dengan membaca doa kafaratul majelis:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.

 

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers