Sirah Nabawiyah (8): Persekutuan al-Fudhul antara Kabilah-kabilah Quraisy
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Hadirin yang dirahmati Allah,
Pada hari ini kita hidup dalam masyarakat yang semakin kompleks — banyak orang bicara soal keadilan, hak asasi manusia, dan solidaritas sosial. Namun, di saat yang sama, kita juga menyaksikan kenyataan yang menyedihkan:
-
Orang lemah sering dipinggirkan,
-
Keadilan hanya terasa oleh mereka yang kuat,
-
Fanatisme kelompok, golongan, bahkan organisasi, sering kali mengalahkan nilai kebenaran.
Dalam dunia dakwah dan sosial pun, kita kadang terjebak dalam loyalitas kelompok yang sempit, mendahulukan "orang sendiri" walau salah, dan menutup mata terhadap kebenaran jika datang dari "orang luar".
📌 Apakah ini nilai Islam? Apakah ini semangat kenabian?
Di tengah situasi seperti ini, kita perlu menoleh ke belakang, menggali nilai-nilai luhur dari perjalanan hidup Rasulullah ﷺ. Salah satu kisah penting yang penuh pelajaran adalah kisah Ḥilf al-Fuḍūl — sebuah perjanjian sosial yang terjadi sebelum kerasulan, namun diakui dan dipuji oleh Nabi ﷺ sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan yang sejati.
📚 Kajian kita hari ini bukan sekadar membahas sejarah, tapi membedah nilai universal Islam:
-
tentang keadilan sosial,
-
tentang keberanian melawan kezaliman,
-
dan tentang bagaimana seorang Muslim sejati seharusnya bersikap di tengah masyarakat yang tidak adil.
Kenapa kajian ini penting?
Karena kita ingin membentuk pribadi Muslim yang membela kebenaran, bukan membela kelompok.
Karena kita ingin mewarisi semangat Nabi ﷺ yang menyatukan manusia atas dasar nilai, bukan asal-usul.
Maka mari kita buka hati dan pikiran kita, menelusuri jejak sejarah yang agung ini... agar kita tidak hanya menjadi pembaca sirah, tapi pelanjut nilai-nilai perjuangan Nabi ﷺ dalam kehidupan nyata.
Persekutuan al-Fudhul antara kabilah-kabilah Quraisy
حِلْفُ الْفُضُولِ
بَيْنَ قَبَائِلِ قُرَيْشٍ
الْعَامُ الْهِجْرِيُّ: ٣٣
ق هـ
الشَّهْرُ الْقَمَرِيُّ: ذُو الْقَعْدَةِ
الْعَامُ الْمِيلَادِيُّ: ٥٩١
Persekutuan al-Fudhul antara kabilah-kabilah Quraisy
Tahun Hijriyah: 33 Sebelum Hijrah
Bulan Qamariyah: Dzulqa'dah
Tahun Masehi: 591
تَفَاصِيلُ الْحَدَثِ:
وَقَعَ حِلْفُ الْفُضُولِ فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ، تَدَاعَتْ إِلَيْهِ
قَبَائِلُ مِنْ قُرَيْشٍ، بَنُو هَاشِمٍ، وَبَنُو الْمُطَّلِبِ، وَأَسَدُ بْنُ
عَبْدِ الْعُزَّى، وَزُهْرَةُ بْنُ كِلَابٍ، وَتَيْمُ بْنُ مُرَّةَ،
Rincian Kejadian:
Persekutuan al-Fudhul terjadi pada bulan Haram. Kabilah-kabilah dari Quraisy
menyerukan kesepakatan itu, yaitu: Bani Hasyim, Bani al-Muththalib, Asad bin
Abdul ‘Uzza, Zuhrah bin Kilab, dan Taym bin Murrah.
فَاجْتَمَعُوا فِي
دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ التَّيْمِيِّ؛ لِسِنِّهِ وَشَرَفِهِ،
Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an at-Taimi
karena usianya yang tua dan kedudukannya yang mulia.
فَتَعَاقَدُوا وَتَعَاهَدُوا عَلَى أَلَّا
يَجِدُوا بِمَكَّةَ مَظْلُومًا مِنْ أَهْلِهَا وَغَيْرِهِمْ مِنْ سَائِرِ النَّاسِ
إِلَّا قَامُوا مَعَهُ، وَكَانُوا عَلَى مَنْ ظَلَمَهُ حَتَّى تُرَدَّ عَلَيْهِ
مَظْلِمَتُهُ.
Mereka saling berjanji dan berikrar untuk tidak membiarkan ada orang
yang dizalimi di Makkah, baik dari penduduknya sendiri maupun orang lain, melainkan
mereka akan berdiri membelanya, dan mereka akan melawan orang yang menzaliminya
hingga hak orang yang dizalimi itu dikembalikan kepadanya.
وَشَهِدَ هَذَا
الْحِلْفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَنْهُ:
(لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا
أُحِبُّ أَنَّ لِي بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الْإِسْلَامِ
لَأَجَبْتُ).
Rasulullah ﷺ turut menyaksikan persekutuan ini dan
beliau bersabda:
“Sungguh aku pernah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud’an sebuah perjanjian
(persekutuan) yang aku tidak ingin menukarnya dengan unta merah (harta yang
paling berharga). Andaikan aku diajak kepadanya di masa Islam, niscaya aku akan
memenuhinya.”
وَهَذَا الْحِلْفُ
تُنَافِي رُوحَهُ الْحَمِيَّةُ الْجَاهِلِيَّةُ الَّتِي كَانَتِ الْعَصَبِيَّةُ
تُثِيرُهَا،
Persekutuan ini bertentangan dengan semangat fanatisme
jahiliyah yang biasanya dibangkitkan oleh semangat kesukuan.
وَيُقَالُ فِي سَبَبِ
هَذَا الْحِلْفِ: إِنَّ رَجُلًا مِنْ زُبَيْدٍ قَدِمَ مَكَّةَ بِبِضَاعَةٍ،
Disebutkan bahwa
sebab dari persekutuan ini adalah adanya seorang laki-laki dari kabilah Zubaid
yang datang ke Makkah membawa barang dagangan.
وَاشْتَرَاهَا مِنْهُ
الْعَاصُ بْنُ وَائِلٍ السَّهْمِيُّ، وَحَبَسَ عَنْهُ حَقَّهُ،
Ia menjual barangnya kepada al-‘Ash bin Wa’il as-Sahmi,
namun al-‘Ash menahan haknya (tidak membayar).
فَاسْتَعْدَى عَلَيْهِ
الْأَحْلَافَ: عَبْدَ الدَّارِ، وَمَخْزُومًا، وَجُمَحًا، وَسَهْمًا، وَعَدِيًّا،
فَلَمْ يَكْتَرِثُوا لَهُ،
Laki-laki itu kemudian meminta tolong kepada kelompok
persekutuan seperti Bani Abdid-Dar, Makhzum, Jumah, Sahm, dan ‘Adiyy, namun
mereka tidak peduli padanya.
فَعَلَا جَبَلَ أَبِي
قُبَيْسٍ، وَنَادَى بِأَشْعَارٍ يَصِفُ فِيهَا ظُلْمَهُ رَافِعًا صَوْتَهُ،
Maka ia naik ke Gunung Abi Qubais dan berseru dengan
syair-syair yang menggambarkan kezalimannya, sambil meninggikan suaranya.
فَمَشَى فِي ذَلِكَ
الزُّبَيْرُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَقَالَ: مَا لِهَذَا مَتْرَكٌ.
Lalu az-Zubair bin Abdul Muththalib bergerak menanggapinya
dan berkata: “Orang ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.”
حَتَّى اجْتَمَعُوا
فَعَقَدُوا الْحِلْفَ الَّذِي عُرِفَ بِـ حِلْفِ الْفُضُولِ، ثُمَّ قَامُوا إِلَى
الْعَاصِ بْنِ وَائِلٍ فَانْتَزَعُوا مِنْهُ حَقَّ الزُّبَيْدِيِّ.
Mereka pun berkumpul dan mengadakan persekutuan yang
kemudian dikenal dengan nama Persekutuan al-Fudhul, lalu mereka mendatangi
al-‘Ash bin Wa’il dan mengambil paksa hak laki-laki dari Zubaid itu darinya.
وَسَبَبُ تَسْمِيَتِهِ
بِهَذَا الِاسْمِ: أَنَّ ثَلَاثَةً مِنْ قَبِيلَةِ جُرْهُمَ هُمْ: الْفَضْلُ بْنُ
فَضَالَةَ، وَالْفَضْلُ بْنُ وَدَاعَةَ، وَالْفَضْلُ بْنُ الْحَارِثِ؛ قَدْ
عَقَدُوا قَدِيمًا نَظِيرًا لِهَذِهِ الْمُعَاهَدَةِ،
Adapun sebab
dinamakan “Persekutuan al-Fudhul” adalah karena tiga orang dari kabilah Jurhum,
yaitu: al-Fadhl bin Fadhalah, al-Fadhl bin Wada‘ah, dan al-Fadhl bin al-Harith,
dahulu pernah mengadakan perjanjian serupa dengan ini.
فَلَمَّا أَشْبَهَ فِعْلُ
الْقُرَشِيِّينَ فِعْلَ هَؤُلَاءِ الْجُرْهُمِيِّينَ الْأُوَلِ الْمُسَمَّوْنَ
جَمِيعًا بِالْفَضْلِ، سُمِّيَ الْحِلْفُ: حِلْفُ الْفُضُولِ.
Ketika perbuatan orang-orang Quraisy ini menyerupai
perbuatan orang-orang Jurhum terdahulu yang semuanya bernama “al-Fadhl”, maka
persekutuan itu dinamakan “Persekutuan al-Fudhul”.
Sumber: https://dorar.net/history/event/8
Pelajaran
dari Kajian Sirah Ini
1. Keadilan adalah Nilai Universal
-
Penjelasan:
Meskipun peristiwa ini terjadi sebelum Islam (pada masa jahiliyyah), inti dari persekutuan ini adalah menegakkan keadilan dan membela orang yang dizalimi, tanpa memandang asal-usul, suku, atau status sosial. -
Pelajaran:
Islam mengakui dan mendukung nilai-nilai mulia yang bersifat universal, bahkan jika ia muncul sebelum turunnya wahyu. Ini menunjukkan bahwa Islam datang menyempurnakan nilai-nilai tersebut, bukan memusnahkannya.
🤝 2. Solidaritas dan Kolaborasi untuk Kebaikan
-
Penjelasan:
Beberapa kabilah Quraisy yang berbeda-beda bersatu untuk satu tujuan mulia: menolong yang tertindas. Mereka mengesampingkan kepentingan suku demi kemaslahatan bersama. -
Pelajaran:
Umat Islam perlu membangun kerja sama lintas komunitas dan organisasi untuk tujuan kebaikan. Perbedaan tidak boleh menghalangi kita untuk bersatu dalam menegakkan hak dan keadilan.
💡 3. Rasulullah ﷺ Mendukung Kebaikan di Mana Pun Ia Berada
-
Penjelasan:
Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa beliau menyaksikan Ḥilf al-Fuḍūl dan tidak ingin menukarnya dengan harta yang paling berharga (ḥumr an-na‘am). Bahkan, beliau bersedia memenuhi ajakan serupa jika terjadi di masa Islam. -
Pelajaran:
Seorang Muslim tidak boleh fanatik buta. Jika suatu perbuatan atau sistem memiliki nilai kebaikan, maka ia patut didukung meskipun datang dari luar Islam, selama tidak bertentangan dengan syariat.
⚖️ 4. Penegakan Hak Bukan Sekadar Wacana
-
Penjelasan:
Persekutuan ini tidak hanya membuat perjanjian secara lisan, tetapi mereka bertindak langsung mengambil hak orang yang dizalimi (si pedagang Zubaid) dari al-‘Ash bin Wa’il. -
Pelajaran:
Dalam amar ma‘ruf nahi munkar, tidak cukup hanya dengan kata-kata atau niat baik; harus ada tindakan nyata untuk membela yang lemah dan menegakkan kebenaran.
🛑 5. Penolakan terhadap Fanatisme dan Asabiyah Jahiliyah
-
Penjelasan:
Ḥilf al-Fuḍūl muncul sebagai reaksi terhadap ketidakpedulian suku-suku besar Quraisy yang hanya membela anggotanya sendiri, menunjukkan sikap anti terhadap fanatisme kesukuan. -
Pelajaran:
Islam menentang fanatisme golongan. Yang menjadi dasar penilaian dalam Islam adalah keadilan, bukan asal-usul atau kelompok.
🔎 6. Pentingnya Kepemimpinan Moral
-
Penjelasan:
Abdullah bin Jud‘ān dijadikan tuan rumah karena dikenal berwibawa dan terhormat, meski belum masuk Islam. -
Pelajaran:
Kepemimpinan yang kuat dan bermoral sangat diperlukan dalam membangun gerakan sosial. Sosok dengan reputasi baik dapat menjadi penggerak bagi terciptanya perubahan.
📚 7. Nilai Historis yang Diakui Syariat
-
Penjelasan:
Meski terjadi sebelum Islam, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa nilai dari ḥilf tersebut tetap relevan dalam Islam. -
Pelajaran:
Sejarah dapat menjadi rujukan moral selama sesuai dengan nilai Islam. Kajian sirah tidak sekadar cerita, tapi sumber pelajaran dan inspirasi.
8. Pentingnya Dokumentasi dan Ikrar Bersama
-
Penjelasan:
Meskipun tidak tertulis secara rinci dalam matan, peristiwa ini menunjukkan bahwa perjanjian (ḥilf) dibuat secara serius dengan disaksikan oleh berbagai pihak. Ini merupakan bentuk awal dari "piagam sosial." -
Pelajaran:
Dalam perjuangan sosial atau kerja kolektif, perlu adanya kesepakatan formal dan dokumentasi yang jelas agar komitmen tidak sekadar emosional atau lisan, tetapi dapat dipertanggungjawabkan.
🧑🤝🧑 9. Pembelaan Hak Harus Melampaui Identitas Komunal
-
Penjelasan:
Orang yang ditolong dalam kasus ini bukanlah orang Quraisy, melainkan dari kabilah lain (Zubaid). Ini menunjukkan bahwa prinsip pembelaan terhadap kezaliman bersifat lintas identitas. -
Pelajaran:
Dalam konteks modern, umat Islam perlu belajar membela hak siapa pun yang dizalimi, tak peduli latar belakang agama, suku, atau kewarganegaraannya. Islam mendorong keberpihakan kepada keadilan tanpa diskriminasi.
📣 10. Kekuatan Suara Publik dalam Membangkitkan Kesadaran Sosial
-
Penjelasan:
Orang yang dizalimi memprotes dengan bersyair keras dari atas Gunung Abi Qubais, hingga membangkitkan reaksi sosial. -
Pelajaran:
Aksi protes yang damai, seperti penyampaian aspirasi, tulisan, atau media, bisa menjadi pemicu perubahan sosial asalkan dilakukan secara bermartabat dan konstruktif.
📍 11. Perlunya Pemantik Gerakan oleh Sosok yang Visioner
-
Penjelasan:
Tokoh seperti az-Zubair bin Abdul Muththalib memiliki kepekaan tinggi dan keberanian untuk bertindak ketika orang lain diam. -
Pelajaran:
Gerakan sosial dan pembelaan hak butuh pemimpin atau pemantik yang tidak hanya memiliki integritas, tapi juga visi jangka panjang terhadap perubahan sosial.
12. Tindakan Moral Bisa Menjadi Warisan Jangka Panjang
-
Penjelasan:
Peristiwa ini dikenang puluhan tahun kemudian oleh Rasulullah ﷺ sebagai sesuatu yang sangat berharga. -
Pelajaran:
Tindakan kebaikan, terutama dalam membela keadilan, akan menjadi warisan moral yang abadi dan dikenang dalam sejarah—lebih dari sekadar harta atau jabatan.
🌍 13. Model Awal Kontrak Sosial (Social Contract) di Jazirah Arab
-
Penjelasan:
Meskipun dalam sistem kesukuan, ḥilf ini merupakan bentuk kesepakatan lintas kelompok untuk menciptakan keteraturan sosial dan melindungi hak sipil. -
Pelajaran:
Dalam konteks negara modern, hal ini menunjukkan pentingnya aturan kolektif dan sistem hukum yang disepakati bersama untuk mencegah dan menangani kezaliman.
Penutup Kajian Sirah
Hadirin yang dirahmati Allah,
Telah kita pelajari bersama satu kisah agung dari fase pra-kenabian, yaitu peristiwa Ḥilf al-Fuḍūl — perjanjian yang dibentuk atas dasar kemanusiaan dan keadilan, bukan atas dasar suku, kelompok, atau kepentingan pribadi.
Dari kisah ini kita belajar bahwa:
-
Islam menjunjung tinggi nilai keadilan, bahkan sebelum risalah diturunkan.
-
Kebenaran harus dibela siapapun yang membawanya, dan kezaliman harus ditolak siapapun pelakunya.
-
Nabi ﷺ memuji perjanjian ini meskipun dibuat di masa jahiliyah, karena semangatnya sesuai dengan nilai-nilai Islam: keberpihakan kepada yang lemah, penolakan terhadap fanatisme sempit, dan keberanian melawan kedzaliman.
Kita juga menyadari bahwa:
-
Fanatisme golongan, baik dalam bentuk suku, ormas, partai, bahkan komunitas dakwah, bisa menjauhkan kita dari sikap adil dan objektif.
-
Sebagai Muslim, kita harus belajar untuk berpihak kepada yang benar, bukan kepada yang dekat.
🌱 Harapan dan Seruan
Maka marilah kita membawa faedah kajian ini keluar dari ruang majelis ini:
-
Ke dalam keluarga: berlaku adil kepada anak-anak kita, pasangan kita.
-
Di lingkungan kerja atau dakwah: tidak berat sebelah dalam menilai orang, tidak menutup mata karena loyalitas.
-
Dalam bermasyarakat: menjadi pelopor pembela orang-orang yang tertindas, menjadi suara bagi yang tidak mampu bersuara.
Karena Nabi ﷺ bersabda:
«انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا»
“Tolonglah saudaramu, baik ia dalam keadaan menzalimi atau dizalimi.”
Dan menolong saat ia menzalimi adalah dengan cara menghentikannya dari kezaliman.
🌤️ Mari kita warisi semangat Rasulullah ﷺ — menjadi pembela keadilan, penegak kebenaran, dan pelita bagi masyarakat di tengah kegelapan fanatisme dan ketidakadilan.
Kita tutup kajian ini dengan membaca doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ
وَاللَّهُ
الْمُوَفِّقُ إِلَى أَقْوَمِ الطَّرِيقِ،
وَالسَّلَامُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ