Hadits: Orang Bangkrut Dalam Pandangan Islam
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita kesempatan untuk hadir dalam majelis ilmu ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya yang istiqamah dalam menjalankan ajaran Islam hingga hari kiamat.
Hadirin yang dirahmati Allah,
Di tengah kehidupan yang semakin materialistis ini, kebanyakan manusia mengukur keberhasilan dengan banyaknya harta dan aset yang dimiliki. Seseorang dikatakan sukses ketika ia memiliki rumah mewah, kendaraan mahal, dan usaha yang berkembang pesat. Sebaliknya, kebangkrutan di dunia dianggap sebagai musibah besar—sesuatu yang menimbulkan kesedihan, keprihatinan, bahkan kehinaan. Banyak orang yang ketika jatuh bangkrut merasa kehilangan harga diri, putus asa, bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya.
Dalam dunia bisnis dan ekonomi, seseorang yang bangkrut adalah orang yang tidak mampu lagi membayar utangnya, kehilangan asetnya, dan dinyatakan pailit oleh hukum. Namun, bangkrut di dunia masih bisa diselesaikan dengan berbagai cara. Ada yang bisa bangkit kembali dengan berusaha lebih giat, mencari pinjaman baru, atau mengajukan restrukturisasi utang. Ada pula jalur hukum yang memungkinkan penyelesaian sengketa keuangan, baik melalui pengadilan maupun kesepakatan damai dengan kreditur.
Namun, bagaimana jika kebangkrutan itu terjadi di akhirat? Apakah ada jalan keluar? Apakah ada kesempatan kedua seperti di dunia?
Hadirin sekalian, inilah yang akan kita bahas dalam kajian kita hari ini. Rasulullah ﷺ dalam sebuah haditsnya memberikan peringatan yang sangat serius tentang bentuk kebangkrutan yang lebih mengerikan, yaitu kebangkrutan di akhirat. Banyak orang yang merasa sudah beramal shalih, rajin beribadah, namun di hari kiamat ternyata ia datang dengan membawa dosa-dosa besar yang berkaitan dengan hak-hak manusia.
Ia rajin shalat, puasa, dan zakat, tetapi lisannya pernah menyakiti orang lain, hartanya pernah ia gunakan untuk menzalimi sesama, tangannya pernah menumpahkan darah tanpa hak, atau ia pernah merampas hak orang lain. Di hadapan Allah, orang-orang yang pernah ia zalimi akan menuntut keadilan. Maka saat itu, hartanya tak bisa menyelamatkannya, kedudukannya di dunia tak lagi berguna. Satu-satunya yang bisa menjadi alat pembayaran hanyalah amal shalihnya.
Sungguh tragis, amal shalih yang susah payah dikumpulkan justru berpindah kepada orang-orang yang ia zalimi. Jika amalnya habis, dosa-dosa orang yang menuntutnya akan ditimpakan kepadanya. Hingga akhirnya ia dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan benar-benar bangkrut, tanpa sedikit pun kebaikan tersisa.
Hadirin yang dimuliakan Allah,
Jika di dunia kebangkrutan bisa diselesaikan dengan sistem hukum dan perundingan, maka di akhirat satu-satunya penyelesaian adalah keadilan mutlak dari Allah. Tidak ada negosiasi, tidak ada diskon utang, tidak ada pengacara yang bisa membelanya. Yang ada hanyalah perhitungan yang sangat teliti, di mana setiap hak akan dikembalikan kepada pemiliknya.
Oleh karena itu, hadits ini sangat penting untuk kita pelajari, agar kita tidak hanya fokus pada ibadah ritual, tetapi juga menjaga hak-hak sesama manusia. Semoga kajian ini menjadi jalan bagi kita untuk lebih berhati-hati dalam beramal dan menjauhi segala bentuk kedzaliman.
Mari kita simak hadits ini lebih dalam dan mengambil pelajaran berharga darinya. Wa billahi taufiq.
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَتَدْرُونَ مَا
الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ
وَلَا مَتَاعَ، فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ
أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي
قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا،
وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ،
فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ
خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ.
Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?
Para sahabat menjawab,
Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak memiliki dirham
(harta) dan tidak memiliki barang.
Maka Rasulullah ﷺ
bersabda:
Sesungguhnya
orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat
dengan (amal) salat, puasa, dan zakat,
tetapi dia juga datang dengan membawa dosa karena telah
mencela orang ini, menuduh (tanpa bukti) orang itu, memakan harta orang ini,
menumpahkan darah orang itu, dan memukul orang ini.
Maka akan
diberikan kepada orang-orang itu (ganti rugi) dari pahala kebaikannya,
dan (jika pahala
kebaikannya habis) sebelum seluruh kewajibannya terpenuhi, maka diambil dari
dosa-dosa mereka lalu dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke dalam
neraka.
HR Muslim (2581)
Arti
Per Kalimat
أَتَدْرُونَ مَا
الْمُفْلِسُ؟
Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?
Nabi Muhammad ﷺ membuka
pembicaraan dengan pertanyaan untuk menarik perhatian para sahabat dan membuat
mereka berpikir sebelum memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang
kebangkrutan dalam perspektif Islam.
قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا
دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ
Para sahabat menjawab: 'Orang yang bangkrut menurut kami
adalah orang yang tidak memiliki dirham (harta) dan tidak memiliki barang.'
Para sahabat memahami kebangkrutan secara materi, yaitu
seseorang yang kehilangan seluruh hartanya dan tidak memiliki aset apa pun. Ini
adalah pemahaman umum tentang kebangkrutan dalam kehidupan duniawi.
فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya orang yang
bangkrut dari umatku...'
Rasulullah ﷺ kemudian
menjelaskan bahwa kebangkrutan sejati tidak hanya terkait dengan harta duniawi,
tetapi juga berkaitan dengan amal di akhirat.
يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ،
وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ
...akan datang pada hari kiamat dengan (amal) salat, puasa,
dan zakat...
Orang ini tampaknya seorang muslim yang menjalankan
ibadah wajib dengan baik. Ia membawa bekal amal yang seharusnya bisa
menyelamatkannya.
وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا،
وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا
... tetapi dia juga datang dengan membawa dosa karena telah
mencela orang ini, menuduh (tanpa bukti) orang itu, memakan harta orang ini,
menumpahkan darah orang itu, dan memukul orang ini.
شَتَمَ (mencela)
→ Menghina atau berkata kasar kepada orang lain.
قَذَفَ (menuduh tanpa
bukti) → Menuduh orang lain melakukan perbuatan tercela tanpa dasar.
أَكَلَ مَالَ (memakan harta
orang lain) → Mengambil atau menggunakan harta orang lain secara zalim,
misalnya melalui pencurian, korupsi, atau penipuan.
سَفَكَ دَمَ (menumpahkan
darah) → Membunuh atau melukai orang lain secara zalim.
ضَرَبَ (memukul) →
Melakukan kekerasan fisik terhadap orang lain.
Hadis ini mengajarkan bahwa ibadah ritual saja tidak
cukup jika seseorang masih berbuat zalim kepada orang lain.
فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا
مِنْ حَسَنَاتِهِ
Maka akan diberikan kepada orang-orang itu (ganti rugi)
dari pahala kebaikannya.
Di akhirat, tidak ada pembayaran dengan harta, tetapi
dengan pahala. Orang yang dizalimi akan mendapatkan pahala dari pelaku
kezaliman sebagai bentuk keadilan Allah.
فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ
يُقْضَى مَا عَلَيْهِ
Jika pahala kebaikannya habis sebelum seluruh kewajibannya
terpenuhi...
Jika pahala orang yang zalim sudah habis, tetapi masih
ada banyak orang yang ia zalimi, maka pembayaran tidak bisa lagi dilakukan
dengan pahala.
أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
... maka diambil dari dosa-dosa mereka lalu dibebankan
kepadanya.
Setelah pahalanya habis, dosa orang yang dizalimi akan
dialihkan kepada pelaku kezaliman. Ini adalah bentuk keadilan Allah di hari
kiamat.
ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
Kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka.
Orang yang awalnya tampak sebagai muslim yang beramal
saleh akhirnya masuk neraka karena kezaliman yang telah ia lakukan terhadap
orang lain.
Syarah
Hadits
مِن
شَنائِعِ الأُمورِ الَّتي يَغْفُلُ عَنْها كَثيرٌ مِنَ النَّاسِ
Dari perkara-perkara yang tercela yang
dilalaikan oleh banyak orang
أَنَّهُمْ
رُبَّما يُحْسِنُونَ العِباداتِ، إِلَّا أَنَّهُمْ يَقْتَرِفُونَ مَعَها
الذُّنُوبَ
Bahwa mereka mungkin melakukan ibadah
dengan baik, tetapi mereka juga melakukan dosa bersamanya
وَالَّتي
مِنْها ما يَتَعَلَّقُ بِحُقُوقِ العِبادِ
Dan di antara dosa itu ada yang berkaitan
dengan hak-hak manusia
وَسَوْفَ
يُحاسَبُ كُلُّ إِنْسانٍ يَوْمَ القِيامَةِ عَلى ما عَمِلَ مِنْ خَيْرٍ أَوْ شَرٍّ
Dan setiap manusia akan dihisab pada hari
kiamat atas apa yang telah dia kerjakan, baik atau buruk
وَفِي
هَذَا الحَدِيثِ سَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
Dalam hadits
ini, Nabi ﷺ
bertanya kepada para
sahabatnya radhiyallahu ‘anhum
«أَتَدْرُونَ»،
أَيْ: أَتَعْلَمُونَ «مَا المُفْلِسُ» وَمَا حَقِيقَتُهُ؟
‘Apakah kalian tahu?’ yaitu: ‘Apakah kalian
mengetahui siapa orang yang bangkrut dan hakikatnya?’
وَهَذَا
الاسْتِفْهامُ لِلتَّقْرِيرِ وَإِخْراجِ الجَوابِ مِنَ المُخاطَبِ
Pertanyaan ini bertujuan untuk menegaskan
dan mengeluarkan jawaban dari yang ditanya
لِيَبْنِيَ
عَلَيْهِ الحُكْمَ المُرادَ
Agar dapat membangun hukum yang dimaksud
وَلَمَّا
كَانَ المَقْصُودُ السُّؤَالَ عَنِ الوَصْفِ وَلَيْسَ عَنِ الذَّاتِ عَبَّرَ
بِـ«مَا» بَدَلَ «مَنْ»
Karena yang
dimaksud dalam pertanyaan ini adalah sifat, bukan zat (individu), maka
digunakan kata ‘ما’ (apa) bukan ‘من’ (siapa)
فَأَجَابُوا:
المُفْلِسُ فِيمَا بَيْنَنَا وَفِيمَا نَعْرِفُهُ هُوَ مَنْ لَا يَمْلِكُ مالًا،
وَلَا مَتَاعًا
Mereka menjawab:
‘Orang yang bangkrut di antara kami dan sebagaimana yang kami ketahui adalah
orang yang tidak memiliki harta dan tidak memiliki barang
أَيْ:
مِمَّا يَحْصُلُ بِهِ النَّقْدُ وَمَا يُتَمَتَّعُ بِهِ مِنْ حَوَائِجِ
وَأَغْرَاضِ الدُّنْيَا
Yaitu sesuatu yang dapat diperoleh dengan
uang dan barang-barang yang bisa dimanfaatkan dari kebutuhan dan keperluan
dunia
مِثْلُ:
الأَقْمِشَةِ وَالجَوَاهِرِ وَالمَوَاشِي وَالعَبِيدِ، وَأَمْثَالِ ذَلِكَ
Seperti kain, perhiasan, hewan ternak,
budak, dan sejenisnya
وَالحَاصِلُ:
أَنَّهُمْ أَجَابُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ العِلْمِ بِحَسَبِ عُرْفِ أَهْلِ
الدُّنْيَا
Kesimpulannya, mereka menjawab berdasarkan
ilmu yang mereka miliki sesuai dengan kebiasaan masyarakat dunia
كَمَا
يَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُهُمْ: «فِينَا»
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh
perkataan mereka: ‘di antara kami’
فَقَالَ
لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ المُفْلِسَ مِنْ
أُمَّتِي»
Maka Nabi ﷺ bersabda kepada mereka: ‘Sesungguhnya orang yang
bangkrut dari umatku’
أَيْ:
المُفْلِسُ الحَقِيقِيُّ، أَوِ المُفْلِسُ فِي الآخِرَةِ
Yaitu orang yang
benar-benar bangkrut, atau orang yang bangkrut di akhirat
هُوَ
«مَنْ يَأْتِي يَوْمَ القِيامَةِ بِصِيَامٍ وَصَلَاةٍ وَزَكَاةٍ» مَقْبُولَاتٍ
قَدْ أَدَّاهَا كَمَا أَمَرَهُ اللهُ
Ialah orang yang datang pada hari kiamat
dengan puasa, shalat, dan zakat yang diterima karena telah dikerjakannya
sebagaimana yang diperintahkan Allah
وَلَكِنَّهُ
يَأْتِي وَقَدْ شَتَمَ هَذَا، أَيْ: وَقَعَ مِنْهُ شَتْمٌ وَسَبٌّ لِأَحَدٍ
Namun dia juga datang dalam keadaan telah
mencela orang ini, yaitu telah melakukan celaan dan penghinaan terhadap
seseorang
وَقَذَفَ
هَذَا، وَهُوَ الاتِّهَامُ بِالزِّنَا وَنَحْوِهِ
Dan menuduh yang lain, yaitu menuduh
seseorang berzina dan yang semisalnya
«وَأَكَلَ
مالَ هَذَا» بِالبَاطِلِ
Dan memakan harta orang lain secara batil
«وَسَفَكَ
دَمَ هَذَا» فَأَرَاقَ دَمَهُ بِغَيْرِ حَقٍّ
Dan menumpahkan darah orang lain, yaitu
membunuhnya tanpa hak
«وَضَرَبَ
هَذَا» مِنْ غَيْرِ استِحْقَاقٍ
Dan memukul orang ini tanpa hak
فَيُعْطَى
هَذَا المَظْلُومُ بَعْضَ حَسَنَاتِ الظَّالِمِ
Maka orang yang dizalimi akan diberikan
sebagian kebaikan orang yang menzaliminya
فَإِنْ
فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُؤَدِّيَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الحُقُوقِ
Jika habis kebaikannya sebelum
menyelesaikan hak-hak yang menjadi tanggungannya
أَخَذَ
الظَّالِمُ مِنْ سَيِّئَاتِ أَصْحَابِ الحُقُوقِ
Maka dosa-dosa orang yang dizalimi akan
dibebankan kepada pelaku kezaliman
ثُمَّ
أُلْقِيَ وَرُمِيَ فِي النَّارِ
Kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka
وَفِي
الحَدِيثِ: بَيَانُ مَعْنَى المُفْلِسِ الحَقِيقِيِّ
Hadits ini menjelaskan makna orang yang
benar-benar bangkrut
وَهُوَ
مَنْ أَخَذَ غُرَمَاؤُهُ أَعْمَالَهُ الصَّالِحَةَ
Yaitu orang yang
diambil pahala amal salehnya oleh para penagihnya (orang yang dia zalimi)
وَفِيهِ:
أَنَّ القِصَاصَ فِي الآخِرَةِ قَدْ يَأْتِي عَلَى جَمِيعِ الحَسَنَاتِ
Dan dalam hadits
ini juga terdapat penjelasan bahwa qisas di akhirat bisa menghabiskan seluruh
amal kebaikan
حَتَّى
لَا يُبْقِيَ مِنْهَا شَيْئًا
Sampai tidak tersisa sedikit pun dari amal
kebaikannya
Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/78751
Pelajaran dari Hadits ini
Hadits ini memberikan pelajaran penting bahwa kebangkrutan sejati bukan hanya kehilangan harta, tetapi kehilangan pahala amal kebaikan akibat kedzaliman kepada orang lain. Islam mengajarkan keseimbangan antara ibadah dan akhlak sosial, serta menekankan pentingnya menjaga hak-hak sesama manusia. Oleh karena itu, seorang Muslim harus berhati-hati dalam bertutur kata, bertindak, dan menjalankan kehidupannya agar tidak termasuk dalam golongan "muflis" di akhirat.
Berikut adalah pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini secara rinci:
1. Konsep Muflis (Orang yang Bangkrut) dalam Islam
-
Bangkrut di dunia vs. bangkrut di akhirat:
-
Dalam pandangan umum, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki harta atau aset duniawi.
-
Namun, dalam perspektif Islam, orang yang benar-benar bangkrut adalah mereka yang memiliki amal ibadah tetapi juga memiliki banyak dosa yang terkait dengan hak-hak manusia.
-
-
Kebangkrutan akhirat lebih berbahaya:
-
Orang yang terlihat taat beribadah bisa tetap mengalami kebangkrutan di akhirat jika ia melanggar hak orang lain.
-
Artinya, amal ibadah yang dilakukan tidak cukup jika diiringi dengan kedzaliman terhadap sesama manusia.
-
2. Urgensi Hak-Hak Sesama Manusia (Ḥuqūq al-‘Ibād)
-
Pentingnya menjaga hubungan sosial:
-
Islam tidak hanya menekankan hubungan dengan Allah (ḥuqūq Allāh) tetapi juga hubungan dengan manusia.
-
Seseorang bisa kehilangan pahala amalnya jika ia mendzalimi orang lain, seperti mencaci, memfitnah, mengambil hak orang lain, atau menyakiti orang lain secara fisik dan mental.
-
-
Tidak ada ampunan kecuali melalui penyelesaian langsung:
-
Hak-hak Allah (seperti meninggalkan shalat atau puasa) masih bisa diampuni dengan taubat, tetapi hak manusia harus diselesaikan langsung dengan orang yang dizalimi.
-
Jika tidak diselesaikan di dunia, maka akan dipertanggungjawabkan di akhirat dengan sistem pembayaran berupa pemindahan pahala dan dosa.
-
3. Mekanisme Penyelesaian Hak di Akhirat
-
Pemindahan pahala kepada korban:
-
Orang yang mendzalimi akan kehilangan pahalanya untuk diberikan kepada orang yang ia dzalimi.
-
-
Jika pahala habis, dosa korban akan dipindahkan:
-
Jika pahala si pendzalimi habis sebelum semua hak korban terpenuhi, maka dosa orang yang dizalimi akan diberikan kepadanya.
-
-
Ancaman masuk neraka bagi pelaku kedzaliman:
-
Setelah kehilangan semua amal baiknya dan terbebani dengan dosa orang lain, ia akan dilempar ke dalam neraka.
-
Ini menunjukkan bahwa hukum Allah sangat adil, dan tidak ada hak manusia yang akan terabaikan.
-
4. Kesempurnaan Islam: Ibadah dan Akhlak Harus Seimbang
-
Ibadah saja tidak cukup jika tidak disertai dengan akhlak yang baik:
-
Islam mengajarkan keseimbangan antara hubungan dengan Allah (ibadah) dan hubungan dengan manusia (akhlak).
-
Seseorang bisa rajin beribadah tetapi tetap tergolong muflis jika ia buruk dalam memperlakukan orang lain.
-
-
Keutamaan menjaga lisan dan tindakan:
-
Hadits ini menyoroti beberapa dosa sosial yang umum terjadi, seperti:
-
Mencaci dan mencela orang lain (syatm wa sabb)
-
Memfitnah dan menuduh zina (qadzf)
-
Memakan harta orang lain secara tidak sah (akl māl al-bāṭil)
-
Menumpahkan darah tanpa hak (safk ad-dam)
-
Melakukan kekerasan atau penganiayaan (ḍarb)
-
-
Dosa-dosa ini bukan hanya dosa individu tetapi memiliki dampak sosial yang besar.
-
5. Tidak Ada Syafaat atau Pengampunan Langsung untuk Hak Sesama
-
Kesalahan terhadap Allah bisa diampuni dengan taubat:
-
Misalnya, seseorang yang meninggalkan shalat bisa bertaubat dengan bersungguh-sungguh dan Allah akan mengampuninya.
-
-
Kesalahan terhadap sesama harus diselesaikan dengan manusia tersebut:
-
Jika seseorang mengambil harta orang lain, ia harus mengembalikan atau meminta maaf sebelum meninggal.
-
Jika tidak, maka ia harus menanggung akibatnya di akhirat melalui sistem pemindahan pahala dan dosa.
-
-
Syafaat di hari kiamat tidak berlaku untuk hak-hak manusia:
-
Orang yang memiliki dosa kepada manusia tidak bisa mengandalkan syafaat Nabi atau pertolongan lainnya kecuali jika korban memaafkan atau Allah memberikan keadilan yang setimpal.
-
6. Perlunya Muhasabah (Evaluasi Diri) Sebelum Terlambat
-
Setiap manusia harus introspeksi terhadap hubungannya dengan Allah dan sesama manusia:
-
Jangan hanya fokus pada amal ibadah pribadi tetapi juga perhatikan bagaimana kita memperlakukan orang lain.
-
-
Segera menyelesaikan hak-hak orang lain sebelum wafat:
-
Jika pernah mendzalimi seseorang, sebaiknya segera meminta maaf dan menyelesaikan masalahnya sebelum ajal menjemput.
-
Penutup Kajian
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita kesempatan untuk mendalami hadits Rasulullah ﷺ yang sangat berharga ini. Hadits ini bukan sekadar peringatan, tetapi juga pelajaran hidup yang harus kita amalkan dalam keseharian.
Dari hadits ini, kita memahami bahwa kebangkrutan sejati bukanlah kehilangan harta di dunia, melainkan kehilangan seluruh amal kebaikan di akhirat karena kedzaliman terhadap sesama. Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita bahwa ibadah kepada Allah tidak cukup hanya dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi harus disertai dengan akhlak yang baik dan menjaga hak-hak orang lain.
Hadirin yang dirahmati Allah,
Betapa banyak orang yang rajin beribadah tetapi lalai dalam bermuamalah. Ia shalat lima waktu, tetapi lisannya kerap menyakiti orang lain. Ia berpuasa, tetapi tangannya ringan mengambil hak saudaranya. Ia berzakat, tetapi hartanya juga ia gunakan untuk menzalimi orang lain. Maka di akhirat, semua amalnya akan berpindah kepada orang-orang yang ia dzalimi, hingga ia jatuh dalam kebangkrutan sejati.
Karena itu, marilah kita berhati-hati dalam setiap interaksi dan muamalah kita. Jangan sampai kita mengambil hak orang lain, berbuat curang dalam jual beli, merampas harta yang bukan milik kita, menipu dalam transaksi, atau meremehkan kewajiban kita terhadap orang lain. Jangan sampai ada hak yang belum kita tunaikan atau kedzaliman yang belum kita selesaikan di dunia, karena jika tidak, keadilan pasti akan ditegakkan di pengadilan akhirat.
Di dunia, mungkin seseorang bisa menghindari hukum, bisa berkelit dari tanggung jawab, atau bisa menutupi kedzalimannya dengan harta dan jabatan. Tetapi di akhirat, tidak ada pengacara yang bisa membela, tidak ada suap yang bisa menyelamatkan, dan tidak ada kesempatan untuk bernegosiasi. Setiap amal akan dihitung dengan sangat teliti, dan setiap hak akan dikembalikan kepada pemiliknya.
Hadirin sekalian,
Semoga hadits ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih berhati-hati dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai kita menjadi orang yang tampak shalih di hadapan manusia, tetapi bangkrut di hadapan Allah. Mari kita saling menjaga hak-hak sesama, memperbaiki hubungan dengan orang-orang di sekitar kita, dan memastikan bahwa tidak ada kezaliman yang kita bawa hingga hari kiamat.
Jika kita pernah menzalimi seseorang, maka segeralah meminta maaf dan menyelesaikan urusannya di dunia sebelum semua itu diadili di akhirat. Jika kita memiliki hak orang lain, maka kembalikanlah sebelum hari perhitungan tiba. Dan jika kita pernah menyakiti dengan lisan atau perbuatan, maka segeralah memohon keridhaan mereka sebelum semuanya terlambat.
Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang tidak hanya rajin beribadah tetapi juga menjaga hak-hak sesama. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang selamat dari kebangkrutan akhirat dan mendapatkan rahmat serta ampunan-Nya.
Kita tutup kajian ini dengan membaca doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ