Kajian: Mudharabah – Bagi Hasil dalam Usaha Bisnis (Kitab Minhajul Muslim)
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
السَّلَامُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ
لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللّٰهُ
فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَعَلٰى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ
أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ.
Hadirin yang dirahmati oleh Allah,
Di tengah dinamika ekonomi saat ini, banyak orang yang memiliki modal tetapi tidak tahu bagaimana mengelolanya, dan di sisi lain, ada pula yang memiliki keahlian berdagang tetapi tidak memiliki modal untuk memulai usaha. Kondisi ini sering kali memunculkan dua fenomena di masyarakat:
- Munculnya praktik riba dalam pinjaman modal usaha, di mana pemilik modal memberikan pinjaman dengan syarat bunga tetap, sehingga memberatkan pengusaha kecil dan menengah.
- Banyaknya usaha kerja sama yang tidak jelas akadnya, yang sering kali berakhir dengan perselisihan dan kerugian di salah satu pihak karena kurangnya pemahaman tentang bagaimana membagi keuntungan dan menanggung kerugian dengan adil.
Lalu, bagaimana Islam memberikan solusi untuk masalah ini?
Salah satu jawabannya adalah melalui akad muḍārabah, yaitu sistem kerja sama antara pemilik modal dan pekerja dengan prinsip bagi hasil yang adil dan sesuai syariat. Muḍārabah telah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah ﷺ dan diakui sebagai bentuk kemitraan bisnis yang halal, penuh keberkahan, serta menghindarkan umat Islam dari jebakan riba dan ketidakadilan dalam bermuamalah.
Pada kajian ini, kita akan membahas secara mendalam beberapa hal penting terkait muḍārabah, antara lain:
✔ Definisi dan dasar hukum muḍārabah dalam Islam.
✔ Syarat dan ketentuan akad muḍārabah agar sah menurut syariat.
✔ Bagaimana cara pembagian keuntungan dan penanggungan kerugian dalam muḍārabah.
✔ Bagaimana menyelesaikan perselisihan jika terjadi perbedaan pendapat dalam kerja sama ini.
✔ Prinsip-prinsip Islam dalam membangun kerja sama bisnis yang amanah dan berkeadilan.
Setelah mengikuti kajian ini, insyaAllah, kita semua akan mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang bagaimana menjalankan kerja sama bisnis yang halal dan berkah, serta menghindari jebakan transaksi yang merugikan dan tidak sesuai syariat.
Maka dari itu, marilah kita simak dengan baik kajian ini, agar kita bisa menjadi bagian dari umat yang menjalankan muamalah dengan cara yang benar, memperoleh keberkahan dalam bisnis, dan menjaga diri dari perkara yang diharamkan oleh Allah.
Materi Kajian
المُضَارَبَةُ
Al-Muḍārabah (Bagi Hasil dalam Bisnis)
تَعْرِيفُهَا :المُضَارَبَةُ أَوِ
القِرَاضُ هِيَ أَنْ يُعْطِيَ أَحَدٌ لِآخَرَ مَالًا مَعْلُومًا يَتَّجِرُ فِيهِ،
وَأَنْ يَكُونَ الرِّبْحُ بَيْنَهُمَا عَلَى مَا اشْتَرَطَاهُ.
Definisinya: Al-muḍārabah atau al-qirāḍ adalah suatu akad di
mana seseorang memberikan sejumlah harta tertentu kepada orang lain untuk
diperdagangkan, dengan kesepakatan bahwa keuntungan dibagi sesuai perjanjian
mereka.
وَالْخَسَارَةُ إِنْ كَانَتْ فَمِنْ رَأْسِ الْمَالِ فَقَطْ؛ إِذِ
الْعَامِلُ يَكْفِيهِ خَسَارَةُ جُهْدِهِ، فَلِمَ يُكَلَّفُ خَسَارَةً أُخْرَى؟
Sedangkan kerugian, jika terjadi, hanya
ditanggung dari modal, karena pekerja (mudhārib) sudah cukup menanggung
kerugian berupa tenaganya. Maka, mengapa ia harus dibebani kerugian
lainnya?
٢ - مَشْرُوعِيَّتُهَا: المُضَارَبَةُ مَشْرُوعَةٌ
بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ، وَالْأَئِمَّةِ عَلَى جَوَازِهَا وَقَدْ كَانَتْ
مَعْمُولًا بِهَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - فَأَقَرَّهَا.
Pensyariatan: Al-muḍārabah diperbolehkan berdasarkan ijma’
(kesepakatan) para sahabat dan para imam mengenai kebolehannya. Akad ini juga
telah diterapkan pada masa Rasulullah ﷺ, dan beliau mengakuinya.
أَحْكَامُهَا:
Ketentuan-ketentuannya
١ - أَنْ تَكُونَ بَيْنَ
مُسْلِمَيْنِ جَائِزِي التَّصَرُّفِ، وَلَا بَأْسَ أَنْ تَكُونَ بَيْنَ مُسْلِمٍ
وَكَافِرٍ إِذَا كَانَ رَأْسُ الْمَالِ مِنَ الْكَافِرِ، وَالْعَمَلُ مِنَ
الْمُسْلِمِ؛ إِذِ الْمُسْلِمُ لَا يُخْشَى مَعَهُ الرِّبَا، وَلَا الْمَالُ
الْحَرَامُ.
Akad
ini harus dilakukan antara dua orang Muslim yang berhak melakukan transaksi.
Tidak mengapa jika terjadi antara Muslim dan non-Muslim, asalkan modal berasal
dari non-Muslim dan pekerjaannya dilakukan oleh Muslim. Sebab, seorang Muslim
tidak khawatir akan riba atau harta haram.
Ketentuan harus dilakukan antara dua pihak yang memiliki kelayakan bertindak secara hukum (جَائِزِي التَّصَرُّفِ) dan dapat dilakukan antara Muslim dan non-Muslim dengan syarat tertentu, memiliki beberapa implikasi dalam kondisi ekonomi saat ini.
1. Syarat Kelayakan Bertindak secara Hukum (جَائِزِي التَّصَرُّفِ)
Dalam konteks modern, syarat ini merujuk pada dua hal utama:
- Dewasa dan Berakal → Pihak yang terlibat dalam muḍārabah harus memiliki kecakapan hukum untuk melakukan transaksi, yang dalam regulasi bisnis saat ini diatur oleh batas usia dewasa (misalnya 18 tahun ke atas di banyak negara).
- Memiliki Hak Penuh dalam Mengelola Keuangan → Seseorang yang berada dalam status hukum tertentu (seperti di bawah perwalian karena gangguan mental atau kebangkrutan) tidak dapat menjadi pihak dalam akad ini.
Di dunia bisnis saat ini, syarat ini bisa diterapkan dengan lebih luas, seperti dalam investasi berbasis syariah yang melibatkan perusahaan dan individu yang telah mendapatkan izin resmi dari otoritas keuangan terkait.
2. Muḍārabah antara Muslim dan Non-Muslim
Dalam ketentuan klasik disebutkan bahwa muḍārabah boleh dilakukan antara Muslim dan non-Muslim dengan syarat:
- Modal berasal dari non-Muslim
- Pekerjaan dikelola oleh Muslim
- Bisnis yang dijalankan bebas dari unsur riba dan keharaman
Dalam realitas ekonomi saat ini, ketentuan ini memiliki beberapa relevansi:
- Investasi Asing dalam Bisnis Halal
- Banyak perusahaan Muslim yang mendapatkan investasi dari investor non-Muslim. Jika investasi tersebut berbasis syariah, maka ini sejalan dengan ketentuan muḍārabah.
- Contoh: Startup halal food yang mendapatkan pendanaan dari perusahaan non-Muslim, tetapi bisnisnya tetap sesuai dengan prinsip syariah.
- Peran Muslim dalam Menjaga Kehalalan Bisnis
- Dalam kondisi di mana modal berasal dari non-Muslim, Muslim yang mengelola usaha harus memastikan tidak ada unsur riba, gharar, atau transaksi haram lainnya.
- Misalnya, dalam joint venture antara Muslim dan non-Muslim, kontrak harus disusun dengan sistem bagi hasil yang adil dan menghindari praktik yang bertentangan dengan syariah.
- Prinsip Syariah dalam Keuangan Global
- Saat ini, banyak bank dan institusi keuangan konvensional yang tertarik dengan sistem keuangan Islam. Dengan keterlibatan Muslim dalam pengelolaan investasi, sistem syariah dapat diterapkan dalam transaksi bisnis global tanpa harus terjerumus dalam transaksi riba atau gharar.
- Dalam praktik bisnis modern, muḍārabah tetap bisa diterapkan dengan memperhatikan legalitas, kepatuhan terhadap syariah, dan kehati-hatian dalam berpartner dengan pihak non-Muslim.
- Prinsip dasar bahwa Muslim tidak akan terjerumus dalam riba dan harta haram tetap harus dijaga, terutama dalam investasi lintas agama dan antar negara.
- Perlunya regulasi syariah yang jelas dalam kontrak muḍārabah agar praktik ini tetap sesuai dengan hukum Islam dan dapat bersaing di pasar global tanpa kehilangan nilai-nilai syariah.
٢ - أَنْ يَكُونَ رَأْسُ
الْمَالِ مَعْلُومًا.
Modal
harus diketahui jumlahnya dengan jelas.
Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari perselisihan dan ketidakpastian (gharar) yang dapat merugikan salah satu pihak dalam akad. Kejelasan modal meliputi:
Jenis Modal yang Jelas
- Modal dalam muḍārabah bisa berupa uang tunai atau aset lain yang bisa dikonversikan ke dalam nilai uang yang pasti.
- Dalam ekonomi modern, modal tidak hanya berbentuk uang, tetapi juga dapat berupa aset berwujud (seperti properti, bahan baku) atau tidak berwujud (seperti hak paten, lisensi).
- Contoh: Seorang investor menginvestasikan dana Rp500 juta ke dalam sebuah startup halal marketplace dengan akad muḍārabah. Modal ini dicatat dengan jelas dalam kontrak dan tidak boleh berupa "perkiraan" atau "perkiraan keuntungan di masa depan."
Sumber Modal yang Transparan
- Modal harus berasal dari sumber yang jelas dan halal. Dalam konteks modern, regulasi anti pencucian uang (AML - Anti Money Laundering) juga sejalan dengan prinsip ini.
- Contoh: Sebuah bank syariah menyalurkan dana investasi kepada pengusaha dengan akad muḍārabah. Bank memastikan bahwa modal berasal dari sumber yang halal dan tidak dari transaksi yang haram seperti perjudian atau riba.
Penentuan Nilai Modal dengan Akurasi
- Jika modal diberikan dalam bentuk aset (misalnya emas, properti, atau barang dagangan), maka harus dilakukan penilaian atau appraisal yang akurat untuk menentukan nilai modal tersebut.
- Contoh: Seorang investor memberikan modal dalam bentuk 10 kg emas kepada seorang pedagang dengan akad muḍārabah. Sebelum akad berlangsung, harga emas dikonversikan ke dalam nilai mata uang yang disepakati (misalnya Rp10 juta per gram), sehingga nilai modal menjadi Rp100 miliar.
Dokumentasi Modal dalam Akad Muḍārabah
- Dalam konteks bisnis modern, modal yang diberikan harus terdokumentasi dengan baik, misalnya dalam bentuk perjanjian tertulis, laporan keuangan, atau pencatatan digital dalam sistem keuangan syariah.
- Contoh: Sebuah perusahaan fintech syariah membuat platform investasi muḍārabah, di mana investor dan pengelola usaha harus menandatangani kontrak yang mencantumkan jumlah modal secara rinci sebelum dana ditransfer.
Dampak jika Modal Tidak Diketahui
Jika modal tidak jelas dalam akad muḍārabah, maka akan terjadi beberapa risiko seperti:
- Perselisihan antara pemilik modal dan pengelola usaha mengenai jumlah modal yang diberikan.
- Potensi gharar (ketidakjelasan) yang menyebabkan akad menjadi tidak sah dalam hukum Islam.
- Kesulitan dalam pembagian keuntungan, karena persentase keuntungan harus dihitung berdasarkan modal yang diketahui dengan pasti.
٣ - أَنْ يُعَيَّنَ نَصِيبُ
الْعَامِلِ مِنَ الرِّبْحِ، فَإِنْ لَمْ يُعَيِّنَاهُ فَلِلْعَامِلِ أُجْرَةُ
عَمَلِهِ، وَلِرَبِّ الْمَالِ الرِّبْحُ كُلُّهُ. أَمَّا إِنْ قَالَا:
الرِّبْحُ بَيْنَنَا فَهُوَ مُنَاصَفَةٌ بَيْنَهُمَا.
Salah satu prinsip utama dalam akad muḍārabah adalah bahwa bagian keuntungan untuk pengelola usaha (mudhārib) harus ditentukan sejak awal. Jika tidak ditentukan, maka pengelola usaha hanya berhak atas upah kerja, sementara seluruh keuntungan menjadi hak pemilik modal (rabb al-māl).
Prinsip Ekonomi Syariah yang Terkait dengan Ketentuan Ini
Prinsip Keadilan (العدل)
- Dalam ekonomi Islam, keadilan menjadi landasan utama dalam setiap transaksi keuangan.
- Dalam muḍārabah, keadilan terwujud dengan adanya kesepakatan awal mengenai pembagian keuntungan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
- Contoh: Jika seorang investor memberikan modal Rp100 juta kepada seorang pengusaha dengan akad muḍārabah dan mereka sepakat bahwa keuntungan dibagi 60:40 (60% untuk investor, 40% untuk pengusaha), maka kesepakatan ini mencerminkan keadilan karena kedua belah pihak memahami hak dan kewajiban mereka sejak awal.
Prinsip Kesepakatan dan Kerelaan (التراضي)
- Islam sangat menekankan bahwa setiap transaksi harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak tanpa ada paksaan atau ketidakjelasan.
- Jika bagian keuntungan pengelola usaha tidak ditentukan, maka akad bisa menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Oleh karena itu, pembagian keuntungan harus disebutkan secara eksplisit dalam akad.
- Contoh: Jika dua pihak hanya menyepakati "bagi hasil akan ditentukan nanti," maka ini tidak sah dalam syariah karena ada unsur ketidakpastian (gharar).
Prinsip Larangan Riba (تحريم الربا)
- Pembagian keuntungan dalam muḍārabah tidak boleh berbasis nilai absolut atau jumlah tetap yang mengarah pada riba.
- Dalam ekonomi syariah, nisbah keuntungan harus berbentuk persentase (%) dari keuntungan, bukan jumlah nominal tertentu.
- Contoh yang tidak sesuai syariah: Jika pemilik modal berkata, "Saya harus mendapatkan keuntungan Rp10 juta setiap bulan dari modal yang saya berikan," maka ini mengandung unsur riba karena pemilik modal mengambil keuntungan tetap tanpa mempertimbangkan apakah usaha untung atau rugi.
Prinsip Risiko dan Keuntungan (الغنم بالغرم)
- Dalam Islam, siapa yang mengambil manfaat dari suatu usaha, maka dia juga harus siap menanggung risikonya.
- Pemilik modal dalam muḍārabah menanggung risiko kehilangan modal, sedangkan pengelola usaha menanggung risiko kerja keras tanpa mendapatkan keuntungan jika usaha merugi.
- Contoh: Jika seorang pengusaha bekerja keras tetapi usaha mengalami kerugian, dia tidak berkewajiban mengganti modal karena dia hanya kehilangan tenaganya, sedangkan pemilik modal kehilangan dananya.
Penerapan akad mudharabah saat ini
Diterapkan dalam Investasi Syariah dan Perbankan Syariah
- Bank syariah sering menggunakan akad muḍārabah dalam produk deposito syariah, di mana keuntungan bank dibagi dengan nasabah berdasarkan nisbah yang disepakati.
- Contoh: Deposito syariah di bank dengan akad muḍārabah menetapkan bahwa nasabah mendapat 55% dari keuntungan, dan bank mendapat 45%.
Diterapkan dalam Investasi Startup dan Bisnis Halal
- Banyak investor Muslim yang menggunakan skema muḍārabah dalam pendanaan startup berbasis syariah.
- Contoh: Seorang investor mendanai startup halal food dan sepakat bahwa keuntungan akan dibagi 70% untuk investor dan 30% untuk pengelola usaha.
Menghindari Praktik Eksploitasi dalam Dunia Kerja
- Jika dalam akad muḍārabah tidak ada pembagian keuntungan yang jelas, maka pengelola usaha hanya berhak atas upah tetap.
- Contoh: Seorang manajer yang mengelola bisnis dengan akad muḍārabah tetapi tidak memiliki pembagian keuntungan yang disepakati sejak awal, maka dia hanya berhak atas upah kerja yang wajar, bukan bagian dari keuntungan usaha.
٤ - إِنِ اخْتَلَفَا فِي
الْجُزْءِ الْمَشْرُوطِ هَلْ هُوَ الرُّبُعُ أَوِ النِّصْفُ مِثْلًا، فَيُقْبَلُ
قَوْلُ رَبِّ الْمَالِ مَعَ يَمِينِهِ.
Jika
terjadi perbedaan pendapat tentang besaran bagian keuntungan yang disepakati,
misalnya apakah seperempat atau setengah, maka yang diterima adalah pernyataan
pemilik modal dengan sumpahnya.
Ketentuan ini menyatakan bahwa jika terjadi perselisihan antara pemilik modal (رَبُّ الْمَالِ) dan pengelola usaha (المُضَارِبُ) tentang besaran nisbah keuntungan, misalnya apakah disepakati ¼ (25%) atau ½ (50%), maka hukum asalnya adalah perkataan pemilik modal yang diterima, tetapi dengan disertai sumpahnya (يَمِين).
Prinsip Syariah yang Mendasari
Prinsip Beban Bukti dalam Sengketa (الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ)
- Dalam hukum Islam, orang yang mengklaim sesuatu harus memberikan bukti (بَيِّنَة), sedangkan orang yang mengingkari cukup bersumpah jika tidak ada bukti yang cukup.
- Dalam konteks ini, pengelola usaha (mudhārib) adalah pihak yang mengklaim nisbah tertentu, sementara pemilik modal mengingkari klaim tersebut. Maka, pemilik modal cukup bersumpah bahwa nisbah yang diakui oleh pengelola usaha tidak benar.
Prinsip Asal Kepemilikan (أصالة الملك)
- Pemilik modal adalah pihak yang memiliki harta sejak awal, sehingga ia lebih berhak dalam menentukan bagaimana modalnya dikelola.
- Jika ada perselisihan tentang nisbah keuntungan yang belum didukung dengan bukti tertulis, maka prinsip dasarnya adalah kembali kepada pemilik modal, karena harta itu berasal darinya.
Prinsip Ihtiyath (الاحتياط) dalam Akad Muḍārabah
- Akad muḍārabah adalah akad syirkah (kerjasama) yang membutuhkan kejelasan (وضوح) dan keterbukaan (الشفافية).
- Untuk menghindari perselisihan di kemudian hari, Islam mengajarkan agar semua kesepakatan dibuat secara tertulis dan disaksikan oleh pihak ketiga, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 282:
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..."
Penerapan ketentuan ini:
Dalam Perbankan dan Investasi Syariah
- Dalam kontrak deposito mudhārabah di bank syariah, nisbah keuntungan biasanya ditetapkan secara tertulis dalam akad. Jika terjadi perselisihan, maka pihak yang lebih berhak adalah bank (sebagai rabb al-māl), karena mereka adalah pemilik modal awal.
Contoh:
Seorang nasabah menaruh deposito di bank dengan skema mudhārabah dan mengira bahwa nisbah keuntungan adalah 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank. Namun, bank menyatakan bahwa nisbahnya 50:50. Jika tidak ada bukti tertulis, maka hukum asalnya mengikuti pernyataan bank dengan sumpah.Dalam Pendanaan Startup dengan Muḍārabah
- Seorang investor memberikan modal kepada pengusaha startup dengan akad muḍārabah. Di tengah jalan, pengusaha mengklaim bahwa nisbah keuntungan yang disepakati adalah 30% untuk investor dan 70% untuk dirinya.
- Namun, investor mengatakan bahwa kesepakatannya adalah 50:50.
- Jika tidak ada dokumen tertulis, hukum asalnya mengikuti klaim investor, dengan syarat ia bersumpah untuk menguatkan klaimnya.
Dalam Dunia Usaha dan Kemitraan
- Jika ada perselisihan antara pemodal dan pengelola usaha tentang nisbah keuntungan, dan tidak ada bukti tertulis, maka keputusan diambil berdasarkan perkataan pemodal dengan sumpah.
- Solusi modern: Menghindari konflik dengan mencatat semua kesepakatan secara tertulis dan menghadirkan saksi atau notaris.
Maka,
✅ Islam menekankan pentingnya kejelasan dalam akad muḍārabah untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
✅ Jika terjadi perselisihan mengenai nisbah keuntungan tanpa bukti tertulis, maka hukum asalnya adalah menerima klaim pemilik modal dengan sumpah.
✅ Dalam konteks ekonomi modern, sangat dianjurkan untuk menuliskan akad secara tertulis dan memiliki saksi atau dokumen hukum agar tidak terjadi sengketa.
✅ Bank syariah, investor, dan pengusaha sebaiknya selalu menggunakan dokumen resmi agar akad tetap transparan dan sesuai prinsip syariah.
٥ - لَيْسَ لِلْعَامِلِ
أَنْ يُضَارِبَ فِي مَالِ رَجُلٍ آخَرَ إِذَا كَانَ يُضِرُّ بِمَالِ الْأَوَّلِ
إِلَّا إِذَا أَذِنَ لَهُ صَاحِبُهُ الْأَوَّلُ فِي ذَلِكَ، لِتَحْرِيمِ الضَّرَرِ
بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ.
Pekerja tidak boleh menjalankan muḍārabah
dengan harta orang lain jika itu merugikan pemilik modal pertama, kecuali
dengan izin dari pemilik modal pertama, karena Islam melarang adanya bahaya dan
kerugian di antara sesama Muslim.
Ketentuan ini menyatakan bahwa pengelola modal (العامل / المضارب) tidak boleh menerima modal dari pihak lain jika hal itu berpotensi merugikan pemilik modal pertama (رب المال الأول). Namun, jika pemilik modal pertama mengizinkan, maka diperbolehkan.
Ketentuan ini berlandaskan prinsip dasar dalam Islam yaitu larangan menimbulkan bahaya bagi orang lain (لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ), yang berarti tidak boleh ada bahaya maupun tindakan yang saling membahayakan dalam transaksi ekonomi.
Prinsip Syariah yang Mendasari
Prinsip Amanah dalam Akad Muḍārabah
- Dalam akad muḍārabah, pengelola modal (mudhārib) bertindak sebagai wakil dari pemilik modal.
- Ia memiliki kewajiban untuk mengelola modal dengan penuh tanggung jawab, amanah, dan tanpa konflik kepentingan.
- Jika pengelola modal menerima modal dari pihak lain tanpa izin pemilik modal pertama, hal ini bisa menyebabkan penurunan kualitas pengelolaan dan risiko kerugian bagi pemilik modal pertama.
Prinsip Larangan Gharar (Ketidakjelasan)
- Jika seorang mudhārib menerima modal dari beberapa pemilik modal tanpa ada kejelasan tentang bagaimana modal itu dikelola, maka bisa timbul ketidakjelasan (gharar) dalam penggunaan dana dan pembagian keuntungan.
- Contohnya: Jika seorang pengelola modal menggunakan modal kedua untuk menutup kerugian modal pertama tanpa sepengetahuan pemilik modal pertama, ini dapat mengarah kepada unsur penipuan (tadlis).
Prinsip Larangan Dharar (Bahaya dan Kerugian)
- Dalam Islam, setiap transaksi ekonomi harus bebas dari bahaya yang merugikan salah satu pihak.
- Jika pengelola modal menerima modal tambahan yang membuat usahanya menjadi lebih sulit dikelola, atau fokusnya terbagi, atau terjadi konflik kepentingan, maka ini dianggap sebagai tindakan yang merugikan pemilik modal pertama.
- Oleh karena itu, izin dari pemilik modal pertama menjadi syarat utama agar keadilan dan keseimbangan tetap terjaga.
Aplikasi dalam Konteks Ekonomi Modern
Dalam Investasi dan Perbankan Syariah
- Kasus: Seorang pengusaha menerima modal dari bank syariah dengan skema muḍārabah. Namun, tanpa sepengetahuan bank, ia juga menerima modal dari investor lain dan mencampurkan modal tersebut dalam satu usaha.
- Risiko:
- Jika usaha tersebut rugi, bank syariah bisa terkena dampak negatif karena pengelolaan yang tidak fokus.
- Tidak ada kejelasan dalam pembagian keuntungan antar pemilik modal.
- Solusi:
- Pengusaha harus mendapatkan izin dari bank syariah sebelum menerima modal tambahan.
- Harus ada pembukuan yang jelas agar dana dari masing-masing pemilik modal tidak tercampur.
Dalam Pendanaan Startup
- Kasus: Seorang founder startup menerima pendanaan dari investor A dengan akad muḍārabah. Namun, ia juga ingin menerima pendanaan dari investor B tanpa sepengetahuan investor A.
- Risiko:
- Jika modal kedua digunakan untuk proyek lain yang tidak berkaitan, maka fokus founder bisa terbagi dan mengurangi kinerja bisnis utama.
- Investor A bisa dirugikan jika modalnya dipakai untuk kepentingan lain yang tidak disepakati.
- Solusi:
- Founder harus transparan dan meminta izin dari investor pertama sebelum menerima pendanaan tambahan.
- Jika kedua investor sepakat, maka harus ada pemisahan pembukuan agar tidak terjadi pencampuran aset (ikhtilath al-amwal).
Dalam Bisnis Franchise atau Kemitraan
- Kasus: Seorang pemilik bisnis menerima modal dari seorang mitra untuk membuka cabang waralaba. Namun, ia juga menerima modal dari pihak lain tanpa izin mitra pertama.
- Risiko:
- Jika kedua modal digunakan bersamaan, bisa terjadi konflik kepentingan dalam manajemen bisnis.
- Jika usaha gagal, sulit menentukan siapa yang berhak atas keuntungan dan siapa yang menanggung kerugian.
- Solusi:
- Pemilik bisnis harus mendiskusikan hal ini dengan mitra pertamanya sebelum menerima modal tambahan.
- Harus ada kontrak yang jelas untuk mengatur penggunaan modal dari berbagai sumber.
Maka,
✅ Islam menekankan amanah dalam akad muḍārabah, sehingga pengelola modal harus menghindari konflik kepentingan dan bersikap transparan.
✅ Menerima modal dari pihak lain tanpa izin pemilik modal pertama bisa menyebabkan kerugian dan harus dihindari.
✅ Dalam praktik modern, pencatatan transaksi dan transparansi keuangan sangat penting untuk menghindari sengketa dalam akad investasi.
✅ Sangat disarankan agar setiap akad investasi dibuat dalam bentuk tertulis dan disahkan secara hukum agar lebih jelas dan mengikat.
🔹 Pesan Moral:
"Ketika seseorang diberi amanah mengelola harta orang lain, maka ia harus mengelolanya dengan penuh tanggung jawab, transparansi, dan keadilan. Jangan sampai ambisi untuk mendapatkan modal lebih banyak justru mengorbankan kepercayaan yang telah diberikan."
٦ - لَا يُقَسَّمُ
الرِّبْحُ مَا دَامَ الْعَقْدُ بَاقِيًا إِلَّا إِذَا رَضِيَ الطَّرَفَانِ
بِالْقِسْمَةِ وَاتَّفَقَا عَلَيْهَا.
Keuntungan
tidak boleh dibagikan selama akad masih berlangsung, kecuali jika kedua belah
pihak sepakat untuk membaginya.
Dalam prinsip ekonomi Islam, keuntungan dalam muḍārabah hanya dapat dibagi setelah usaha berjalan dengan stabil dan perhitungan keuntungan sudah jelas, agar tidak terjadi kezaliman atau ketidakjelasan dalam hak masing-masing pihak.
Prinsip Syariah yang Mendasari
Prinsip Kepemilikan Keuntungan setelah Kepastian (الربح لا يستحق إلا بعد السلامة من الخسران)
- Keuntungan dalam muḍārabah baru dianggap final jika usaha telah menghasilkan keuntungan bersih dan tidak ada kemungkinan kerugian.
- Jika usaha masih berjalan, keuntungan bisa saja berkurang atau bahkan berubah menjadi kerugian, sehingga pembagian keuntungan sebelum ada kepastian bisa menimbulkan ketidakadilan.
Prinsip Transparansi dan Keadilan (الوضوح والعدل)
- Jika keuntungan dibagi di tengah perjalanan tanpa perhitungan yang jelas, bisa terjadi kecurangan atau ketidakseimbangan, di mana salah satu pihak menerima lebih dari haknya.
- Oleh karena itu, keuntungan hanya boleh dibagi jika kedua belah pihak setuju dan memahami risikonya.
Prinsip Kesepakatan dalam Kontrak (العقد شريعة المتعاقدين)
- Jika pemilik modal dan pengelola modal sepakat untuk membagikan sebagian keuntungan lebih awal, maka hal itu diperbolehkan.
- Namun, jika tidak ada kesepakatan, maka keuntungan harus tetap dikelola dalam usaha sampai akad berakhir atau perhitungan keuntungan diselesaikan.
Penerapan ketentuan ini:
Dalam Investasi Startup
- Kasus: Seorang investor memberikan modal kepada seorang pengusaha untuk membangun startup berbasis teknologi dengan skema muḍārabah. Setelah beberapa bulan, usaha mulai menghasilkan pendapatan, tetapi belum mencapai titik stabil.
- Permasalahan:
- Pengusaha ingin mengambil sebagian keuntungan untuk kebutuhan pribadinya.
- Investor keberatan karena usaha masih berjalan dan belum ada kepastian apakah keuntungan akan tetap bertahan atau justru turun di bulan berikutnya.
- Solusi:
- Keuntungan tidak boleh dibagi sebelum usaha benar-benar stabil.
- Jika pengusaha membutuhkan dana, ia bisa meminta bagian keuntungan dengan syarat investor menyetujui pembagian keuntungan lebih awal.
Dalam Pembiayaan Syariah (Perbankan & Lembaga Keuangan Syariah)
- Kasus: Bank syariah memberikan modal kepada mitra bisnis dalam skema muḍārabah untuk proyek properti yang diperkirakan selesai dalam 2 tahun. Setelah 6 bulan, mitra bisnis melaporkan adanya keuntungan awal dan ingin menarik sebagian keuntungan tersebut.
- Permasalahan:
- Jika keuntungan dibagi terlalu dini, bisa saja dalam bulan-bulan berikutnya proyek mengalami hambatan, sehingga keuntungan awal yang dibagikan justru dibutuhkan kembali untuk operasional proyek.
- Solusi:
- Keuntungan tidak boleh dibagi lebih awal kecuali ada kesepakatan tertulis antara bank dan mitra bisnis.
- Bank harus memastikan bahwa keuntungan yang akan dibagi benar-benar surplus dan tidak mengganggu jalannya proyek.
Dalam Bisnis Perdagangan
- Kasus: Seorang pedagang mendapatkan modal dari seorang investor untuk mengembangkan bisnis dagangannya. Setelah beberapa bulan, bisnis mulai mendapatkan keuntungan, tetapi masih ada risiko fluktuasi harga pasar.
- Permasalahan:
- Pedagang ingin membagikan sebagian keuntungan, tetapi investor berpendapat bahwa keuntungan tersebut lebih baik digunakan untuk memperkuat modal usaha agar bisnis lebih berkembang.
- Solusi:
- Keputusan pembagian keuntungan harus didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan.
- Jika investor dan pedagang setuju, maka pembagian keuntungan boleh dilakukan dengan tetap memperhitungkan kelangsungan usaha di masa depan.
Maka,
✅ Dalam akad muḍārabah, keuntungan tidak boleh dibagi sebelum akad selesai, kecuali jika kedua pihak menyetujui pembagian lebih awal.
✅ Keuntungan hanya boleh dibagi jika sudah ada kepastian bahwa usaha benar-benar memperoleh keuntungan bersih.
✅ Jika usaha masih berjalan dan ada potensi risiko, lebih baik keuntungan tidak langsung dibagi agar tetap ada cadangan modal.
✅ Dalam praktik modern, perjanjian tertulis sangat penting agar kedua pihak memahami kapan dan bagaimana keuntungan bisa dibagi.
🔹 Pesan Moral:
"Keuntungan dalam bisnis harus dikelola dengan bijak. Jangan tergesa-gesa membagi hasil sebelum usaha benar-benar stabil, karena bisnis yang sehat membutuhkan perencanaan jangka panjang dan kehati-hatian dalam mengelola modal."
٧ - رَأْسُ الْمَالِ
يُجْبَرُ دَائِمًا مِنَ الرِّبْحِ فَلَا يَسْتَحِقُّ الْعَامِلُ مِنَ الرِّبْحِ
شَيْئًا إِلَّا بَعْدَ جَبْرِ رَأْسِ الْمَالِ، هَذَا مَا لَمْ يُقَسَّمِ
الرِّبْحُ، فَإِنِ اتَّجَرَا فِي غَنَمٍ فَرَبِحَا وَأَخَذَ كُلٌّ مِنْهُمَا
نَصِيبَهُ مِنَ الرِّبْحِ ثُمَّ اتَّجَرَا فِي حَبٍّ أَوْ كِتَّانٍ مِثْلًا
فَخَسِرَا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ شَيْئًا فَالْخَسَارَةُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ
وَلَيْسَ عَلَى الْعَامِلِ جَبْرُهُ مِمَّا رَبِحَ فِي تِجَارَةٍ سَبَقَتْ.
Modal
selalu harus dikembalikan terlebih dahulu dari keuntungan sebelum pekerja
mendapatkan bagiannya. Artinya, pekerja tidak berhak atas keuntungan sebelum
modal dikembalikan penuh.
Namun, jika keuntungan telah dibagi dan mereka kembali berdagang dengan barang
lain lalu mengalami kerugian, maka kerugian tersebut hanya ditanggung dari
modal, dan pekerja tidak wajib mengganti kerugian dari keuntungan yang telah
diterima dalam transaksi sebelumnya.
Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam akad muḍārabah, modal awal harus dipulihkan terlebih dahulu dari keuntungan sebelum pembagian hasil dilakukan. Pengelola modal (mudhārib) tidak berhak menerima bagian dari keuntungan sebelum modal kembali utuh.
Jika terdapat kerugian dalam transaksi berikutnya setelah keuntungan sebelumnya dibagi, maka kerugian itu harus ditanggung oleh modal dan tidak menjadi tanggung jawab pengelola modal untuk menutupi dari keuntungan yang sudah dibagi dalam transaksi sebelumnya.
Prinsip Syariah yang Mendasari
Prinsip Kejelasan Modal dan Keuntungan (وضوح رأس المال والربح)
- Modal harus selalu dipastikan dalam kondisi utuh sebelum pembagian keuntungan agar tidak terjadi ketidakjelasan dalam hak dan kewajiban kedua belah pihak.
- Jika modal belum kembali utuh, maka keuntungan yang dihasilkan harus terlebih dahulu digunakan untuk menutup kekurangan modal.
Prinsip Tanggung Jawab Kerugian (تحمل الخسارة من رأس المال)
- Dalam muḍārabah, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, sedangkan pengelola modal hanya kehilangan tenaga dan waktu yang telah dicurahkan.
- Jika setelah suatu usaha mengalami keuntungan dan keuntungan tersebut sudah dibagikan, lalu usaha berikutnya mengalami kerugian, maka kerugian itu tidak boleh ditutup dari keuntungan yang sebelumnya sudah dibagi.
Prinsip Pembagian Keuntungan yang Adil (العدل في قسمة الربح)
- Keuntungan hanya bisa dibagikan jika sudah ada kepastian bahwa modal tidak mengalami kerugian.
- Jika pengelola modal mengambil keuntungan sebelum modal kembali utuh, maka ada potensi kezaliman kepada pemilik modal.
Penerapan ketentuan ini:
Dalam Investasi Startup
- Kasus: Seorang investor memberikan modal kepada startup teknologi dengan skema muḍārabah. Tahun pertama, startup mendapatkan keuntungan dan investor serta pendiri startup membagi hasil sesuai kesepakatan. Tahun kedua, startup mengalami kerugian besar.
- Permasalahan:
- Investor kehilangan sebagian modalnya, sementara pengelola modal telah mengambil keuntungan dari tahun pertama.
- Jika keuntungan tahun pertama digunakan untuk membayar kerugian tahun kedua, berarti ada potensi pengelola modal mengambil hak sebelum modal dipulihkan.
- Solusi:
- Pada tahun pertama, keuntungan seharusnya tidak langsung dibagi sebelum memastikan modal tetap aman.
- Jika keuntungan sudah dibagi, maka kerugian tahun berikutnya tetap ditanggung oleh modal tanpa meminta pengelola modal mengembalikan keuntungan yang sudah dibagikan.
Dalam Pembiayaan Syariah (Perbankan & Lembaga Keuangan Syariah)
- Kasus: Sebuah bank syariah memberikan pembiayaan muḍārabah kepada seorang pedagang untuk menjalankan usaha impor barang. Pada transaksi pertama, usaha mendapatkan keuntungan dan bank serta pedagang berbagi hasil. Pada transaksi kedua, terjadi kerugian karena fluktuasi harga pasar.
- Permasalahan:
- Bank ingin keuntungan yang sudah diberikan kepada pedagang dikembalikan untuk menutup kerugian di transaksi berikutnya.
- Solusi:
- Kerugian tersebut ditanggung oleh modal, bukan oleh pengelola modal (pedagang).
- Oleh karena itu, bank tidak boleh meminta pedagang mengembalikan keuntungan yang sudah dibagi dalam transaksi sebelumnya.
Dalam Bisnis Perdagangan
- Kasus: Seorang investor memberikan modal kepada seorang pedagang untuk menjalankan usaha dagang. Dalam bulan pertama, pedagang memperoleh keuntungan dan membagi hasil dengan investor. Namun, dalam bulan kedua, terjadi kerugian akibat barang dagangan tidak laku.
- Permasalahan:
- Pedagang tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan keuntungan yang sudah diperolehnya di bulan pertama.
- Solusi:
- Kerugian bulan kedua tetap ditanggung oleh modal, sedangkan pedagang hanya mengalami kerugian dalam bentuk tenaga dan usaha yang tidak menghasilkan keuntungan.
Maka,
✅ Dalam muḍārabah, modal harus dikembalikan terlebih dahulu sebelum keuntungan bisa dibagikan.
✅ Jika terjadi kerugian setelah pembagian keuntungan, kerugian ditanggung oleh modal dan bukan oleh pengelola modal.
✅ Pengelola modal tidak berkewajiban menutupi kerugian dari keuntungan yang sudah dibagi sebelumnya.
✅ Dalam praktik modern, perlu ada perjanjian yang jelas mengenai kapan dan bagaimana keuntungan bisa dibagi untuk menghindari sengketa.
🔹 Pesan Moral:
"Dalam bisnis syariah, kejelasan dalam pembagian keuntungan sangat penting untuk menghindari ketidakadilan. Modal harus dipastikan tetap aman sebelum keuntungan bisa dibagi, agar tidak ada pihak yang dirugikan di kemudian hari."
٨ - إِنِ انْفَسَخَتِ
المُضَارَبَةُ وَبَقِيَ بَعْضُ الْمَالِ عَرَضًا، أَيْ بِضَاعَةً، أَوْ دَيْنًا
عِنْدَ أَحَدٍ فَطَلَبَ رَبُّ الْمَالِ تَنْضِيضَهُ، أَيْ بَيْعَ الْعَرَضِ
لِيَصِيرَ نَقْدًا أَوْ طَلَبَ ارْتِجَاعَ الدَّيْنِ فَإِنَّ عَلَى الْعَامِلِ
الْقِيَامَ بِذَلِكَ.
Jika akad muḍārabah berakhir, sementara
sebagian harta masih dalam bentuk barang dagangan atau masih berbentuk piutang,
lalu pemilik modal meminta untuk mengubahnya menjadi uang tunai atau menagih
utang tersebut, maka pekerja wajib melaksanakannya.
Ketentuan ini menegaskan bahwa apabila akad muḍārabah berakhir dan ada sisa harta dalam bentuk barang dagangan (ʿurūḍ) atau utang yang belum ditunaikan, maka pemilik modal (rabb al-māl) berhak untuk meminta pengelola modal (mudhārib) untuk mengurus penyelesaian harta tersebut.
- Jika berupa barang dagangan, maka pengelola modal wajib menjual barang tersebut untuk dijadikan uang tunai.
- Jika berupa utang yang belum dibayar, maka pengelola modal wajib membantu untuk menagih atau mengembalikan utang tersebut.
Prinsip Syariah yang Mendasari
Prinsip Penyelesaian Harta dengan Tanggung Jawab Penuh (الوفاء الكامل بالمال)
- Ketika akad berakhir, semua harta yang terkait dengan usaha muḍārabah harus diselesaikan, baik dalam bentuk barang, uang, atau utang.
- Pengelola modal (mudhārib) memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan penyelesaian tersebut berlangsung dengan baik sesuai dengan keinginan pemilik modal (rabb al-māl).
Prinsip Kepatuhan kepada Pemilik Modal (الامتثال لمطالب صاحب المال)
- Pengelola modal wajib mematuhi perintah dari pemilik modal terkait dengan penyelesaian barang atau utang. Hal ini menunjukkan bahwa pengelola modal harus bertindak sebagai wakil yang dapat dipercaya dalam menangani hak-hak pemilik modal.
Prinsip Kewajiban Tanggung Jawab (الالتزام بالمسؤولية)
- Pengelola modal wajib menyelesaikan kewajiban dengan sebaik-baiknya, baik itu dalam bentuk menjual barang dagangan atau menagih utang. Jika ada kegagalan dalam penyelesaian, pengelola modal bisa dianggap melanggar tanggung jawab dan bisa diminta pertanggungjawaban.
Penerapan ketentuan ini
Dalam Investasi Bisnis Start-Up
- Kasus: Seorang investor memberikan modal kepada pendiri startup teknologi. Pada akhir kontrak, startup menghasilkan beberapa utang yang belum dibayar dan memiliki beberapa barang dagangan yang tidak terjual.
- Permasalahan:
- Investor meminta pendiri startup untuk menyelesaikan utang yang masih ada atau menjual barang dagangan yang belum terjual agar bisa mengembalikan sisa modal.
- Solusi:
- Pendiri startup bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati, baik dengan menjual barang dagangan atau menagih utang.
- Jika tidak diselesaikan dengan baik, pendiri startup bisa dianggap melanggar tanggung jawabnya sebagai pengelola modal.
Dalam Pembiayaan Syariah (Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah)
- Kasus: Bank syariah memberikan pembiayaan muḍārabah kepada seorang pedagang untuk membeli barang dagangan. Pada saat akad selesai, pedagang memiliki utang yang belum dibayar dan masih memiliki beberapa stok barang yang belum laku.
- Permasalahan:
- Bank syariah ingin agar pedagang segera menyelesaikan utang atau menjual barang dagangan tersebut untuk mengembalikan sebagian dari modalnya.
- Solusi:
- Pengelola modal (pedagang) wajib membantu menyelesaikan sisa utang atau menjual barang dagangan untuk mendapatkan uang tunai, sesuai dengan perintah dari bank syariah.
- Jika tidak ada penyelesaian, pedagang bisa dianggap gagal memenuhi kewajibannya sebagai pengelola modal.
Dalam Usaha Dagang
- Kasus: Seorang pedagang yang menerima modal untuk berdagang memiliki sisa barang dagangan yang belum laku dan juga utang yang belum dibayar kepada supplier.
- Permasalahan:
- Pedagang harus menyelesaikan barang dagangan yang tidak terjual dan utang kepada supplier untuk memastikan modal kembali utuh kepada investor.
- Solusi:
- Pedagang wajib menjual barang dagangan untuk dijadikan uang tunai dan menagih utang jika ada, untuk mengembalikan hak pemilik modal.
- Jika pedagang tidak mengurusnya, investor berhak menuntut pertanggungjawaban.
Kesimpulan dan Rekomendasi
✅ Pemilik modal berhak meminta pengelola modal untuk menyelesaikan sisa harta berupa barang atau utang setelah akad berakhir.
✅ Pengelola modal wajib mengurus penyelesaian tersebut dengan baik, baik dalam bentuk menjual barang atau menagih utang.
✅ Pengelola modal harus memastikan bahwa kewajiban diselesaikan dengan penuh tanggung jawab dan sesuai dengan perintah pemilik modal.
✅ Jika ada kegagalan dalam penyelesaian harta tersebut, pengelola modal bisa dianggap melanggar kewajibannya.
🔹 Pesan Moral:
"Setiap usaha yang dilakukan harus selalu selesai dengan baik dan transparan. Menghormati hak pemilik modal dalam penyelesaian akhir usaha adalah bagian dari prinsip keadilan dan tanggung jawab dalam ekonomi syariah."
٩ - يُقْبَلُ قَوْلُ
الْعَامِلِ فِيمَا يَدَّعِيهِ مِنْ هَلَاكِ الْمَالِ أَوْ خُسْرَانِهِ إِنْ لَمْ
تَقُمْ بَيِّنَةٌ تُكَذِّبُهُ فِيمَا ادَّعَاهُ، وَإِنِ ادَّعَى الْهَلَاكَ
وَأَقَامَ بَيِّنَةً عَلَى ذَلِكَ حَلَفَ وَصُدِّقَتْ دَعْوَاهُ.
Pernyataan
pekerja mengenai hilangnya modal atau kerugiannya diterima, selama tidak ada
bukti yang menyanggahnya. Jika ia mengklaim bahwa modalnya hilang dan memiliki
bukti, maka ia harus bersumpah, dan klaimnya diterima.
Ketentuan ini mengatur tentang keabsahan pengakuan dari pengelola modal (mudhārib) terkait dengan kerugian atau kehilangan harta yang terjadi selama periode muḍārabah.
- Jika pengelola modal mengklaim bahwa harta telah hilang atau mengalami kerugian, maka klaim tersebut akan diterima selama tidak ada bukti yang menentangnya.
- Jika pengelola modal mampu menghadirkan bukti (al-bayyinah) yang mendukung klaimnya tentang kerugian atau kehancuran harta, maka pengelola modal akan bersumpah untuk membuktikan klaimnya dan klaim tersebut akan diterima.
Prinsip Syariah yang Mendasari
Prinsip Kejujuran dan Tanggung Jawab (الصدق والأمانة)
- Pengelola modal harus jujur dalam mengungkapkan kondisi harta yang dikelola. Jika ada kehilangan atau kerugian yang terjadi, pengelola modal berkewajiban untuk melaporkan dan mengakuinya.
- Dalam prinsip syariah, kejujuran adalah nilai yang sangat penting, dan pengelola modal diharapkan untuk menjaga amanah dalam mengelola modal yang diberikan.
Prinsip Kewajiban Bukti dan Pembuktian (البيّنة على من ادّعى)
- Dalam hukum Islam, yang mengklaim suatu perkara harus menyediakan bukti untuk mendukung klaim tersebut. Oleh karena itu, jika pengelola modal mengklaim bahwa harta telah hilang atau mengalami kerugian, ia harus menunjukkan bukti untuk membuktikan klaimnya.
- Jika pengelola modal tidak dapat memberikan bukti, maka klaimnya akan dianggap tidak sah dan harus disangkal oleh pihak yang dirugikan.
Prinsip Kewajiban Bersumpah (اليمين) dalam Pembuktian
- Dalam situasi di mana pengelola modal dapat membuktikan klaimnya dengan bukti, maka ia dapat bersumpah untuk memastikan kebenaran klaim tersebut. Sumpah ini merupakan media untuk memperkuat klaim yang diajukan, dan jika diterima, klaim tersebut dapat divalidasi.
Aplikasi dalam Konteks Ekonomi Modern
Kasus dalam Bisnis atau Investasi
- Kasus: Seorang pengelola usaha atau pebisnis mengelola dana dari investor untuk perdagangan barang tertentu. Setelah beberapa waktu, ia mengklaim bahwa barang dagangannya mengalami kerugian besar akibat bencana alam atau kerusakan yang tidak terduga.
- Permasalahan:
- Investor yang merasa dirugikan ingin mengetahui apakah klaim tersebut benar adanya dan mengapa kerugian terjadi. Pengelola usaha mengklaim bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kerusakan barang yang terjadi dalam perjalanan.
- Solusi:
- Pengelola usaha dapat membuktikan klaimnya dengan menghadirkan bukti-bukti yang mendukung, seperti laporan kejadian atau dokumen terkait bencana. Jika pengelola usaha tidak dapat memberikan bukti, maka klaimnya dapat dianggap tidak sah.
- Jika pengelola usaha dapat menunjukkan bukti yang kuat, ia dapat bersumpah untuk menegaskan kebenaran klaimnya, dan pihak investor dapat mempercayai klaim tersebut.
Dalam Pembiayaan Syariah (Perbankan Syariah)
- Kasus: Bank syariah memberikan pembiayaan muḍārabah kepada seorang pedagang. Pada akhir periode, pedagang melaporkan bahwa sebagian barang dagangannya rusak dan tidak dapat dijual.
- Permasalahan:
- Bank syariah ingin memastikan bahwa kerusakan tersebut memang terjadi dan bukan akibat kelalaian pedagang. Pedagang mengklaim bahwa kerusakan tersebut disebabkan oleh bencana alam yang tidak dapat dihindari.
- Solusi:
- Pedagang harus menyediakan bukti terkait dengan klaim kerusakan, misalnya dengan melampirkan dokumentasi bencana atau laporan dari pihak ketiga. Jika tidak ada bukti, maka klaim pedagang bisa dianggap tidak sah.
- Jika pedagang dapat memberikan bukti dan diperlukan untuk menguatkan klaimnya, maka ia bisa bersumpah atas kebenaran klaimnya.
Dalam Usaha Dagang yang Melibatkan Pihak Ketiga
- Kasus: Seorang pedagang menjalin kerjasama dengan distributor untuk menjual produk tertentu. Namun, beberapa waktu kemudian pedagang mengklaim bahwa produk yang ia terima mengalami kerusakan yang sangat parah dan tidak dapat dijual.
- Permasalahan:
- Distributor dan pemilik modal merasa ragu dan meminta pedagang untuk membuktikan bahwa kerusakan tersebut benar terjadi.
- Solusi:
- Pedagang harus memberikan bukti yang cukup, seperti laporan kerusakan produk atau fotografi. Jika pedagang tidak dapat memberikan bukti tersebut, maka klaimnya tidak akan diterima.
- Apabila pedagang memberikan bukti yang memadai, ia dapat bersumpah untuk memperkuat klaimnya.
Maka,
✅ Pengelola modal memiliki kewajiban untuk mengungkapkan kerugian atau kehilangan harta dengan jujur dan dapat memberikan bukti untuk mendukung klaimnya.
✅ Jika klaim tersebut diterima tanpa bukti, maka klaim tersebut sah. Namun, jika ada bukti yang menentangnya, klaim harus dibuktikan secara jelas dan sah.
✅ Jika pengelola modal mengklaim kerugian dan dapat membuktikan klaim tersebut, ia dapat diperkuat dengan bersumpah (al-yamīn).
✅ Transparansi dan kejujuran dalam pengelolaan harta sangat penting dalam menjaga hubungan yang sehat dan adil antara pemilik modal dan pengelola modal.
🔹 Pesan Moral:
"Kejujuran dan bukti yang jelas adalah landasan bagi setiap klaim dalam muḍārabah. Mematuhi prinsip keadilan dan bertanggung jawab terhadap harta yang dikelola adalah bagian dari komitmen dalam menjaga amanah."
Maraji: Minhajul
Muslim
Pelajaran dari
Bab ini
1. Pengertian dan Hikmah Al-Muḍārabah
- Pengertian: Al-muḍārabah adalah akad kerja sama antara pemilik modal (ṣāḥib al-māl) dan pekerja (muḍārib) untuk menjalankan usaha dengan pembagian keuntungan yang telah disepakati.
- Hikmah:
- Memudahkan orang yang memiliki modal tetapi tidak mampu menjalankan usaha sendiri.
- Membantu pekerja yang memiliki keahlian dalam berdagang tetapi tidak memiliki modal.
- Mencegah praktik riba dalam pinjaman modal, karena keuntungannya berbasis bagi hasil, bukan bunga tetap.
- Mendorong pertumbuhan ekonomi Islam dengan sistem yang adil dan berkah.
2. Dasar Hukum Al-Muḍārabah
- Al-muḍārabah diperbolehkan dalam Islam berdasarkan ijma’ para sahabat dan telah dipraktikkan pada masa Rasulullah ﷺ.
- Dalil kebolehannya dapat dilihat dalam praktik dagang yang dilakukan oleh para sahabat, seperti Nabi ﷺ yang berdagang dengan modal Khadijah رضي الله عنها sebelum menikah dengannya.
3. Syarat-Syarat Sah Al-Muḍārabah
Agar akad al-muḍārabah sah dan terhindar dari perselisihan, harus memenuhi beberapa syarat:
A. Syarat yang Berkaitan dengan Pihak yang Berakad
- Kedua belah pihak harus memiliki kecakapan hukum dalam bertransaksi, yaitu Muslim yang telah baligh dan berakal.
- Boleh antara Muslim dan non-Muslim, asalkan modal berasal dari non-Muslim dan pekerjanya adalah Muslim, untuk menghindari transaksi riba dan harta haram.
B. Syarat yang Berkaitan dengan Modal
3. Modal harus berupa uang tunai atau sesuatu yang jelas nilainya (bukan barang dagangan), agar mudah dihitung dan dibagikan keuntungannya.
4. Modal harus diketahui jumlahnya oleh kedua pihak. Jika tidak, akad menjadi fasid (tidak sah).
C. Syarat yang Berkaitan dengan Keuntungan
5. Pembagian keuntungan harus jelas dan disepakati di awal, misalnya setengah-setengah, sepertiga, atau seperempat.
6. Tidak boleh ada keuntungan tetap untuk salah satu pihak, karena itu menyerupai riba.
7. Jika pembagian keuntungan tidak disebutkan dalam akad, maka pekerja hanya berhak atas upah kerja, dan keuntungan seluruhnya milik pemilik modal.
4. Hak dan Kewajiban dalam Al-Muḍārabah
- Hak Pemilik Modal:
- Mendapatkan bagian keuntungan sesuai perjanjian.
- Berhak mengetahui laporan usaha yang dijalankan oleh pekerja.
- Berhak menarik kembali modal jika akad berakhir.
- Kewajiban Pemilik Modal:
- Menyediakan modal dalam bentuk tunai atau sesuatu yang nilainya jelas.
- Tidak boleh ikut campur dalam operasional usaha, kecuali jika disepakati.
- Hak Pekerja (Muḍārib):
- Mendapatkan bagian keuntungan sesuai perjanjian.
- Bebas mengelola usaha sesuai prinsip perdagangan yang baik.
- Kewajiban Pekerja:
- Mengelola usaha dengan amanah dan profesional.
- Tidak boleh mencampur modal dengan modal lain tanpa izin pemilik modal pertama.
- Jika terjadi kerugian bukan karena kelalaian, ia tidak wajib menggantinya.
5. Ketentuan dalam Kasus Perselisihan
- Jika terjadi perbedaan pendapat tentang bagian keuntungan, maka yang diterima adalah keterangan pemilik modal dengan sumpahnya.
- Jika pekerja mengklaim modalnya hilang dalam usaha, klaimnya diterima selama tidak ada bukti yang menyangkalnya. Jika ia memiliki saksi, maka harus bersumpah untuk memperkuat klaimnya.
6. Pembagian Keuntungan dan Kerugian dalam Al-Muḍārabah
- Keuntungan harus dibagikan sesuai kesepakatan. Jika tidak ada kesepakatan, maka pemilik modal mendapatkan seluruh keuntungan, dan pekerja hanya mendapat upah kerja.
- Kerugian hanya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali jika pekerja melakukan kesalahan atau kelalaian, maka ia harus menanggung kerugian yang disebabkan oleh dirinya.
- Jika modal sudah menghasilkan keuntungan, tetapi usaha mengalami kerugian di kemudian hari, maka kerugian tersebut hanya diambil dari modal yang tersisa, bukan dari keuntungan yang telah dibagi sebelumnya.
7. Ketentuan dalam Akhir Akad Al-Muḍārabah
- Akad bisa berakhir jika:
- Salah satu pihak menghendaki pembubaran akad.
- Pemilik modal menarik kembali modalnya.
- Salah satu pihak meninggal dunia.
- Jika akad berakhir, tetapi modal masih dalam bentuk barang dagangan atau piutang, maka pekerja harus menguangkan barang dagangan tersebut atau menagih piutang sebelum mengembalikannya kepada pemilik modal.
8. Prinsip-Prinsip Penting dalam Al-Muḍārabah
- Tidak boleh ada unsur riba dalam pembagian keuntungan.
- Kejujuran dan transparansi sangat penting untuk menghindari perselisihan.
- Tidak boleh ada pengambilan keuntungan sepihak tanpa kesepakatan.
- Islam melarang segala bentuk transaksi yang merugikan salah satu pihak, seperti menambah beban kerugian pada pekerja tanpa alasan yang sah.
Poin-poin penting
- Al-muḍārabah adalah solusi dalam ekonomi Islam yang memungkinkan kerja sama antara pemilik modal dan pekerja tanpa riba.
- Akad ini harus dilakukan dengan memenuhi syarat yang jelas agar sah dan menghindari perselisihan.
- Keuntungan harus dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian hanya ditanggung pemilik modal, kecuali ada kelalaian pekerja.
- Prinsip keadilan, transparansi, dan kejujuran harus diutamakan dalam setiap akad muḍārabah agar membawa keberkahan dan manfaat bagi kedua belah pihak.
Penutup
Kajian
Hadirin sekalian yang dimuliakan Allah,
Alhamdulillah, kita telah bersama-sama mengkaji salah satu konsep penting dalam ekonomi Islam, yaitu akad muḍārabah, yang menjadi solusi bagi banyak permasalahan dalam dunia usaha dan investasi. Dari kajian ini, ada beberapa poin utama yang bisa kita simpulkan:
- Muḍārabah adalah akad kerja sama antara pemilik modal dan pekerja dengan sistem bagi hasil yang adil sesuai kesepakatan, tanpa unsur riba dan ketidakjelasan.
- Akad ini memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, seperti kejelasan modal, pembagian keuntungan yang disepakati, serta peran dan tanggung jawab masing-masing pihak.
- Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sementara kerugian ditanggung pemilik modal, kecuali jika pekerja melakukan kelalaian atau penyalahgunaan amanah.
- Islam memberikan prinsip-prinsip muamalah yang adil dan penuh keberkahan, yang jika dijalankan dengan benar, akan membawa manfaat besar bagi perekonomian umat.
Saran dan Nasehat
Hadirin yang dirahmati Allah,
Setelah memahami kajian ini, ada beberapa hal yang perlu kita renungkan dan amalkan dalam kehidupan kita:
- Bagi para pemilik modal, hendaknya memilih sistem investasi yang halal dan menghindari transaksi riba yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
- Bagi para pekerja atau pengelola usaha, jadilah amanah dalam menjalankan usaha dan patuhi kesepakatan dengan penuh tanggung jawab.
- Bagi kita semua, mari terus memperdalam ilmu muamalah agar bisnis dan transaksi yang kita jalankan selalu berada dalam koridor syariat.
Harapan Setelah Kajian Ini
Semoga setelah mengikuti kajian ini, kita semua semakin memahami bagaimana menjalankan usaha dengan sistem yang halal, adil, dan berkah, serta mampu menerapkannya dalam kehidupan kita. Semoga kajian ini juga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua, baik di dunia maupun di akhirat.
Akhirnya, marilah kita tutup majelis ini dengan doa:
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.
بارك الله فيكم، وجزاكم الله خيرًا، وصلى الله وسلم على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين.