Kajian: Pembatal Puasa (Fikih Muyassar)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ:

Hadirin yang dirahmati Allah,

Kita semua tentu memahami bahwa puasa merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki kedudukan sangat agung dalam syariat. Ia bukan sekadar menahan diri dari makan, minum, dan pembatal-pembatal lainnya, tetapi juga sebuah bentuk ibadah yang mengajarkan kita untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Namun, di tengah masyarakat kita, sering kali terdapat kekeliruan dalam memahami apa saja yang dapat membatalkan puasa.

Sebagian orang mengira bahwa hanya makan dan minum secara sengaja yang membatalkan puasa, sementara ada bentuk pembatal lain yang tidak disadari. Ada pula yang tidak mengetahui bahwa puasa tidak hanya batal secara lahir, tetapi juga bisa batal secara maknawi karena perbuatan yang merusak nilai dan esensi puasa itu sendiri. Bahkan, sebagian kaum muslimin menganggap remeh perkara ini, sehingga mereka tetap melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ruh puasa, seperti berkata dusta, ghibah, atau bahkan melakukan perbuatan maksiat tanpa rasa bersalah.

Maka dari itu, memahami hadits-hadits yang menjelaskan tentang perkara-perkara yang membatalkan puasa menjadi sangat penting bagi kita semua. Sebab, jika seseorang tidak memahami hukum-hukum puasa dengan benar, dikhawatirkan puasanya hanya sebatas menahan lapar dan dahaga, tetapi tidak memperoleh pahala dan keberkahan yang seharusnya. Rasulullah ﷺ telah mengingatkan dalam sabdanya:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ

"Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadits ini menjadi peringatan keras bagi kita agar tidak hanya fokus pada menahan diri dari hal-hal yang tampak secara fisik, tetapi juga menjaga kualitas ibadah kita agar benar-benar diterima oleh Allah ﷻ.

Oleh karena itu, pada kajian kali ini, kita akan mengupas hadits-hadits tentang pembatal puasa. Dengan memahami hadits-hadits ini, kita berharap dapat menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesadaran, menjaga diri dari hal-hal yang merusaknya, serta meraih derajat takwa yang dijanjikan oleh Allah ﷻ.

Semoga Allah memudahkan kita dalam memahami dan mengamalkan ilmu ini, serta menerima amal ibadah kita di bulan yang mulia ini. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.


المسألةُ الثَّانِيَةُ: مُفْطِرَاتُ الصَّائِمِ

Permasalahan Kedua: Hal-hal yang Membatalkan Puasa

وَهِيَ الأَشْيَاءُ الَّتِي تُفْسِدُ عَلَى الصَّائِمِ صَوْمَهُ وَتُفَطِّرُهُ. وَيُفْطِرُ الصَّائِمُ بِفِعْلِ أَحَدِ الأُمُورِ التَّالِيَةِ:

Yaitu perkara-perkara yang merusak puasa seseorang dan menyebabkan batalnya puasa. Seorang yang berpuasa batal puasanya jika melakukan salah satu dari hal-hal berikut:


الأَوَّلُ: الأَكْلُ أَوِ الشُّرْبُ عَمْدًا

Pertama: Makan atau minum dengan sengaja

لِقَوْلِهِ تَعَالَى:

berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam (QS. Al-Baqarah: 187).

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ - البقرة: ١٨٧

"Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam."

فَقَدْ بَيَّنَتِ الآيَةُ أَنَّهُ لَا يُبَاحُ لِلصَّائِمِ الأَكْلُ وَالشُّرْبُ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ حَتَّى اللَّيْلِ -غُرُوبِ الشَّمْسِ-.

Ayat ini menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk makan dan minum setelah terbit fajar hingga malam (waktu matahari terbenam).

أَمَّا مَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَصِيَامُهُ صَحِيحٌ، وَيَجِبُ عَلَيْهِ الإِمْسَاكُ إِذَا تَذَكَّرَ، أَوْ ذُكِرَ أَنَّهُ صَائِمٌ؛ لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Adapun orang yang makan atau minum karena lupa, maka puasanya tetap sah, dan dia wajib menahan diri (dari makan dan minum) jika telah ingat atau diingatkan bahwa dia sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :

: مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ.

"Barang siapa yang lupa dalam keadaan berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum."


وَيُفْسِدُ الصَّوْمَ بِالسَّعُوطِ (٢)، وَبِكُلِّ مَا يَصِلُ إِلَى الجَوْفِ، وَلَوْ مِنْ غَيْرِ الفَمِ مِمَّا هُوَ فِي حُكْمِ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ كَالإِبَرِ المُغَذِّيَةِ.

Selain itu, puasa juga batal dengan penggunaan sa‘ūṭ (obat yang dimasukkan melalui hidung) serta segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh (jauf), meskipun bukan melalui mulut, jika itu dihukumi seperti makan dan minum, seperti infus yang bersifat nutrisi (memberi asupan gizi).


الثَّانِي: الجِمَاعُ،

Kedua: Jima’ (Bercampur dengan Istri)

الجِمَاعُ، يُبْطِلُ الصِّيَامَ بِالجِمَاعِ، فَمَنْ جَامَعَ وَهُوَ صَائِمٌ بَطَلَ صِيَامُهُ، وَعَلَيْهِ التَّوْبَةُ وَالِاسْتِغْفَارُ، وَقَضَاءُ اليَوْمِ الَّذِي جَامَعَ فِيهِ

Jima' membatalkan puasa. Barang siapa yang melakukan jima' dalam keadaan berpuasa, maka batal puasanya, dan ia wajib bertobat serta memohon ampun kepada Allah, serta wajib mengqadha hari yang ia melakukan jima' di dalamnya.

وَعَلَيْهِ مَعَ القَضَاءِ كَفَّارَةٌ، وَهِيَ عِتْقُ رَقَبَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ صَامَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَطْعَمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا،

Selain mengqadha, ia juga harus membayar kafarat, yaitu:

1. Memerdekakan seorang budak. Jika ia tidak mendapatkannya, maka ia harus,

2. Berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika ia tidak mampu, maka ia harus,

3. Memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin.

Dalilnya adalah hadits berikut ini:

 لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، هَلَكْتُ، فَقَالَ: (مَالَكَ؟)، قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟)، قَالَ: لَا. قَالَ: (هَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟)، قَالَ: لَا، قَالَ: (هَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟)، قَالَ: لَا، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَبَيْنَمَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ -وَالعَرَقُ المُكْتَلُ-، فَقَالَ: (أَيْنَ السَّائِلُ؟)، فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: (خُذْ هَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ)، فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا -يُرِيدُ الحَرَّتَيْنِ- أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

Suatu ketika kami sedang duduk di sisi Nabi , tiba-tiba datang seorang lelaki dan berkata:

"يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلَكْتُ!"

("Wahai Rasulullah, aku binasa!")

Maka beliau bertanya:

"مَا لَكَ؟"

("Apa yang terjadi padamu?")

Lelaki itu menjawab:

"وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ"

("Aku telah mencampuri istriku sedangkan aku sedang berpuasa.")

Maka Rasulullah bersabda:

"هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟"

("Apakah engkau memiliki budak untuk dimerdekakan?")

Lelaki itu menjawab:

"لَا."

("Tidak.")

Beliau bersabda:

"هَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟"

("Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?")

Lelaki itu menjawab:

"لَا."

("Tidak.")

Beliau bersabda lagi:

"هَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟"

("Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?")

Lelaki itu menjawab:

"لَا."

("Tidak.")

Kemudian Nabi pun diam sejenak. Ketika kami masih dalam keadaan demikian, seseorang datang membawa sekeranjang kurma kepada Nabi . Lalu beliau bersabda:

"أَيْنَ السَّائِلُ؟"

("Di mana orang yang bertanya tadi?")

Lelaki itu menjawab:

"أَنَا."

("Saya.")

Beliau bersabda:

"خُذْ هَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ"

("Ambillah ini, lalu bersedekahlah dengannya.")

Lelaki itu berkata:

"أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا -يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ- أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي."

("Apakah aku harus memberikannya kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, di antara dua tanah berbatu di Madinah ini tidak ada keluarga yang lebih miskin daripada keluargaku.")

Maka Nabi tertawa hingga tampak gigi taringnya, kemudian beliau bersabda:

"أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ"

("Berikanlah makanan itu kepada keluargamu.")

(HR. Bukhari dan Muslim)


Makna Jima’

وَفِي مَعْنَى الجِمَاعِ: إِنْزَالُ المَنِيِّ اخْتِيَارًا

Dan dalam makna yang serupa dengan jima‘ adalah keluarnya mani secara sengaja.

فَإِذَا أَنْزَلَ الصَّائِمُ مُخْتَارًا بِتَقْبِيلٍ، أَوْ لَمْسٍ، أَوِ اسْتِمْنَاءٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَسَدَ صَوْمُهُ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنَ الشَّهْوَةِ الَّتِي تُنَاقِضُ الصَّوْمَ، وَعَلَيْهِ القَضَاءُ دُونَ الكَفَّارَةِ؛ لِأَنَّ الكَفَّارَةَ لَا تَلْزَمُ إِلَّا بِالجِمَاعِ فَقَطْ، لِوُرُودِ النَّصِّ خَاصًّا بِهِ.

Jika seorang yang berpuasa mengeluarkan mani dengan sengaja melalui ciuman, sentuhan, onani, atau cara lainnya, maka puasanya batal. Sebab, hal itu termasuk syahwat yang bertentangan dengan puasa.

Namun, ia hanya wajib mengganti (qadha) puasanya tanpa dikenai kafarat, karena kafarat hanya diwajibkan bagi yang melakukan jima‘ saja, berdasarkan dalil yang secara khusus menyebutkan hal tersebut.

أَمَّا إِذَا نَامَ الصَّائِمُ فَاحْتَلَمَ، أَوْ أَنْزَلَ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ كَمَنْ بِهِ مَرَضٌ، فَلَا يُبْطِلُ صِيَامَهُ؛ لِأَنَّهُ لَا اخْتِيَارَ لَهُ فِي ذَلِكَ.

Adapun jika seseorang yang berpuasa tertidur lalu bermimpi basah, atau mengeluarkan mani tanpa disertai syahwat, seperti orang yang mengalami kondisi medis tertentu, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Sebab, ia tidak memiliki kehendak atau pilihan dalam kejadian tersebut.

Kesimpulan (sebab dan hukuman):
Jika sebab keluar mani karena:

1.   Jima’ maka wajib qadha dan kafarat.

2.   Ciuman, sentuhan, onani, atau cara lainnya maka wajib qadha.

3.   Mimpi maka tidak batal.


الثَّالِثُ: التَّقَيُّؤُ عَمْدًا

Ketiga: Muntah dengan sengaja

وَهُوَ إِخْرَاجُ مَا فِي المَعِدَةِ مِنْ طَعَامٍ أَوْ شَرَابٍ عَنْ طَرِيقِ الفَمِ عَمْدًا، أَمَّا إِذَا غَلَبَهُ القَيْءُ وَخَرَجَ مِنْهُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ، فَلَا يُؤَثِّرُ فِي صِيَامِهِ

yaitu mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui mulut secara disengaja. Adapun jika muntah terjadi tanpa disengaja, maka hal itu tidak mempengaruhi puasanya.

لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Hal ini berdasarkan sabda Nabi :

مَنْ ذَرَعَهُ القَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَمَنْ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ

"Barang siapa yang muntah tanpa disengaja, maka tidak ada kewajiban qadha baginya. Namun, siapa yang sengaja muntah, maka hendaklah ia mengganti puasanya." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)


Keempat: Hijamah (bekam)

الرَّابِعُ: الحِجَامَةُ

وَهِيَ إِخْرَاجُ الدَّمِ مِنَ الجِلْدِ دُونَ العُرُوقِ، فَمَتَى احْتَجَمَ الصَّائِمُ فَقَدْ أَفْسَدَ صَوْمَهُ؛

Yaitu mengeluarkan darah dari kulit tanpa melalui pembuluh darah. Jika seseorang yang berpuasa melakukan hijamah, maka puasanya batal,

لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Berdasarkan sabda Nabi :

أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ

"Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

وَكَذَا يُفْسِدُ صَوْمَ الحَاجِمِ أَيْضًا، إِلَّا إِذَا حَجَمَهُ بِآلَاتٍ مُنْفَصِلَةٍ، وَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى مَصِّ الدَّمِ، فَإِنَّهُ -وَاللهُ أَعْلَمُ- لَا يُفْطِرُ.

Demikian pula, orang yang melakukan hijamah (pembekam) juga batal puasanya, kecuali jika ia melakukan hijamah dengan alat yang terpisah dan tidak membutuhkan penghisapan darah, maka—wallahu a'lam—puasanya tidak batal.

وَفِي مَعْنَى الحِجَامَةِ: إِخْرَاجُ الدَّمِ بِالفَصْدِ ، وَإِخْرَاجُهُ مِنْ أَجْلِ التَّبَرُّعِ بِهِ.

Yang memiliki hukum serupa dengan hijamah adalah mengeluarkan darah dengan fashdu (mengeluarkan darah dari pembuluh darah) dan mendonorkan darah.

أَمَّا خُرُوجُ الدَّمِ بِالجُرْحِ، أَوْ قَلْعِ الضِّرْسِ، أَوِ الرُّعَافِ فَلَا يَضُرُّ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِحِجَامَةٍ، وَلَا فِي مَعْنَاهَا.

 

Adapun darah yang keluar karena luka, pencabutan gigi, atau mimisan, maka itu tidak membatalkan puasa karena tidak termasuk dalam kategori hijamah maupun sesuatu yang serupa dengannya.


الخَامِسُ: خُرُوجُ دَمِ الحَيْضِ وَالنِّفَاسِ

Kelima: Keluarnya darah haid dan nifas

فَمَتَى رَأَتِ المَرْأَةُ دَمَ الحَيْضِ أَوِ النِّفَاسِ أَفْطَرَتْ، وَوَجَبَ عَلَيْهَا القَضَاءُ

Apabila seorang wanita melihat darah haid atau nifas, maka puasanya batal dan ia wajib menggantinya (qadha).

؛ لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي المَرْأَةِ

Hal ini berdasarkan sabda Nabi tentang wanita:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ، وَلَمْ تَصُمْ

".... Bukankah jika seorang wanita sedang haid, ia tidak shalat dan tidak berpuasa?" (HR. Bukhari dan Muslim)


السَّادِسُ: نِيَّةُ الفِطْرِ

Keenam: Niat berbuka

فَمَنْ نَوَى الفِطْرَ قَبْلَ وَقْتِ الإِفْطَارِ وَهُوَ صَائِمٌ، بَطَلَ صَوْمُهُ، وَإِنْ لَمْ يَتَنَاوَلْ مُفْطِرًا

Barang siapa yang berniat berbuka sebelum waktu berbuka (maghrib) padahal ia sedang berpuasa, maka puasanya batal, meskipun ia belum mengonsumsi sesuatu yang membatalkan.

فَإِنَّ النِّيَّةَ أَحَدُ رُكْنَيْ الصِّيَامِ، فَإِذَا نَقَضَهَا قَاصِدًا الفِطْرَ، وَمُتَعَمِّدًا لَهُ، انْتَقَضَ صِيَامُهُ.

Sebab, niat adalah salah satu dari dua rukun puasa. Jika seseorang membatalkannya dengan sengaja dan bertekad untuk berbuka, maka puasanya pun batal.


السَّابِعُ: الرِّدَّةُ

Ketujuh: Riddah (murtad)

لِمُنَافَاتِهَا لِلْعِبَادَةِ، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى:

Murtad membatalkan puasa karena bertentangan dengan ibadah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

﴿لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ﴾

"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu." (QS. Az-Zumar: 65)

Murtad secara umum membatalkan seluruh amal ibadah, termasuk puasa, karena seseorang yang keluar dari Islam maka amalnya menjadi sia-sia. Allah berfirman:

وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَٰنِ فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

"Dan barang siapa yang kafir setelah beriman, maka hapuslah amalannya dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Al-Ma'idah: 5)

Sehingga, jika seseorang murtad di siang hari saat berpuasa, puasanya batal. Jika ia kembali masuk Islam, maka ia harus mengqadha puasanya.

Para ulama juga memasukkan murtad sebagai salah satu pembatal puasa, karena puasa adalah ibadah yang hanya diterima dari seorang Muslim.


Catatan dari Kajian ini


 

  1. Pengertian Hal-hal yang Membatalkan Puasa

    • Hal-hal yang membatalkan puasa adalah segala sesuatu yang merusak puasa seseorang dan menyebabkan ia berbuka.
  2. Makan dan Minum dengan Sengaja

    • Berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 187, setelah terbit fajar hingga terbenam matahari, seorang yang berpuasa tidak boleh makan atau minum.
    • Jika makan dan minum karena lupa, puasanya tetap sah dan harus tetap menahan diri saat ingat kembali.
    • Masuknya sesuatu ke dalam tubuh melalui cara yang sama seperti makan dan minum (misalnya suntikan nutrisi) juga membatalkan puasa.
  3. Jima' (Hubungan Suami Istri)

    • Melakukan hubungan suami istri di siang hari saat berpuasa membatalkan puasa dan mewajibkan:
      a) Taubat dan istighfar atas perbuatannya.
      b) Mengqadha (mengganti) puasa yang batal.
      c) Membayar kafarat, yaitu membebaskan budak. Jika tidak mampu, harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak sanggup juga, maka harus memberi makan 60 orang miskin.
    • Jika seseorang mengeluarkan mani dengan sengaja (karena berciuman, menyentuh, atau masturbasi), puasanya batal dan wajib qadha, tetapi tidak terkena kafarat.
    • Jika keluar mani karena mimpi atau sebab di luar kehendak, puasanya tetap sah.
  4. Muntah dengan Sengaja

    • Jika seseorang memuntahkan isi perutnya dengan sengaja, puasanya batal dan wajib mengqadha.
    • Jika muntah terjadi tanpa sengaja, puasanya tetap sah.
  5. Berbekam (Hijamah) dan Mengeluarkan Darah

    • Rasulullah ﷺ bersabda: "Orang yang membekam dan yang dibekam, keduanya batal puasanya."
    • Oleh karena itu, bekam, fasd (mengeluarkan darah dengan cara tertentu), dan donor darah membatalkan puasa.
    • Jika darah keluar karena luka, mimisan, atau cabut gigi, maka tidak membatalkan puasa.
  6. Haid dan Nifas

    • Jika seorang wanita mengalami haid atau nifas, maka puasanya batal dan wajib menggantinya di hari lain.

Kesimpulan Umum:

  • Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan menyebabkan sesuatu masuk ke dalam tubuh atau mengeluarkan sesuatu secara spesifik dapat membatalkan puasa.
  • Ada perbedaan antara batalnya puasa yang mewajibkan qadha saja dan yang mewajibkan qadha serta kafarat.
  • Allah memberikan kemudahan bagi mereka yang lupa atau tidak sengaja melakukan sesuatu yang membatalkan puasa.

Kajian ini menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menjalankan puasa serta memahami konsekuensi dari hal-hal yang dapat membatalkan ibadah ini.

 


Penutup Kajian


 Hadirin yang dirahmati Allah, setelah kita mengkaji hadits-hadits tentang pembatal puasa, kita semakin memahami betapa pentingnya menjaga ibadah puasa agar tidak hanya sah secara fiqh, tetapi juga sempurna dalam nilai dan maknanya. Hadits-hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menjaga hati, lisan, dan anggota tubuh dari segala hal yang bisa merusak pahala puasa.

Di antara faedah yang dapat kita ambil dari kajian ini adalah:

  1. Memahami dengan benar perkara-perkara yang membatalkan puasa sehingga kita bisa berhati-hati dan tidak terjerumus dalam kelalaian yang bisa mengurangi atau bahkan membatalkan ibadah kita.
  2. Menjaga kualitas puasa dengan akhlak yang baik, menjauhi perkataan dusta, ghibah, dan perbuatan maksiat yang bisa menghilangkan pahala puasa kita.
  3. Menjadikan puasa sebagai sarana meningkatkan ketakwaan, sebagaimana tujuan yang disebutkan dalam firman Allah:
    لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
    “… agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Harapannya, setelah kita memahami hadits ini, kita bisa lebih berhati-hati dalam menjalankan ibadah puasa, tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjaga hati dan perilaku agar sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Mari kita jadikan puasa sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ, memperbaiki akhlak, dan meningkatkan kualitas ibadah kita secara keseluruhan.

Semoga ilmu yang telah kita pelajari hari ini menjadi ilmu yang bermanfaat, yang kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari, dan yang akan menjadi pemberat timbangan amal kebaikan kita di akhirat kelak. Semoga Allah ﷻ menerima ibadah puasa kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.

 

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers