Kajian: Zakat Harta atas Barang Dagangan (Kitab Minhajul Muslim)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Hadirin sekalian yang dirahmati oleh Allah,

Pada kesempatan yang penuh keberkahan ini, kita akan mengkaji sebuah tema penting dalam fikih muamalah, yakni zakat atas barang dagangan. Mengapa kita perlu membahasnya? Karena dalam praktiknya, banyak di antara kaum muslimin—terutama para pedagang, pengusaha, dan pemilik usaha—belum memahami bagaimana perhitungan zakat perdagangan secara benar sesuai dengan tuntunan syariat.

Saat ini, kita menyaksikan bagaimana dunia perdagangan menjadi pilar utama dalam ekonomi umat. Dari pedagang kecil di pasar hingga pemilik perusahaan besar, semua berusaha mengembangkan bisnisnya. Namun, di tengah pertumbuhan ini, ada sebuah permasalahan besar yang sering terabaikan: banyak pelaku usaha yang tidak menunaikan zakat dagangannya, baik karena ketidaktahuan, kelalaian, atau bahkan anggapan bahwa harta dalam bisnis tidak terkena kewajiban zakat sebagaimana emas dan perak.

Hal ini menjadi persoalan serius karena zakat bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga instrumen utama dalam distribusi ekonomi yang adil. Jika para pedagang dan pengusaha menunaikan zakat sebagaimana yang diperintahkan, maka kekayaan akan lebih merata, ekonomi umat akan lebih seimbang, dan kesenjangan sosial akan berkurang. Namun sebaliknya, jika zakat diabaikan, maka akan muncul ketimpangan ekonomi yang semakin tajam, di mana segelintir orang menguasai kekayaan sementara banyak kaum dhuafa tetap terpuruk dalam kemiskinan.

Lebih dari itu, sebagian pedagang masih belum memahami perbedaan antara barang dagangan yang mudarah (aktif diperdagangkan) dan yang ihtikar (ditimbun untuk dijual saat harga naik). Hal ini menyebabkan kesalahan dalam perhitungan zakat, baik karena membayar lebih dari yang seharusnya atau justru menghindari kewajiban zakat dengan berbagai dalih.

Maka dari itu, dalam kajian ini kita akan membahas secara mendalam mengenai:
Bagaimana hukum zakat atas barang dagangan?
Apa perbedaan antara barang dagangan yang aktif diperjualbelikan dan yang ditimbun?
Bagaimana cara menghitung zakat perdagangan secara benar?
Apa hikmah dari pensyariatan zakat perdagangan bagi kesejahteraan umat?

Semoga dengan memahami kajian ini, kita dapat menjalankan kewajiban zakat dengan lebih baik, membersihkan harta kita, dan berkontribusi dalam membangun perekonomian umat yang lebih adil dan berkah. Mari kita simak pembahasan ini dengan penuh perhatian dan niat yang ikhlas, agar ilmu ini menjadi bekal yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat kita.

Bismillah


Dalam Kitab Minhajul Muslim Bab Zakat disebutkan ketentuan yang berkenaan dengan zakat atas barang dagangan,yaitu:

عُرُوضُ التِّجَارَةِ : وَهِيَ إِمَّا مُدَارَةٌ أَوْ مُحْتَكَرَةٌ، فَإِنْ كَانَتْ مُدَارَةً قُوِّمَتْهَا بِالنُّقُودِ رَأْسَ كُلِّ حَوْلٍ، فَإِنْ بَلَغَتْ نِصَابًا، وَإِنْ لَمْ تَبْلُغْ وَلَكِنْ لَدَيْهِ نُقُودٌ أُخْرَى غَيْرُهَا زَكَّاهَا بِنِسْبَةِ اِثْنَيْنِ وَنِصْفٍ فِي الْمِائَةِ، وَإِنْ كَانَتْ مُحْتَكَرَةً زَكَّاهَا يَوْمَ بَيْعِهَا لِسَنَةٍ وَاحِدَةٍ وَلَوْ مَكَثَتْ أَعْوَامًا عِنْدَهُ، يَنْتَظِرُ بِهَا غَلَاءَ الْأَسْعَارِ.

Barang Dagangan:
Barang dagangan terbagi menjadi dua jenis:

mudarah (diperdagangkan secara aktif) atau

muḥtakirah (ditahan untuk dijual ketika harga naik).

Jika barang tersebut mudarah (diperdagangkan secara aktif), maka ia dinilai dengan uang pada setiap akhir tahun. Jika nilainya mencapai nisab (batas minimal wajib zakat), maka zakatnya dikeluarkan. Jika belum mencapai nisab, tetapi pemiliknya memiliki uang lain yang melengkapinya hingga mencapai nisab, maka zakatnya tetap dikeluarkan dengan kadar 2,5%.

Jika barang tersebut muḥtakirah (ditahan dan tidak diperdagangkan hingga harga naik), maka zakatnya hanya dikeluarkan sekali, yaitu pada saat barang tersebut dijual, meskipun telah disimpan selama bertahun-tahun menunggu kenaikan harga.



Arti dan Penjelasan Per Kalimat


عُرُوضُ التِّجَارَةِ : وَهِيَ إِمَّا مُدَارَةٌ أَوْ مُحْتَكَرَةٌ
"Barang dagangan: yaitu bisa berupa barang yang diperjualbelikan secara aktif (mudarah) atau ditimbun untuk dijual saat harga naik (iḥtikar)."

Barang dagangan dalam Islam dibedakan menjadi dua jenis:

mudarah, yaitu barang yang secara aktif diperdagangkan dan terus berputar dalam jual beli, serta

iḥtikar, yaitu barang yang ditimbun atau disimpan dalam waktu lama dengan tujuan dijual saat harga naik. Pembagian ini berpengaruh pada cara perhitungan zakatnya.


فَإِنْ كَانَتْ مُدَارَةً قُوِّمَتْهَا بِالنُّقُودِ رَأْسَ كُلِّ حَوْلٍ
"Jika barang dagangan tersebut aktif diputar dalam perdagangan, maka ia dinilai dengan uang tunai setiap akhir tahun."

Barang dagangan yang terus diperjualbelikan harus dihitung nilainya dalam bentuk uang tunai setiap akhir tahun untuk menentukan apakah sudah mencapai nisab zakat atau belum. Artinya, seorang pedagang harus melakukan evaluasi terhadap nilai barang dagangan yang dimilikinya dan menyesuaikannya dengan harga pasar pada saat itu.


فَإِنْ بَلَغَتْ نِصَابًا، وَإِنْ لَمْ تَبْلُغْ وَلَكِنْ لَدَيْهِ نُقُودٌ أُخْرَى غَيْرُهَا زَكَّاهَا بِنِسْبَةِ اِثْنَيْنِ وَنِصْفٍ فِي الْمِائَةِ
"Jika nilainya mencapai nisab, maka wajib dizakati. Jika tidak mencapai nisab, tetapi ia memiliki uang lain yang cukup untuk menyempurnakan nisab, maka tetap wajib dizakati dengan kadar 2,5%."

Jika nilai total barang dagangan telah mencapai nisab, maka wajib dizakati sebesar 2,5% dari total nilainya. Namun, jika nilainya belum mencapai nisab tetapi pemilik memiliki uang tunai lain yang cukup untuk melengkapi nisab, maka tetap wajib dizakati. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memperhitungkan kekayaan secara keseluruhan dalam menentukan kewajiban zakat.


وَإِنْ كَانَتْ مُحْتَكَرَةً زَكَّاهَا يَوْمَ بَيْعِهَا لِسَنَةٍ وَاحِدَةٍ
"Jika barang tersebut ditimbun, maka zakatnya dibayarkan pada hari barang itu dijual, untuk satu tahun saja."

Jika seorang pedagang menyimpan barang dagangannya dan tidak menjualnya selama bertahun-tahun, maka zakatnya tidak dihitung setiap tahun seperti barang dagangan biasa. Zakat baru wajib dibayarkan saat barang tersebut dijual, dan hanya untuk satu tahun, meskipun barang itu telah disimpan dalam waktu lama.


وَلَوْ مَكَثَتْ أَعْوَامًا عِنْدَهُ، يَنْتَظِرُ بِهَا غَلَاءَ الْأَسْعَارِ.
"Meskipun barang itu disimpan bertahun-tahun, menunggu kenaikan harga."

Barang yang ditimbun dengan tujuan dijual saat harga naik tetap hanya dikenakan zakat untuk satu tahun saat dijual, tidak setiap tahun selama penyimpanan. Ini merupakan bentuk kemudahan dalam Islam agar pedagang tidak terbebani dengan zakat bertahun-tahun atas barang yang belum menghasilkan keuntungan.


Kesimpulan

Zakat perdagangan dalam Islam dibedakan menjadi mudarah (barang yang aktif diperjualbelikan) yang wajib dizakati setiap tahun, dan iḥtikar (barang yang ditimbun) yang hanya dizakati saat dijual untuk satu tahun saja.

Jika barang dagangan mencapai nisab, maka wajib dizakati sebesar 2,5% dari nilainya. Jika belum mencapai nisab tetapi terdapat uang tunai lain yang melengkapinya, tetap wajib dizakati.

Pembagian ini mencegah praktik penimbunan berlebihan dan mendorong perputaran ekonomi yang sehat, sekaligus memberikan kemudahan bagi pedagang agar tidak terbebani zakat bertahun-tahun atas barang yang belum menghasilkan keuntungan.


Pelajaran dari Zakat Piutang


 Kajian tentang ‘Urūḍ at-Tijārah (barang dagangan) dalam teks di atas memberikan beberapa pelajaran penting dalam ekonomi Islam, khususnya terkait dengan zakat perdagangan. Berikut adalah pelajaran yang dapat diambil secara rinci:

1. Klasifikasi Barang Dagangan dalam Islam

Barang dagangan dalam Islam terbagi menjadi dua kategori:

  • Mudārah (مدارة) → Barang yang diperjualbelikan secara aktif dalam bisnis.
  • Muḥtakirah (محتكرة) → Barang yang ditahan dan tidak diperdagangkan langsung, melainkan disimpan untuk dijual ketika harga naik.

Pemahaman ini penting bagi para pedagang agar mengetahui kewajiban zakat mereka sesuai dengan jenis perdagangan yang mereka jalankan.

2. Cara Perhitungan Zakat Perdagangan

  • Untuk barang dagangan yang diperdagangkan aktif (Mudārah)
    • Harus dinilai dalam bentuk uang setiap akhir tahun.
    • Jika nilainya mencapai niṣāb (senilai 85 gram emas), maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari total nilai barang.
    • Jika belum mencapai niṣāb, tetapi pemilik memiliki harta lain (misalnya uang tunai) yang dapat melengkapinya hingga mencapai niṣāb, maka tetap wajib dizakati.
  • Untuk barang yang ditahan (Muḥtakirah)
    • Tidak dikenai zakat setiap tahun seperti barang dagangan aktif.
    • Zakat hanya wajib ketika barang tersebut dijual.
    • Zakat yang dikeluarkan hanya untuk satu tahun meskipun barang itu telah disimpan bertahun-tahun menunggu kenaikan harga.

3. Prinsip Keadilan dalam Zakat Perdagangan

Islam membedakan antara barang yang diperdagangkan aktif dan barang yang ditahan untuk memastikan bahwa kewajiban zakat tidak menjadi beban yang berlebihan bagi pedagang:

  • Pedagang yang menjual barang secara aktif terkena zakat setiap tahun karena perputaran modalnya lebih cepat.

  • Pedagang yang menahan barang hingga harga naik hanya dikenai zakat sekali saat barang tersebut terjual, karena harta tersebut tidak produktif selama dalam penyimpanan.

Ini menunjukkan bahwa Islam memperhatikan keadilan ekonomi dengan menyesuaikan kewajiban zakat berdasarkan sifat perniagaan yang dilakukan.

4. Hikmah Pensyariatan Zakat pada Perdagangan

  • Mencegah penumpukan harta secara tidak produktif → Jika semua harta dikenai zakat setiap tahun, orang akan terdorong untuk menggerakkan modalnya dalam aktivitas produktif.

  • Mendorong peredaran kekayaan dalam masyarakat → Uang dan barang dagangan yang dizakati akan membantu fakir miskin dan pihak yang membutuhkan, sehingga mengurangi kesenjangan ekonomi.

  • Menghindari spekulasi yang merugikan masyarakat umum → Orang yang menahan barang dagangan untuk menaikkan harga tetap diwajibkan zakat saat menjualnya, sehingga ada beban ekonomi yang mengurangi kecenderungan melakukan spekulasi ekstrem.

5. Sistem Zakat Perdagangan Dalam Islam

Kajian ini menunjukkan bahwa Islam memiliki sistem zakat perdagangan yang:
Adil, karena mempertimbangkan jenis perdagangan yang dilakukan.
Mendorong perputaran ekonomi, dengan mewajibkan zakat tahunan bagi perdagangan aktif.
Menghambat spekulasi berlebihan, dengan hanya mengenakan zakat sekali bagi barang yang ditahan hingga harga naik.
Mewujudkan kesejahteraan sosial, karena harta yang dizakati akan membantu mereka yang membutuhkan.

Dengan memahami aturan ini, para pedagang Muslim dapat menjalankan bisnis mereka sesuai dengan prinsip ekonomi syariah dan tetap menunaikan kewajiban zakat dengan benar.

 


Cara Perhitungan Zakat Perdagangan


Untuk memahami cara menghitung zakat perdagangan, kita akan menggunakan contoh nyata dengan angka-angka sebagai berikut:

📌 Kasus Perdagangan

Seorang pedagang memiliki sebuah usaha dagang. Setelah satu tahun (haul), ia melakukan perhitungan harta dagangannya dengan rincian berikut:

  • Barang dagangan yang masih ada (stok) = Rp 200.000.000
  • Kas yang dimiliki = Rp 100.000.000
  • Piutang yang diharapkan kembali = Rp 50.000.000
  • Utang jangka pendek yang harus dibayar dalam waktu dekat = Rp 30.000.000

📌 Langkah-langkah Perhitungan Zakat Perdagangan

1️⃣ Menentukan total aset zakat


\text{Total aset zakat} = \text{stok barang dagangan} + \text{kas} + \text{piutang yang bisa kembali}

= 200.000.000 + 100.000.000 + 50.000.000

= 350.000.000

2️⃣ Mengurangi utang jangka pendek yang harus dibayar (utang ini harus sudah dibayar ketika penghitungan zakat)


\text{Harta bersih yang dikenai zakat} = 350.000.000 - 30.000.000

= 320.000.000

3️⃣ Memastikan telah mencapai nisab
Nisab zakat perdagangan disamakan dengan nisab emas, yaitu 85 gram emas. Misalkan harga emas per gram saat ini adalah Rp 1.200.000, maka:


\text{Nisab} = 85 \times 1.200.000 = 102.000.000

Karena harta yang dikenai zakat sebesar Rp 320.000.000 telah melebihi nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya.

4️⃣ Menghitung zakat yang harus dibayarkan
Zakat perdagangan dikenakan sebesar 2,5% (1/40) atau (2,5/100) dari harta yang telah mencapai nisab:


\text{Zakat} = 320.000.000 \times \frac{2,5}{100}

📌 Kesimpulan

Pedagang tersebut wajib membayar zakat sebesar Rp 8.000.000 setelah satu tahun usaha berjalan. Zakat ini bisa diberikan kepada fakir, miskin, amil zakat, mualaf, budak (riqab), orang yang berutang (gharim), fi sabilillah, dan ibnu sabil.


Penutup Kajian


 Hadirin yang dirahmati Allah,

Setelah kita mengkaji zakat atas barang dagangan, kita semakin memahami bahwa zakat bukan sekadar kewajiban ibadah individual, tetapi juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang sangat luas. Dari pembahasan ini, ada beberapa faedah besar yang bisa kita ambil sebagai bekal dalam kehidupan kita.

Pertama, zakat perdagangan adalah bentuk ketaatan kepada Allah dalam menyucikan harta dan usaha kita. Harta yang kita peroleh dari perdagangan bukan hanya hasil usaha dan kerja keras, tetapi juga ujian dari Allah, apakah kita menunaikan hak-hak orang lain di dalamnya.

Kedua, zakat adalah pilar utama dalam ekonomi syariah yang menjamin distribusi kekayaan yang lebih adil. Ketika para pedagang, pengusaha, dan pemilik usaha menunaikan zakatnya, maka harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, tetapi juga mengalir ke saudara-saudara kita yang membutuhkan. Inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada keuntungan individu.

Ketiga, zakat dapat menjadi solusi bagi berbagai permasalahan ekonomi umat. Banyak orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan ada yang kesulitan mendapatkan modal usaha. Jika zakat ditunaikan dengan baik, maka dana zakat dapat digunakan untuk membantu para dhuafa, mendukung UMKM berbasis syariah, dan memperkuat ekonomi berbasis halal.

Keempat, zakat perdagangan mengajarkan kita konsep keadilan dalam bisnis. Islam tidak melarang seseorang menjadi kaya, tetapi mengingatkan bahwa dalam kekayaan ada hak bagi mereka yang kurang mampu. Oleh karena itu, seorang pedagang yang bertakwa tidak hanya memikirkan keuntungan dunia, tetapi juga bagaimana bisnisnya menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang halal dan berkah.

Hadirin sekalian,

Dari kajian ini, harapan besar kita adalah agar setiap peserta mampu mengimplementasikan ilmu yang telah dipelajari. Jangan sampai kita hanya memahami teori zakat perdagangan, tetapi tidak menerapkannya dalam bisnis dan usaha kita. Bagi yang sudah memiliki usaha, mari mulai menghitung zakat perdagangan kita dengan benar. Bagi yang baru memulai bisnis, niatkan sejak awal untuk berzakat sebagai bagian dari keberkahan usaha. Dan bagi yang belum memiliki usaha, pahamilah bahwa zakat bukan hanya sekadar rukun Islam, tetapi juga sistem ekonomi yang jika diterapkan dengan baik, akan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh umat.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersih hartanya, berkah usahanya, dan mendapat pahala besar dari setiap harta yang kita keluarkan di jalan-Nya.

Akhirnya, kita tutup kajian kita dengan membaca doa kafaratul majelis:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers