Hadits: Kesempurnaan Iman dengan Mencintai Kebaikan untuk Sesama
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Di tengah kehidupan masyarakat kita hari ini, kita menyaksikan banyak bentuk hubungan sosial yang rapuh. Di balik senyuman kadang tersimpan iri hati. Di balik pujian, terkadang tersembunyi hasad. Betapa sering kita melihat seseorang susah menerima keberhasilan saudaranya, enggan berbagi peluang, bahkan terkadang lebih senang melihat orang lain gagal agar dirinya tampak lebih unggul.
Padahal, Islam adalah agama yang membangun ukhuwah, kasih sayang, dan empati. Salah satu pondasi terpenting dari bangunan sosial dalam Islam adalah hadits agung ini: “Tidak beriman salah satu dari kalian, sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” Hadits ini bukan sekadar ajakan bersikap baik, tetapi indikator keutuhan iman seorang muslim. Ia menyentuh akar persoalan yang paling mendasar dalam interaksi kita: hati yang bersih, niat yang tulus, dan cinta yang murni karena Allah.
Mengapa hadits ini penting untuk dikaji? Karena ia merupakan tolok ukur kualitas iman kita. Ia mengajarkan kepada kita bahwa keimanan bukan sekadar shalat dan puasa, tetapi juga bagaimana kita memperlakukan sesama muslim. Apakah kita senang melihat saudara kita dalam kebaikan, atau malah sempit dada melihat mereka diberi nikmat? Apakah kita turut mendoakan mereka dalam diam, atau hanya mencari celah kekurangannya?
Maka, hadits ini bukan hanya teori—ia adalah cermin. Cermin untuk melihat ke dalam hati kita, sejauh mana kita benar-benar menginginkan kebaikan bagi orang lain sebagaimana kita menginginkannya untuk diri kita sendiri.
Dari Anas radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah salah seorang dari kalian beriman, hingga ia
mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”
HR. al-Bukhari (12), Muslim (45), al-Tirmidzi (2515),
al-Nasa’i dalam al-Sunan al-Kubrā (11604), dan Ibn
Mājah (4217).
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
Tidaklah salah seorang dari kalian beriman
Perkataan ini menunjukkan penafian iman yang sempurna.
Iman di sini bukan berarti hilang seluruh keimanan, namun maksudnya adalah
tidak sempurna keimanannya.
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa iman tidak hanya sekadar keyakinan dalam
hati, tapi harus terwujud dalam akhlak terhadap sesama.
حَتَّى يُحِبَّ
Hingga ia mencintai
Kata "حَتَّى"
menunjukkan batas atau syarat tercapainya iman yang sempurna.
"يُحِبَّ" adalah bentuk fi'il mudhāri’ yang berarti 'ia mencintai',
menunjukkan sesuatu yang terus-menerus dan mendalam.
Cinta di sini bukan hanya perasaan emosional, tetapi tindakan nyata dalam
bentuk keinginan kebaikan bagi orang lain.
لِأَخِيهِ
Untuk saudaranya
Yang dimaksud saudara di sini adalah sesama Muslim.
Namun sebagian ulama memperluas maknanya mencakup semua manusia dalam konteks
sosial dan kemanusiaan.
Penggunaan kata "saudara" menanamkan rasa ukhuwah, persaudaraan yang
lahir dari iman.
مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri
Ini adalah standar etika tertinggi: menimbang kebaikan
untuk orang lain sebagaimana menimbang untuk diri sendiri.
Meliputi kebaikan dalam urusan dunia maupun akhirat, seperti keselamatan,
kemuliaan, dan hidayah.
Hadits ini menanamkan empati, keadilan sosial, dan semangat persaudaraan dalam
Islam.
Syarah Hadits
يُبَيِّنُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي هَذَا الحَدِيثِ الجَلِيلِ
Nabi ﷺ menjelaskan dalam hadits agung ini
-الَّذِي قِيلَ فِيهِ: إِنَّهُ رُبُعُ
الإِسْلَامِ،
yang telah dikatakan tentangnya: bahwa ia merupakan seperempat dari Islam
وَمِن أَحَادِيثَ أَرْبَعَةٍ تَتَفَرَّعُ
عَنْهَا جِمَاعُ آدَابِ الخَيْرِ-
dan termasuk dalam empat hadits yang darinya bercabang seluruh adab kebaikan
أَنَّهُ لَا يَتَحَقَّقُ الإِيمَانُ الكَامِلُ
لِأَحَدٍ مِنَ المُسْلِمِينَ
bahwa tidak akan terwujud iman yang sempurna bagi salah seorang dari kaum
muslimin
-وَالنَّفْيُ هُنَا لَا يُقْصَدُ بِهِ نَفْيُ
أَصْلِ الإِيمَانِ، وَإِنَّمَا نَفْيُ الكَمَالِ-
dan penafian di sini bukanlah penafian terhadap pokok iman, melainkan penafian
terhadap kesempurnaannya
حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ
hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri
مِنَ الطَّاعَاتِ وَأَنْوَاعِ الخَيْرَاتِ فِي
الدِّينِ وَالدُّنْيَا،
berupa ketaatan dan berbagai jenis kebaikan dalam urusan agama maupun dunia
وَيَكْرَهَ لَهُ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ،
dan membenci untuk saudaranya apa yang ia benci untuk dirinya sendiri
فَإِنْ رَأَى فِي أَخِيهِ المُسْلِمِ نَقْصًا
فِي دِينِهِ، اجْتَهَدَ فِي إِصْلَاحِهِ،
jika ia melihat pada saudaranya sesama muslim kekurangan dalam agamanya, maka
ia bersungguh-sungguh memperbaikinya
وَإِنْ رَأَى فِيهِ خَيْرًا سَدَّدَهُ
وَأَعَانَهُ عَلَى الثَّبَاتِ عَلَيْهِ وَالزِّيَادَةِ مِنْهُ؛
dan jika ia melihat kebaikan padanya, maka ia mengarahkan dan membantunya untuk
tetap teguh serta menambah kebaikan tersebut
فَلَا يَكُونُ المُؤْمِنُ مُؤْمِنًا حَقًّا
حَتَّى يَرْضَى لِلنَّاسِ مَا يَرْضَاهُ لِنَفْسِهِ،
maka seorang mukmin tidak menjadi mukmin yang sejati hingga ia ridha untuk
orang lain apa yang ia ridha untuk dirinya sendiri
وَهَذَا إِنَّمَا يَأْتِي مِن كَمَالِ سَلَامَةِ
الصَّدْرِ
dan hal ini hanya akan datang dari kesempurnaan bersihnya hati
مِنَ الغِلِّ وَالغِشِّ وَالحَسَدِ؛
dari penyakit hati seperti dendam, tipu daya, dan hasad
فَإِنَّ الحَسَدَ يَقْتَضِي أَنْ يَكْرَهَ
الحَاسِدُ أَنْ يَفُوقَهُ أَحَدٌ فِي خَيْرٍ، أَوْ يُسَاوِيَهُ فِيهِ؛
karena hasad menuntut agar orang yang hasad membenci jika ada orang lain
melebihinya dalam kebaikan, atau menyamainya di dalamnya
لِأَنَّهُ يُحِبُّ أَنْ يَمْتَازَ عَلَى
النَّاسِ بِفَضَائِلِهِ، وَيَنْفَرِدَ بِهَا عَنْهُمْ،
karena ia suka menonjol di atas orang lain dengan keutamaannya dan ingin
memilikinya secara eksklusif
وَالإِيمَانُ يَقْتَضِي خِلَافَ ذَلِكَ،
sedangkan iman menuntut kebalikan dari itu
وَهُوَ أَنْ يُشَارِكَهُ المُؤْمِنُونَ
كُلُّهُمْ فِيمَا أَعْطَاهُ اللهُ مِنَ الخَيْرِ.
yaitu agar seluruh kaum mukminin turut serta dalam apa yang Allah anugerahkan
kepadanya berupa kebaikan
Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/7324
Pelajaran dari Hadits ini
1.
Keimanan Seseorang Tidak Sempurna Tanpa Akhlak Sosial
Perkataan لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ (Tidaklah salah
seorang dari kalian beriman) menunjukkan bahwa keimanan yang dimaksud oleh
Nabi ﷺ bukanlah semata pengakuan dalam hati, tetapi mencakup
kesempurnaan iman yang harus dibuktikan dengan amal dan akhlak terhadap orang
lain. Iman yang sempurna berkaitan langsung dengan perilaku sosial. Jika
seorang Muslim tidak peduli dengan kebaikan saudaranya, maka imannya belum mencapai
derajat sempurna. Allah juga menegaskan hubungan antara iman dan amal dalam
firman-Nya dalam QS. Al-‘Ashr ayat 3:
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya: kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati
untuk kebenaran dan kesabaran).
2.
Cinta kepada Sesama adalah Syarat Kesempurnaan Iman
Perkataan حَتَّى يُحِبَّ (Hingga ia mencintai) menegaskan
bahwa iman yang sempurna terwujud hanya jika seorang Muslim memiliki cinta yang
tulus kepada saudaranya. Cinta ini bukan sekadar rasa, tetapi manifestasi dari
niat baik, keinginan melihat orang lain berada dalam kebaikan, dan kesiapan
membantu mereka. Cinta menjadi ruh dalam hubungan antar manusia dan menjadi
tanda keshalihan batin.
3.
Konsep Persaudaraan dalam Islam Bersifat Luas dan Dalam
Perkataan لِأَخِيهِ (Untuk saudaranya) menunjukkan
konsep ukhuwah persaudaraandalam Islam yang bersifat spiritual dan sosial. Kata
“saudara” bukan hanya saudara kandung, tetapi mencakup seluruh kaum Muslimin
sebagai satu tubuh. Dalam konteks kemanusiaan, sebagian ulama memperluasnya
hingga mencakup semua manusia dalam hal kebaikan umum. Al-Qur’an menggambarkan
persaudaraan ini dalam QS. Al-Hujurāt ayat 10:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Artinya: Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu.
Persaudaraan
ini membawa tanggung jawab saling menasihati, menolong, dan melindungi.
4.
Standar Etika Islam adalah Empati dan Keadilan
Perkataan مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ Apa yang ia
cintai untuk dirinya sendiri) adalah prinsip emas dalam Islam yang menjadi
dasar etika sosial: mencintai kebaikan bagi orang lain sebagaimana seseorang
mencintainya untuk diri sendiri. Ini mencakup segala aspek: keamanan,
kehormatan, ilmu, rezeki, dan hidayah. Rasulullah ﷺ bersabda:
المُسْلِمُ أَخُو
المُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ
Artinya: Seorang Muslim adalah saudara
Muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh. –
HR. al-Bukhari (2442), Muslim (2580), dan Ibn Hibban dalam Shahih Ibn Hibban
(533).
Standar
ini menjadikan seorang Muslim tidak egois dan menjunjung tinggi keadilan serta
empati sosial.
5.
Keikhlasan Cinta Menjadi Ukuran Kesejatian Iman
Hadits ini mengajarkan bahwa mencintai sesama bukan karena balasan, pujian,
atau hubungan darah, tetapi karena keikhlasan dan dorongan iman. Cinta yang
dimaksud dalam hadits ini bersifat lillāh karena Allah), sehingga tidak
tergantung pada manfaat pribadi. Rasulullah ﷺ bersabda:
ثَلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى
فِي النَّارِ
Artinya: Tiga perkara, barang siapa
yang ada padanya perkara-perkara tersebut, maka ia akan merasakan manisnya
iman: (1) bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya,
(2) mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan (3) ia
membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya darinya,
sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api.
HR. al-Bukhari (16), Muslim (43),
at-Tirmidzi (2624) dan lafaz ini milik beliau, an-Nasa’i (4987), Ibnu Majah
(4033), dan Ahmad (12021).
Cinta
yang ikhlas ini mendatangkan ketenangan dan kedekatan dengan Allah.
6.
Dorongan untuk Menebar Kebaikan secara Aktif
Hadits ini secara implisit mendorong setiap Muslim agar menjadi agen kebaikan
dan kebahagiaan bagi orang lain. Mencintai kebaikan untuk saudara artinya aktif
mencari cara untuk menolong, mendukung, dan membimbing mereka. Dalam QS.
Al-Mā’idah ayat 2 Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
Artinya: Dan
tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan) kebajikan dan takwa).
Seorang
mukmin sejati tidak hanya ingin selamat sendiri, tapi berusaha agar orang lain
juga mendapatkan kebaikan yang sama.
7.
Menjaga dari Dengki dan Egoisme dalam Hati
Hadits ini secara tersirat juga melarang hasad dengki), karena orang yang
dengki pasti tidak ingin orang lain memiliki apa yang ia sukai. Sebaliknya,
seorang mukmin harus membersihkan hatinya dari keinginan agar orang lain celaka
atau tidak memperoleh nikmat. Nabi ﷺ bersabda:
لا تَباغَضُوا، ولا
تَحاسَدُوا، ولا تَدابَرُوا، وكُونُوا عِبادَ اللَّهِ إخْوانًا، ولا يَحِلُّ
لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثَةِ أيَّامٍ
Artinya: Janganlah
kalian saling membenci, saling hasad, dan saling membelakangi. Jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidak halal bagi seorang Muslim untuk
memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari – HR. al-Bukhari (6065) dan Muslim (2559).
Dengan
mencintai untuk saudara apa yang ia cintai untuk dirinya, seseorang mengikis
penyakit hati dan menumbuhkan keikhlasan.
8.
Menjadi Ukuran Kualitas Hubungan Sosial Muslim
Hadits ini juga memberikan tolok ukur bagaimana relasi sosial dalam masyarakat
Muslim seharusnya dibangun. Ketika setiap individu menginginkan kebaikan untuk
orang lain sebagaimana untuk dirinya, akan lahir masyarakat yang adil, damai,
dan penuh kasih sayang. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ
فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا
اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Artinya: Perumpamaan
orang-orang mukmin dalam saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi di antara
mereka adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh mengeluh
(sakit), maka seluruh tubuh ikut merasakan demam dan tidak bisa tidur. – HR.
al-Bukhari (6011) dan Muslim (2586).
Hadits
ini membentuk dasar tata sosial yang harmonis.
Secara
keseluruhan, hadits ini mengajarkan bahwa iman sejati bukan hanya keyakinan
batin, tetapi harus tampak dalam akhlak sosial berupa cinta, empati, dan keinginan
tulus agar orang lain mendapatkan kebaikan yang sama. Inilah standar keimanan
yang melahirkan masyarakat yang penuh kasih, saling menolong, dan jauh dari
kebencian.
Contoh Penerapan Hadits Ini
1. Bersikap Jujur dalam Transaksi
-
Contoh: Seorang penjual motor bekas memberitahu kondisi asli motornya, termasuk kerusakan kecil, karena dia ingin pembelinya puas, sebagaimana dia juga ingin puas saat membeli sesuatu.
2. Menghindari Gharar (Ketidakjelasan)
-
Contoh: Dalam jual beli online, seseorang mencantumkan deskripsi barang secara lengkap dan tidak menyesatkan. Ia ingin pembeli tidak merasa tertipu, sebagaimana ia pun tidak ingin merasa tertipu.
3. Memberi Kelonggaran dalam Jual Beli Kredit
-
Contoh: Seorang penjual membolehkan penundaan pembayaran kepada pembeli yang sedang kesulitan, karena ia juga ingin diberi kelonggaran jika dirinya berada dalam posisi yang sama.
4. Tidak Menimbun Barang (Ihtikar)
-
Contoh: Di masa kelangkaan minyak goreng, seseorang yang punya banyak stok tidak menimbun dan menaikkan harga seenaknya, karena ia tidak ingin dizalimi, maka ia juga tidak menzalimi.
5. Transparansi dalam Akad Kerja Sama
-
Contoh: Dalam akad mudharabah, pengelola dana (mudharib) mencatat dengan jelas pemasukan dan pengeluaran, dan melaporkannya kepada pemilik modal, karena ia ingin menjaga kepercayaan, sebagaimana ia ingin diperlakukan jujur jika bertukar posisi.
6. Tidak Membebani Orang Lain Secara Tidak Adil
-
Contoh: Dalam jasa angkutan, sopir menetapkan tarif wajar dan tidak memanfaatkan kondisi darurat (seperti banjir atau libur lebaran) untuk menaikkan harga tidak masuk akal, karena dia ingin adil dalam bermuamalah.
7. Membayar Upah Tepat Waktu
-
Contoh: Seorang pemilik usaha kecil membayar upah tukang harian tepat waktu dan sesuai janji, karena dia juga tidak ingin dizalimi atau digantung upahnya jika berada di posisi pekerja.
8. Menjaga Rahasia dan Aib Teman
-
Contoh: Seorang sahabat tidak menyebarkan cerita pribadi temannya, walaupun sudah tidak dekat lagi, karena dia pun ingin aibnya dijaga oleh orang lain.
9. Memaafkan Kesalahan Teman
-
Contoh: Saat seorang teman bersalah dan meminta maaf, kita dengan lapang dada memaafkannya, karena kita pun berharap dimaafkan jika suatu saat berbuat salah.
10. Memberi Dukungan Emosional
-
Contoh: Saat teman gagal dalam ujian atau tertimpa musibah, kita hadir untuk menguatkannya, karena kita juga ingin ditemani di masa sulit.
11. Tidak Iri atas Nikmat yang Dimiliki Teman
-
Contoh: Saat teman berhasil membeli rumah baru atau mendapat promosi, kita ikut bersyukur dan mendoakan, bukan merasa iri, karena kita pun ingin orang lain bahagia saat kita sukses.
12. Menjaga Ketentraman Lingkungan
-
Contoh: Tidak membuang sampah sembarangan, menjaga suara hewan peliharaan atau anak-anak agar tidak mengganggu tetangga, karena kita ingin lingkungan kita nyaman, dan orang lain juga merasakan hal yang sama.
13. Menolong Saat Tetangga Sakit atau Tertimpa Musibah
-
Contoh: Menawarkan bantuan mengantarkan anak tetangga ke sekolah saat ibunya sakit, karena kita juga berharap tetangga menolong kita dalam keadaan sulit.
14. Menghadiri Undangan Tetangga
-
Contoh: Mengusahakan hadir saat ada undangan walimah atau tasyakuran tetangga, karena kita pun ingin dihargai saat mengundang.
15. Tidak Menyakiti dengan Lisan atau Perbuatan
-
Contoh: Tidak menyindir atau mengolok-olok orang lain karena kekurangannya, tidak menjatuhkan kehormatan mereka, karena kita juga ingin dijaga kehormatannya oleh orang lain.
16. Mengajak Orang Lain kepada Tauhid dan Iman yang Benar (Keimanan)
-
Contoh: Kita mengenalkan teman kepada dakwah yang lurus dan menjauhkan mereka dari kesyirikan, karena kita ingin mereka merasakan nikmatnya hidayah dan iman seperti yang kita rasakan.
17. Membagikan Ilmu Aqidah yang Shahih (Keimanan)
-
Contoh: Kita belajar dan memahami tauhid rububiyyah, uluhiyyah, dan asma' wa sifat, lalu menyebarkannya dengan santun kepada saudara kita, karena kita ingin mereka selamat dari kesesatan, sebagaimana kita ingin keselamatan bagi diri sendiri.
18. Mengajak Orang Menjaga Shalat (Keislaman)
-
Contoh: Saat kita sudah rutin shalat lima waktu, kita ingatkan teman atau keluarga yang masih lalai, karena kita tidak ingin mereka meninggalkan kewajiban utama sebagai muslim.
19. Memudahkan Orang untuk Belajar Islam (Keislaman)
-
Contoh: Kita memberi hadiah buku-buku Islam kepada teman yang baru hijrah, atau mengajak ikut majelis ilmu, karena kita ingin mereka mendapatkan jalan kebaikan seperti kita.
20. Berbagi Kesempatan Amal dan Ibadah (Ibadah)
-
Contoh: Kita mengajak teman untuk ikut wakaf, sedekah jariyah, atau Qurban, karena kita ingin mereka juga mendapat pahala berlipat sebagaimana kita inginkan untuk diri sendiri.
21. Mendoakan Kebaikan untuk Sesama Muslim (Ibadah)
-
Contoh: Kita senantiasa mendoakan saudara kita dalam doa-doa yang baik, bahkan saat mereka tidak tahu, karena kita pun ingin didoakan oleh orang lain dengan tulus.
22. Mengajarkan Tata Cara Ibadah yang Sesuai Sunnah (Ibadah)
-
Contoh: Kita belajar tata cara wudhu, shalat, dan puasa dari sunnah Nabi ﷺ, lalu mengajarkan kepada keluarga dan teman, karena kita ingin mereka pun beribadah dengan benar seperti kita.
Penutup
Kajian
Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah,
Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa kesempurnaan iman bukan hanya dibangun di atas ibadah ritual, tetapi juga pada keikhlasan hati dalam mencintai sesama. Iman yang sempurna ditandai dengan ketulusan hati: mencintai kebaikan untuk saudara kita sebagaimana kita mencintainya untuk diri sendiri, serta membenci keburukan untuk mereka sebagaimana kita tak menginginkannya menimpa kita sendiri. Inilah manifestasi ukhuwah sejati dan bukti bahwa iman telah meresap ke dalam kalbu.
Marilah kita pulang dari majelis ini dengan tekad kuat untuk mengamalkan hadits ini dalam kehidupan sehari-hari. Jadikan rumah kita tempat yang dipenuhi kasih sayang dan saling mendukung. Di tempat kerja, sekolah, atau komunitas, mari kita bangun budaya saling mendoakan, saling menasihati, dan saling memuliakan. Jika melihat saudara kita dalam kebaikan, doakan ia agar terus istiqamah; jika melihat kekurangan, bantu dengan nasihat penuh kasih, bukan celaan. Dengan itu, kita bukan hanya memperbaiki hubungan sosial, tapi juga menyempurnakan iman kita.
Sebelum kita akhiri, marilah kita tutup majelis ini dengan membaca doa kafaratul majelis dan bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ