Hadits: Adab dan Dzikir Sebelum Tidur
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Ikhwani fillah yang dirahmati oleh Allah subḥānahu wa ta‘ālā…
Hari ini, kita hidup di zaman di mana aktivitas manusia sangat padat dan pikiran penuh dengan kesibukan dunia. Banyak di antara kita, termasuk kaum Muslimin, yang tidur dalam keadaan lalai. Banyak yang tidur tanpa berdzikir kepada Allah, tanpa merasa butuh untuk mempersiapkan dirinya menghadapi malam yang bisa jadi adalah malam terakhir dalam hidupnya.
Kita seringkali anggap tidur itu seperti rutinitas biasa. Padahal, tidur adalah "kematian kecil", dan bisa jadi tidak ada lagi kesempatan bangun keesokan harinya. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita doa-doa dan dzikir-dzikir sebelum tidur yang tidak sekadar lafaz, tapi penuh makna tauhid, tawakal, dan kepasrahan total kepada Allah. Namun sayang, amalan ini sangat jarang dijaga dan bahkan tidak dikenal oleh sebagian kaum Muslimin.
Inilah mengapa hadits ini begitu penting untuk kita pelajari. Karena hadits ini mengajarkan kita bagaimana adab menjelang tidur, bagaimana cara menyerahkan diri secara total kepada Allah sebelum memejamkan mata, agar jika ajal datang di malam itu, kita wafat dalam keadaan Islam, dalam keadaan bertauhid, dan mengikuti sunnah Nabi.
Lebih dari itu, hadits ini juga memperlihatkan bagaimana Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam sangat perhatian terhadap umatnya, bahkan sampai perkara tidur pun diajarkan dengan teliti. Maka, mempelajari hadits ini bukan sekadar untuk menghafal doa tidur, tapi juga untuk membangun kesadaran ruhani bahwa setiap detik hidup seorang Muslim, termasuk saat hendak tidur, adalah kesempatan untuk mendekat kepada Allah.
Maka dari itu, mari kita hadirkan hati kita, buka telinga dan akal kita, untuk menyimak faedah-faedah dari hadits mulia ini. Semoga dengan memahaminya, kita bisa mengamalkannya dan tidur kita berubah menjadi ibadah yang mendatangkan rahmat Allah dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Dari Al-Barra
bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَتَيْتَ
مَضْجَعَكَ، فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ
الْأَيْمَنِ، ثُمَّ قُلْ:
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ
وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ،
رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا
إِلَيْكَ،
اللَّهُمَّ آمَنْتُ
بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ،
فَإِنْ مُتَّ مِنْ
لَيْلَتِكَ، فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ، وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ
بِهِ.
قَالَ: فَرَدَّدْتُهَا
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا بَلَغْتُ: اللَّهُمَّ
آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، قُلْتُ: وَرَسُولِكَ، قَالَ: لَا،
وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ.
"Jika kamu hendak tidur, maka berwudulah sebagaimana
wudumu untuk shalat. Kemudian berbaringlah di sisi kananmu, lalu ucapkanlah:
'Ya Allah, aku serahkan wajahku kepada-Mu, aku pasrahkan
urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu, dengan penuh harap dan
takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan keselamatan dari (siksa)-Mu
kecuali kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada Kitab-Mu yang Engkau turunkan,
dan kepada Nabi-Mu yang Engkau utus.'
Jika engkau meninggal malam itu, maka engkau meninggal di
atas fitrah. Dan jadikanlah doa itu sebagai ucapan terakhirmu sebelum tidur.”
Ibnu Buraidah berkata: “Aku ulangi bacaan itu di hadapan
Nabi ﷺ. Ketika aku sampai pada kalimat: ‘Ya Allah, aku beriman
kepada Kitab-Mu yang Engkau turunkan,’ aku berkata: ‘dan Rasul-Mu’,
maka Nabi bersabda: ‘Tidak, tetapi katakanlah: dan Nabi-Mu yang Engkau
utus.’”*
HR. Al-Bukhari (247)
dan Muslim (2710)
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ
وَجْهِي إِلَيْكَ
(Ya Allah, aku serahkan wajahku
kepada-Mu)
Potongan
hadits ini mengandung makna penyerahan diri secara total kepada Allah. "Wajh"
(wajah) dalam bahasa Arab seringkali menjadi simbol dari identitas diri, kehormatan, dan arah
tujuan seseorang.
Dengan
mengatakan “Aku serahkan wajahku kepada-Mu,” berarti seorang hamba menyatakan
bahwa dirinya sepenuhnya pasrah dalam kehidupan dan kematian kepada Allah,
menyerahkan segala kehendak, niat, dan arah hidup hanya kepada-Nya.
Ini mencerminkan sikap seorang mukmin yang penuh tawakal
dan tunduk atas segala keputusan Allah, baik yang menyenangkan maupun yang
tampak berat.
وَفَوَّضْتُ أَمْرِي
إِلَيْكَ
(Dan aku pasrahkan urusanku kepada-Mu)
Kata "فَوَّضْتُ" berasal dari kata
"tafwīḍ", yang berarti menyerahkan secara mutlak dengan keyakinan
bahwa Allah-lah yang paling tahu dan paling mampu mengatur segala sesuatu.
Dalam Potongan hadits ini, seorang hamba melepaskan
segala beban pikiran, rencana hidup, kecemasan, dan hasil akhir dari usahanya
kepada Allah.
Ini bukanlah
bentuk sikap pasif, melainkan bentuk kesadaran
penuh bahwa segala usaha manusia tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan
izin dan kehendak-Nya, sehingga hamba merasa tenang dan tidak
tergantung pada hasil, melainkan pada ridha-Nya.
وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي
إِلَيْكَ
(Dan aku sandarkan punggungku kepada-Mu)
Potongan hadits ini menggambarkan ketergantungan total dan permohonan
perlindungan kepada Allah. Dalam kehidupan, punggung digunakan
sebagai simbol keteguhan,
kekuatan, dan penopang tubuh.
Ketika
seorang hamba menyandarkan punggungnya kepada Allah, ini bermakna bahwa ia
mengakui tidak ada kekuatan dan daya kecuali dengan bantuan-Nya.
Ia tidak menggantungkan diri pada harta, jabatan, atau
manusia, melainkan hanya
kepada Allah sebagai satu-satunya tempat berlindung dan bersandar.
رَغْبَةً وَرَهْبَةً
إِلَيْكَ
(Dengan harap dan takut kepada-Mu)
Keseimbangan antara rasa harap (raǧā’) dan rasa takut (ḫauf)
merupakan inti dari ibadah seorang mukmin.
Harapan kepada rahmat Allah mendorong manusia untuk
terus beramal dan tidak putus asa. Sementara rasa takut akan azab dan murka
Allah menjaganya dari maksiat dan kelalaian.
Potongan hadits ini menunjukkan bahwa doa dan ketundukan
itu bukan semata karena cinta, tapi juga karena kesadaran akan keagungan dan keadilan-Nya.
Maka, tidur malam pun menjadi bentuk ibadah yang dilandasi cinta, harapan, dan
takut kepada Allah.
لَا مَلْجَأَ وَلَا
مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ
(Tidak ada tempat berlindung dan tidak ada keselamatan
dari-Mu kecuali kepada-Mu)
Ini adalah pengakuan tauhid yang sangat kuat. Kalimat
ini menyatakan bahwa bahaya
dan keselamatan semuanya dari Allah, dan tidak ada seorang pun
atau apa pun yang dapat memberikan perlindungan dari murka-Nya, kecuali jika
Allah sendiri yang memberikan rahmat-Nya.
Ini
mengajarkan kita bahwa hanya
Allah satu-satunya tempat kembali, dan bahkan ketika menghadapi
ketetapan-Nya yang berat, satu-satunya jalan keluar adalah dengan mendekat lebih erat kepada-Nya,
bukan menjauh.
اللَّهُمَّ آمَنْتُ
بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ
(Ya Allah, aku beriman kepada Kitab-Mu yang Engkau
turunkan)
Potongan
hadits ini menunjukkan keimanan
yang teguh terhadap Al-Qur’an, sebagai kitab yang diturunkan
langsung oleh Allah, bukan hasil rekayasa manusia. Mengucapkan ini
sebelum tidur menjadi peneguhan
hati atas iman kepada wahyu Allah yang menjadi petunjuk hidup.
Ini juga
mengandung makna bahwa Al-Qur’an
adalah sumber kebenaran, hukum, dan cahaya dalam hidup, serta
bahwa seorang hamba telah menerima dan meyakini seluruh isi Al-Qur’an dengan
sepenuh hati.
وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي
أَرْسَلْتَ
(Dan kepada Nabi-Mu yang Engkau utus)
Dalam Potongan
hadits ini, seorang hamba menyatakan iman
kepada kerasulan Muhammad ﷺ, bahwa beliau adalah utusan yang
membawa risalah dari Allah, bukan atas kehendaknya sendiri. Kata "نَبِيِّكَ" menunjukkan posisi beliau sebagai
Nabi pilihan Allah, sedangkan "أَرْسَلْتَ"
memperkuat makna bahwa beliau
tidak berbicara dari hawa nafsunya, melainkan membawa wahyu dari Allah
(QS. An-Najm: 3–4). Ini juga mengajarkan bahwa ketaatan kepada Nabi ﷺ adalah bagian dari ketaatan kepada Allah.
فَإِنْ مُتَّ مِنْ
لَيْلَتِكَ، فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ
(Jika engkau wafat malam itu, maka engkau (wafat) di atas
fitrah)
Potongan
hadits ini berisi kabar gembira bahwa jika seseorang tidur dalam keadaan berwudhu, berserah diri, dan penuh
iman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka jika ia wafat malam itu,
ia wafat dalam keadaan fitrah
– yakni dalam keadaan Islam yang murni. "Fitrah" di sini
mengacu pada keadaan suci
yang sesuai dengan penciptaan manusia, yaitu tauhid dan iman
kepada Allah.
Ini
menunjukkan betapa berharganya adab tidur dalam Islam, karena ia bisa menjadi penutup kehidupan yang baik (ḥusnul
khātimah).
وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا
تَتَكَلَّمُ بِهِ
(Dan jadikanlah doa itu sebagai ucapan terakhirmu)
Anjuran ini mempertegas bahwa dzikir dan doa harus menjadi penutup hari kita.
Sebagaimana seorang mukmin mengakhiri siangnya dengan shalat, maka malamnya
ditutup dengan doa dan
penyerahan diri.
Dengan menjadikan doa ini sebagai ucapan terakhir sebelum tidur,
berarti kita tidur dalam keadaan husnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah, siap
menghadapi kemungkinan wafat dengan tenang karena telah bertawakal dan
memperbarui iman.
قَالَ: فَرَدَّدْتُهَا
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا بَلَغْتُ: اللَّهُمَّ
آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، قُلْتُ: وَرَسُولِكَ، قَالَ: لَا،
وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
(Ia berkata: Maka aku ulangi doa itu kepada Nabi ﷺ. Ketika aku sampai pada lafaz: 'Ya Allah,
aku beriman kepada Kitab-Mu yang Engkau turunkan,' aku berkata: 'dan Rasul-Mu.'
Maka beliau bersabda: 'Tidak, tetapi katakanlah: dan Nabi-Mu yang Engkau
utus.')
Bagian ini menunjukkan bimbingan Nabi ﷺ terhadap lafaz doa
agar sesuai dengan redaksi yang beliau ajarkan. Meskipun secara makna,
“Rasul-Mu” dan “Nabi-Mu” tampaknya tidak jauh berbeda, Nabi ﷺ tetap mengarahkan sahabat agar mengikuti lafaz yang persis
sebagaimana beliau ajarkan: "نَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ"
dan bukan "رَسُولِكَ". Ini
mengajarkan dua pelajaran penting:
Pertama, ketaatan
dalam mengikuti lafaz yang diajarkan Rasulullah ﷺ adalah bagian dari ittiba’ (mengikuti
sunnah secara tepat).
Kedua, kedalaman makna dari setiap lafaz
dalam doa menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ tidak
sekadar mengajarkan kata-kata indah, tapi kata-kata yang memiliki bobot teologis
dan spiritual mendalam.
Dalam lafaz "نَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ", terkandung pengakuan bahwa Nabi
Muhammad ﷺ adalah seorang Nabi (yang diberi wahyu) sekaligus Rasul (yang
diutus menyampaikan wahyu tersebut).
Tapi
penyebutan sebagai "نَبِيّ" dalam konteks ini menunjukkan penekanan pada kedudukannya sebagai pembawa risalah ilahi,
sedangkan kata “أَرْسَلْتَ” tetap mengandung makna bahwa beliau adalah utusan.
Maka lafaz
ini lebih lengkap dan lebih sesuai dengan adab berdoa dan akidah yang benar.
Syarah
Hadits
فِي هذَا الحَدِيثِ بَيَانٌ لِآدَابِ
النَّوْمِ، وَمَا يُقَالُ عِندَ الِاضْطِجَاعِ
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang adab-adab tidur dan apa yang
diucapkan ketika berbaring.
حَيْثُ يُخْبِرُ البَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Di mana Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallāhu ‘anhu mengabarkan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ
Bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ
Jika engkau mendatangi tempat tidurmu (untuk tidur),
أَيْ: أَرَدتَ أَنْ تَذْهَبَ إِلَى فِرَاشِ
نَوْمِكَ
Yakni: engkau berniat untuk pergi ke ranjang tidurmu,
فَتَوَضَّأْ قَبْلَ أَنْ تَذْهَبَ إِلَى
الْفِرَاشِ وُضُوءًَ كَامِلًا
Maka berwudhulah sebelum engkau pergi ke ranjang, dengan wudhu yang sempurna,
كَمَا لَوْ كُنْتَ تَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ
Sebagaimana jika engkau akan berwudhu untuk salat.
ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى جَانِبِكَ الْأَيْمَنِ
Kemudian berbaringlah di sisi kananmu,
لِأَنَّهُ أَدْعَى إِلَى النَّشَاطِ،
وَالِاكْتِفَاءِ بِالْقَلِيلِ مِنَ النَّوْمِ
Karena itu lebih mendorong kepada semangat, dan mencukupkan dengan tidur yang
sedikit,
وَأَعْوَنُ عَلَى الِاسْتِيْقَاظِ فِي آخِرِ
اللَّيْلِ، وَأَنْفَعُ لِلْقَلْبِ
Dan lebih membantu untuk bangun di akhir malam, serta lebih bermanfaat bagi
hati.
ثُمَّ قُلْ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ
إِلَيْكَ
Kemudian ucapkan: “Ya Allah, aku pasrahkan wajahku kepada-Mu”,
فَأَسْلَمْتُ رُوحِي عِندَ نَوْمِي،
وَأَوْدَعْتُهَا أَمَانَةً لَدَيْكَ
Yakni aku serahkan ruhku ketika tidurku, dan aku titipkan ia sebagai amanah
kepada-Mu.
وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ
Dan aku serahkan segala urusanku kepada-Mu,
فَتَوَكَّلْتُ فِي جَمِيعِ أُمُورِي عَلَيْكَ
Yakni aku bertawakal kepada-Mu dalam seluruh urusanku,
رَاجِيًا أَنْ تَكْفِيَنِي كُلَّ شَيْءٍ،
وَتَحْمِيَنِي مِنْ كُلِّ سُوءٍ
Dengan harapan agar Engkau mencukupiku dari segala sesuatu dan melindungiku
dari segala keburukan.
وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِيَ إِلَيْكَ
Dan aku sandarkan punggungku kepada-Mu,
فَتَحَصَّنْتُ بِجِوَارِكَ، وَلَجَأْتُ إِلَى
حِفْظِكَ
Yakni aku berlindung dalam penjagaan-Mu dan berlindung dalam penjagaan-Mu,
فَاحْرُسْنِي بِعَيْنِكَ الَّتِي لَا تَنَامُ
Maka jagalah aku dengan penglihatan-Mu yang tidak pernah tidur.
وَقَوْلُهُ: أَلْجَأْتُ ظَهْرِيَ إِلَيْكَ
بَعْدَ قَوْلِهِ: وَفَوَّضْتُ أَمْرِي
Dan ucapannya: “Aku sandarkan punggungku kepada-Mu” setelah ucapannya: “Aku
serahkan urusanku”,
إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ بَعْدَ تَفْوِيضِ
أُمُورِهِ الَّتِي يَفْتَقِرُ إِلَيْهَا
Menunjukkan bahwa setelah menyerahkan urusan yang ia butuhkan,
وَبِهَا مَعَاشُهُ، وَعَلَيْهَا مَدَارُ
أَمْرِهِ
Yang menjadi kehidupan dan pusat dari urusannya,
يَلْتَجِئُ إِلَيْهِ مِمَّا يَضُرُّهُ
وَيُؤْذِيهِ مِنَ الْأَسْبَابِ الدَّاخِلَةِ وَالْخَارِجَةِ
Ia pun berlindung kepada Allah dari hal-hal yang membahayakannya, baik dari
sebab internal maupun eksternal.
وَإِنَّمَا فَعَلْتُ ذَلِكَ كُلَّهُ رَغْبَةً
Dan aku lakukan semua itu karena penuh harap,
أَيْ: طَمَعًا فِي رَحْمَتِكَ، وَخَوْفًا مِنْكَ
وَمِنْ عِقَابِكَ
Yaitu: mengharap rahmat-Mu, dan takut kepada-Mu serta azab-Mu.
فَإِنَّهُ لَا مَفَرَّ مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ
Karena sesungguhnya tidak ada tempat lari dari-Mu kecuali kepada-Mu,
وَلَا مَلَاذَ مِنْ عُقُوبَتِكَ إِلَّا
بِالِالْتِجَاءِ إِلَى عَفْوِكَ وَمَغْفِرَتِكَ
Dan tidak ada tempat berlindung dari siksa-Mu kecuali dengan berlindung kepada
ampunan dan rahmat-Mu,
يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ
Wahai Zat Yang Maha Penyayang di antara para penyayang.
آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ
Aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan,
وَهُوَ الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ
Yaitu Al-Qur’an yang mulia,
وَآمَنْتُ بِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
Dan aku beriman kepada nabi-Mu yang Engkau utus,
وَهُوَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Yaitu Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.
ثُمَّ أَخْبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ جَزَاءِ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ
Kemudian Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam mengabarkan tentang pahala orang yang
melakukan hal itu,
فَإِنْ مِتَّ فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ عَلَى
تِلْكَ الْحَالِ
Jika engkau mati pada malam itu dalam keadaan seperti itu,
فَإِنَّكَ تَمُوتُ عَلَى دِينِ الْإِسْلَامِ
وَسُنَّةِ خَيْرِ الْأَنَامِ
Maka sungguh engkau mati di atas agama Islam dan sunnah sebaik-baik manusia.
وَلِحِرْصِ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
عَلَى حِفْظِ هَذَا الدُّعَاءِ النَّافِعِ
Karena semangat Al-Barā’ radhiyallāhu ‘anhu untuk menghafal doa yang bermanfaat
ini,
رَدَّدَهُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ia pun mengulanginya kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam,
فَقَالَ كَلِمَةَ: رَسُولِكَ مَكَانَ
كَلِمَةِ: نَبِيِّكَ
Lalu ia mengatakan: “rasūlika” sebagai ganti dari “nabiyyika”,
فَصَحَّحَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Maka Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam pun membenarkannya,
وَسَبَبُ الرَّدِّ إِرَادَةُ الْجَمْعِ بَيْنَ
الْمَنْصِبَيْنِ: النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ
Dan alasan pengulangan itu adalah karena ingin menggabungkan dua kedudukan:
kenabian dan kerasulan,
وَتَعْدَادُ النِّعْمَتَيْنِ
Serta menyebutkan dua nikmat (yaitu: wahyu dan risalah).
وَقِيلَ: هُوَ تَخْلِيصُ الْكَلَامِ مِنَ
اللَّبْسِ
Ada yang mengatakan: untuk menghindarkan lafaz dari kemungkinan makna ambigu,
إِذِ الرَّسُولُ يَدْخُلُ فِيهِ جِبْرِيلُ
عَلَيْهِ السَّلَامُ وَنَحْوُهُ
Karena bisa jadi makna “rasul” mencakup Jibril ‘alaihissalām dan sejenisnya.
وَقِيلَ: هَذَا ذِكْرٌ وَدُعَاءٌ
Dan ada juga yang mengatakan: ini adalah dzikir dan doa,
فَيُقْتَصَرُ فِيهِ عَلَى اللَّفْظِ
الْوَارِدِ بِحُرُوفِهِ
Maka harus dibatasi dengan lafaz yang datang sesuai dengan teksnya,
لِاحْتِمَالِ أَنَّ لَهَا خَاصِّيَّةً
لَيْسَتْ لِغَيْرِهَا
Karena bisa jadi lafaz itu memiliki keutamaan khusus yang tidak dimiliki oleh
selainnya.
وَفِي الْحَدِيثِ: بَيَانُ حِرْصِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمَّتِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Dalam hadits ini juga terdapat penjelasan tentang perhatian besar Nabi ṣallallāhu
‘alaihi wasallam terhadap umatnya di dunia dan akhirat,
وَأَنْ يَكُونَ مَوْتُهُمْ عَلَى حَالٍ فِيهَا
مِنَ الطَّاعَةِ وَالْقُرْبِ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dan agar kematian mereka dalam keadaan taat dan dekat kepada Allah ‘azza wa
jalla.
وَفِيهِ: التَّرْغِيبُ فِي الْوُضُوءِ قَبْلَ
النَّوْمِ وَالدُّعَاءِ
Dan dalam hadits ini juga terdapat anjuran untuk berwudhu sebelum tidur dan berdoa,
بِحَيْثُ يَكُونُ آخِرَ شَيْءٍ يَفْعَلُهُ
الْمُسْلِمُ هُوَ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى
Agar hal terakhir yang dilakukan oleh seorang Muslim adalah mengingat Allah
Ta‘ālā.
Jika Ana ingin, saya bisa lanjutkan dengan menyusun
pelajaran hadits berdasarkan potongan-potongan hadits tersebut. Mau dilanjutkan
ke sana?
Sumber: https://dorar.net/hadith/sharh/5284
Pelajaran
dari Hadits ini
1. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah
Dalam potongan hadits اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ (“Ya Allah, aku serahkan wajahku kepada-Mu”), Nabi mengajarkan bahwa seorang mukmin hendaknya menyerahkan seluruh jati dirinya kepada Allah.
Wajah merupakan simbol dari eksistensi dan kehormatan manusia, sehingga penyerahan wajah mencerminkan bentuk totalitas ketundukan dan ketergantungan hamba kepada Rabb-nya.
Ini adalah bentuk tauhid dalam ibadah dan sikap hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi terdahulu. Allah berfirman: قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” – QS. Al-An‘ām: 162).
2. Mewakilkan seluruh urusan kepada Allah
Potongan hadits وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ (“dan aku pasrahkan urusanku kepada-Mu”) menunjukkan pentingnya berserah diri dalam urusan dunia dan akhirat.
Seorang hamba yang bertawakal akan melakukan ikhtiar dengan sungguh-sungguh, namun tetap menyandarkan hasilnya hanya kepada kehendak Allah.
Sikap ini menghindarkan hati dari ketergantungan kepada sebab-sebab lahiriah. Allah berfirman: وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (“Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” – QS. Ghāfir: 44).
Rasulullah ﷺ juga bersabda: احرص على ما ينفعك، واستعن بالله، ولا تعجز (“Bersungguh-sungguhlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah” – HR. Muslim).
3. Menjadikan Allah satu-satunya tempat bersandar
Dalam potongan hadits وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ (“dan aku sandarkan punggungku kepada-Mu”), Nabi ﷺ mengajarkan bahwa hanya kepada Allah seorang hamba bertumpu dalam menghadapi segala kelemahan dan bahaya.
Sandaran punggung adalah simbol dari tempat menggantungkan kekuatan.
Dalam hidup yang penuh kelemahan dan ketidakpastian, hanya Allah yang layak dijadikan pelindung sejati. Allah berfirman: اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (“Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan ‘Arsy yang agung” – QS. At-Tawbah: 129).
4. Beribadah dengan harap dan takut
Potongan hadits رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ (“dalam keadaan berharap dan takut kepada-Mu”) mengajarkan bahwa ibadah seorang mukmin harus selalu dilandasi oleh rasa cinta, harap akan rahmat-Nya, dan takut akan siksa-Nya.
Sikap ini menjaga hati dari merasa aman terhadap murka Allah, sekaligus menghindarkan dari keputusasaan.
Allah menyebut sifat para nabi: إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (“Sesungguhnya mereka (para nabi) selalu bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan harap dan takut, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami” – QS. Al-Anbiyā’: 90).
5. Menyadari bahwa tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali kepada-Nya
Dalam potongan hadits لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ (“tidak ada tempat berlindung dan tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali kepada-Mu”), Nabi ﷺ menanamkan pemahaman bahwa Allah-lah satu-satunya tempat berlindung dari murka dan azab-Nya sendiri.
Tidak ada pelarian dari Allah, kecuali kembali kepada-Nya dengan taubat dan amal saleh.
Allah berfirman: فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ ۖ إِنِّي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ مُّبِينٌ (“Maka larilah kalian kepada Allah. Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata dari-Nya untuk kalian” – QS. Adz-Dzāriyāt: 50).
6. Mengimani kebenaran Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup
Potongan hadits اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ (“Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan”) menegaskan pentingnya meyakini Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi yang menjadi sumber kebenaran.
Iman kepada Al-Qur’an berarti percaya bahwa isinya benar dan wajib diamalkan.
Allah menyatakan: ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ (“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” – QS. Al-Baqarah: 2).
7. Mengimani kerasulan Nabi Muhammad ﷺ
Dalam potongan hadits وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ (“dan kepada nabi-Mu yang Engkau utus”), Nabi ﷺ menegaskan bahwa iman yang benar meliputi keyakinan terhadap kenabian beliau sebagai utusan Allah yang membawa risalah. Iman kepada nabi termasuk percaya dan mengikuti ajarannya secara total.
Allah berfirman: فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنزَلْنَا ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (“Maka berimanlah kalian kepada Allah, Rasul-Nya, dan cahaya (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan.
Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” – QS. At-Taghābun: 8). Nabi bersabda: مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ (“Barangsiapa menaati aku, maka sungguh ia telah menaati Allah.
Dan barangsiapa mendurhakaiku, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah” – HR. Bukhari dan Muslim).
8. Tidur dalam keadaan iman adalah sebab husnul khatimah
Dalam potongan hadits فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ (“jika engkau mati pada malam harimu itu, maka engkau mati di atas fitrah”), dijelaskan bahwa orang yang tidur dalam keadaan beriman, pasrah, dan suci (berwudhu) berada di atas fitrah Islam.
Jika ia wafat dalam tidurnya, maka insya Allah ia wafat dalam keadaan husnul khatimah.
Allah menyebut balasan bagi jiwa yang tenang: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ * ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً (“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai” – QS. Al-Fajr: 27–28).
9. Menutup hari dengan dzikir sebagai bentuk ibadah
Potongan hadits وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ بِهِ (“dan jadikanlah itu sebagai ucapan terakhirmu”) menunjukkan pentingnya menutup aktivitas harian dengan doa dan dzikir.
Lisan yang digunakan untuk mengingat Allah di akhir hari menjadi tanda hati yang hidup.
Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ (“Barangsiapa akhir ucapannya adalah ‘Lā ilāha illallāh’, maka ia masuk surga” – HR. Abu Dawud).
10. Mengikuti lafaz yang diajarkan Rasulullah ﷺ
Dalam koreksi Nabi kepada sahabat ketika ia mengucapkan “wa rasūlik”, lalu Nabi berkata: لَا، وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ (“Tidak, tapi ‘dan nabi-Mu yang Engkau utus’”), terkandung pelajaran penting bahwa bentuk lafaz dzikir dan doa harus dijaga sesuai dengan yang dicontohkan Nabi ﷺ.
Meskipun makna antara rasul dan nabi berdekatan, Nabi ﷺ tetap membenarkan lafaz yang lebih tepat, menunjukkan bahwa ittiba’ kepada beliau harus menyeluruh. Nabi bersabda: صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” – HR. Bukhari).
11. Keutamaan tidur dalam keadaan suci
Hadits ini juga mencakup perintah untuk berwudhu sebelum tidur, sebagaimana terdapat dalam pembukaannya: فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ. Ini mengajarkan pentingnya menjaga kesucian sebelum tidur, karena tidur adalah saudara kematian.
Dengan wudhu, seorang hamba akan tidur dalam keadaan bersih lahir dan batin, dan didoakan oleh para malaikat. Rasulullah ﷺ bersabda: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيتُ طَاهِرًا إِلَّا بَاتَ مَعَهُ مَلَكٌ، فَلَا يَسْتَيْقِظُ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلَانٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا (“Tidaklah seorang muslim bermalam dalam keadaan suci kecuali ada malaikat yang bermalam bersamanya, setiap kali ia bangun malaikat itu berkata: Ya Allah, ampunilah hamba-Mu si fulan, karena ia tidur dalam keadaan suci” – HR. Ibn Ḥibbān dan Ahmad).
Penutup
Kajian
Alhamdulillāh, setelah bersama-sama kita menyimak dan membahas hadits mulia tentang adab sebelum tidur ini, kita semakin memahami betapa Islam membimbing umatnya hingga ke perkara-perkara yang mungkin dianggap kecil—termasuk bagaimana kita tidur. Namun di balik itu semua, tersimpan pelajaran besar tentang tauhid, tawakal, rasa butuh kepada Allah, dan persiapan menghadapi kematian.
Hadits ini mengajarkan kita bahwa tidur bukan sekadar istirahat, tapi momen penting untuk menyambung kembali hubungan hati kita dengan Allah, setelah seharian disibukkan oleh urusan dunia. Dengan berwudhu, tidur di sisi kanan, dan membaca dzikir yang diajarkan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, kita mempersiapkan diri untuk mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah, jika malam itu adalah malam terakhir kita di dunia.
Faedah paling agung dari hadits ini adalah bahwa siapa yang melakukan amalan ini—berwudhu, tidur di sisi kanan, membaca dzikir yang diajarkan—lalu meninggal di malam itu, maka ia meninggal di atas Islam dan sunnah Nabi Muhammad, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Dan inilah harapan terbesar setiap Muslim: wafat dalam keadaan husnul khātimah, dalam ridha Allah dan di atas jalan Nabi.
Maka, mari kita niatkan sungguh-sungguh untuk mengamalkan hadits ini dalam kehidupan sehari-hari, dan kita ajarkan kepada keluarga kita, anak-anak kita, agar tidur mereka pun tidak kosong dari dzikir dan penjagaan Allah. Kita rawat rutinitas ini bukan sekadar sebagai kebiasaan, tapi sebagai bentuk cinta kepada sunnah Rasulullah dan bentuk penghambaan kita yang total kepada Allah.
Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang hidup dan mati di atas sunnah, dan dikumpulkan bersama Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wasallam di surga-Nya yang penuh kenikmatan.
Kita tutup dengan doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ