Hadits: Berbuatlah Sesukamu Bila Tidak Ada Rasa Malu
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Hari ini kita hidup di tengah zaman yang penuh dengan tantangan akhlak. Kita menyaksikan sendiri, bagaimana rasa malu mulai luntur dari kehidupan masyarakat. Hal-hal yang dulu dianggap tabu, sekarang dilakukan terang-terangan. Pergaulan bebas, konten-konten tak senonoh yang viral, ucapan kasar yang dianggap lucu, dan perilaku maksiat yang malah dipamerkan seolah-olah itu sesuatu yang biasa. Bahkan di media sosial, banyak orang justru bangga memamerkan dosa-dosanya. Semua ini bukan hanya menunjukkan hilangnya akhlak, tapi menandakan bahwa rasa malu—yang seharusnya menjadi tameng—sudah mulai menghilang.
Maka dari itu, hari ini kita akan membahas satu hadits pendek, tapi sangat dalam maknanya. Sebuah kalimat yang disebut Nabi ﷺ sebagai bagian dari warisan kenabian, yang masih bisa kita temukan sampai sekarang.
Hadits ini bukan sekadar sindiran, tapi juga peringatan. Karena ketika rasa malu telah hilang dari hati, maka segala perbuatan buruk akan dianggap wajar. Dan jika ini merajalela dalam masyarakat, maka kehancuran bukan hanya menimpa pelakunya, tapi juga umat secara keseluruhan.
Karena itu, memahami hadits ini bukan hanya penting untuk memperbaiki diri, tapi juga penting untuk menyelamatkan generasi. Rasa malu itu bukan kelemahan, tapi bagian dari iman. Dan dalam kajian hari ini, kita akan mengupas hadits ini secara rinci, perkataan demi perkataan, agar kita bisa menghidupkan kembali rasa malu yang sesuai dengan tuntunan agama. Semoga dengan memahami dan mengamalkannya, kita bisa menjadi pribadi yang lebih bertakwa dan menjaga diri di tengah fitnah zaman yang kian menggila.
Dari Abu Mas'ud 'Uqbah bin 'Amr
al-Anshari al-Badri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ
النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا
شِئْتَ
Sesungguhnya di antara apa yang masih
dikenal oleh manusia dari perkataan kenabian terdahulu adalah: Jika engkau
tidak punya rasa malu, maka lakukanlah sesukamu.
HR. Al-Bukhari
(3483).
.
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ
Sesungguhnya di antara apa yang masih dikenal oleh manusia
Hadits ini diawali dengan penekanan kuat melalui kata inna
yang menunjukkan pentingnya pernyataan ini.
Penggunaan
kata mimmā adraka menyiratkan bahwa manusia dari zaman ke zaman tetap mewarisi
nilai-nilai luhur yang tidak lekang oleh waktu.
Ungkapan ini juga menegaskan bahwa nilai moral tertentu
bukan hanya berasal dari risalah Islam, tapi telah menjadi bagian dari warisan
kenabian sejak dahulu kala.
Masyarakat tetap bisa mengingat atau menangkap
nilai-nilai ini karena fitrah manusia cenderung mengakui kebenaran dan
keutamaan akhlak.
Ini menjadi pengingat bahwa meskipun zaman berganti,
nilai inti seperti rasa malu tetap relevan dan tak boleh diabaikan.
مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى
dari perkataan kenabian terdahulu
Perkataan
ini menunjukkan bahwa sabda yang akan disebutkan adalah bagian dari warisan
universal para nabi sebelum Nabi Muhammad ﷺ.
Ini mencerminkan kesinambungan ajaran moral dan akhlak
antara para nabi yang diutus kepada umat manusia.
Dengan
menyandarkan nasihat ini kepada al-nubuwwah al-ula, Rasulullah ﷺ
mengisyaratkan bahwa ajaran ini telah diterima oleh umat-umat terdahulu sebagai
prinsip hidup yang mendasar.
Ini sekaligus
mengangkat nilai sabda ini ke derajat kebijaksanaan ilahiyah yang telah diuji
oleh zaman.
Maka, meski tidak dinisbatkan kepada kitab tertentu,
hakikat dan nilainya berasal dari sumber kenabian yang otoritatif.
إِذَا لَمْ تَسْتَحِ
Jika engkau tidak punya rasa malu
Inilah pusat dari pesan hadits ini: tentang pentingnya
sifat malu (ḥaya’)
sebagai pengendali perilaku.
Dalam Islam, malu bukan hanya perasaan tetapi juga nilai
spiritual yang mencegah seseorang melakukan keburukan.
Malu adalah bagian dari iman, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits lain.
Maka ketika rasa malu tidak lagi dimiliki seseorang, ia
akan kehilangan rem moral dan cenderung mengikuti hawa nafsu.
Kalimat ini juga memberi isyarat bahwa hilangnya rasa
malu adalah indikator rusaknya hati dan rusaknya masyarakat.
Oleh karena itu, menjaga rasa malu berarti menjaga
kemuliaan diri dan peradaban.
فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
maka lakukanlah sesukamu
Perkataan ini bukanlah perintah untuk bebas berbuat
semaunya, melainkan sindiran tajam dan peringatan keras.
Artinya, jika rasa malu telah hilang, maka tidak ada
lagi yang bisa menahan seseorang dari melakukan apa pun, termasuk keburukan.
Kalimat ini berfungsi sebagai teguran terhadap orang
yang sudah tidak memiliki benteng moral.
Ini juga memperingatkan bahwa rasa malu adalah benteng
terakhir sebelum seseorang jatuh ke dalam kehinaan.
Maka, jika
seseorang tetap berbuat dosa atau kejahatan setelah rasa malunya mati, ia harus
bersiap menghadapi konsekuensinya di dunia dan akhirat.
Kalimat ini mengandung retorika tajam agar manusia
merenungi betapa pentingnya menjaga rasa malu sebagai penjaga amal.
Syarah Hadits
كَلامُ النُّبُوَّةِ
Perkataan kenabian
هُوَ حِكَمُ الأَنْبِيَاءِ
adalah hikmah-hikmah para nabi
وَشَرَائِعُهُمُ الَّتِي لَمْ تُنْسَخْ،
dan syariat-syariat mereka yang tidak dimansukh (dihapus)
وَتَتَّفِقُ كُلُّ الأَدْيَانِ
وَالرِّسَالَاتِ فِيهَا،
yang disepakati oleh seluruh agama dan risalah
وَمِنْ هَذَا الْـحَيَاءُ؛
dan termasuk di antaranya adalah rasa malu;
فَإِنَّ أَمْرَهُ لَمْ يَزَلْ ثَابِتًا،
sesungguhnya perkaranya tetap terus berlaku,
وَاسْتِعْمَالُهُ وَاجِبٌ مُنْذُ زَمَانِ
النُّبُوَّةِ الْأُولَى،
dan penerapannya telah diwajibkan sejak masa kenabian yang pertama,
وَإِنَّهُ مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا وَقَدْ
حَثَّ عَلَى الْـحَيَاءِ،
dan tidak ada seorang nabi pun kecuali telah menganjurkan rasa malu,
وَبُعِثَ عَلَيْهِ،
dan diutus dengan membawa sifat itu,
وَإِنَّهُ لَمْ يُنْسَخْ فِيمَا نُسِخَ مِنْ
شَرَائِعِهِمْ،
dan sesungguhnya ia tidak dihapuskan dalam bagian syariat mereka yang dihapus,
وَلَمْ يُبَدَّلْ فِيمَا بُدِّلَ مِنْهَا؛
dan tidak diganti dalam bagian yang diganti,
وَذَلِكَ أَنَّهُ أَمْرٌ قَدْ عُلِمَ
صَوَابُهُ،
karena ia adalah perkara yang telah diketahui kebenarannya,
وَبَانَ فَضْلُهُ،
dan telah tampak keutamaannya,
وَاتَّفَقَتِ الْعُقُولُ عَلَى حُسْنِهِ،
dan akal-akal sepakat atas kebaikannya,
وَمَا كَانَ هَذِهِ صِفَتُهُ، لَمْ يَجْرِ
عَلَيْهِ النَّسْخُ وَالتَّبْدِيلُ،
dan apa yang memiliki sifat seperti ini, tidak terkena penghapusan dan
penggantian,
وَلَمَّا كَانَ الْـحَيَاءُ عَلَى هَذَا
النَّحْوِ؛
dan karena rasa malu itu seperti ini sifatnya;
كَانَ مِنْ حِكَمِ الأَنْبِيَاءِ الثَّابِتَةِ
فِيهِ:
maka ia termasuk dari hikmah para nabi yang tetap berlaku:
مَا أَخْبَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْـحَدِيثِ،
yaitu apa yang diberitakan oleh Nabi ﷺ dalam hadits ini,
حَيْثُ قَالَ: «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ
النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ:
ketika beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara yang didapati manusia dari
ucapan kenabian:
إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ».
Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah sesukamu.”
وَالْـحَيَاءُ مِنْ أَنْبَلِ الْأَخْلَاقِ
وَأَعْلَاهَا،
Dan rasa malu adalah akhlak yang paling mulia dan paling tinggi,
وَأَصْلُهُ: تَغَيُّرٌ وَانْكِسَارٌ يَعْتَرِي
الْإِنْسَانَ مِنْ خَوْفِ مَا يُعَابُ بِهِ.
dan asalnya adalah perubahan dan kerendahan yang menimpa seseorang karena takut
terhadap aib.
وَقِيلَ: هُوَ انْقِبَاضُ النَّفْسِ عَنِ
الْقَبَائِحِ، وَتَرْكُهَا.
dan dikatakan: ia adalah penahanan jiwa dari perbuatan buruk dan
meninggalkannya.
وَالْمُرَادُ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ
عِنْدَكَ حَيَاءٌ يَمْنَعُكَ مِنْ فِعْلِ الْقَبِيحِ؛
dan maksudnya adalah, jika kamu tidak memiliki rasa malu yang mencegahmu dari
melakukan keburukan;
فَافْعَلْ مَا شِئْتَ،
maka lakukanlah apa yang kamu mau,
دُونَ تَحْدِيدِ مَا يَفْعَلُهُ؛
tanpa ada batasan terhadap apa yang diperbuat;
لِأَنَّ كُلَّ فِعْلٍ قَبِيحٍ سَيَكُونُ
مُبَاحًا عِنْدَهُ،
karena semua perbuatan buruk akan dianggap boleh menurutnya,
وَعَلَى هَذَا الْمَعْنَى، فَهُوَ أَمْرٌ
لِلتَّهْدِيدِ،
dan berdasarkan makna ini, maka itu adalah perintah yang bermakna ancaman,
أَيْ: افْعَلْ مَا بَدَا لَكَ؛ فَإِنَّكَ
سَتُعَاقَبُ عَلَيْهِ،
yakni: lakukanlah sesukamu; karena kamu akan diberi hukuman atasnya,
وَقِيلَ: الْمَعْنَى: أَنَّ مَنْ لَمْ
يَسْتَحِ صَنَعَ مَا شَاءَ؛
dan dikatakan: maknanya adalah siapa yang tidak punya malu, maka dia akan
berbuat semaunya;
فَإِنَّ الْمَانِعَ مِنْ فِعْلِ الْقَبَائِحِ
هُوَ الْـحَيَاءُ،
karena yang mencegah dari perbuatan keji adalah rasa malu,
فَمَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَيَاءٌ انْهَمَكَ
فِي كُلِّ فَحْشَاءَ وَمُنْكَرٍ.
maka siapa yang tidak memiliki rasa malu, akan terjerumus dalam setiap kekejian
dan kemungkaran.
وَفِي الْـحَدِيثِ: أَنَّ صِفَةَ الْـحَيَاءِ
تَرْدَعُ الْإِنْسَانَ عَنْ كَثِيرٍ مِنَ الشُّرُورِ.
Dan dalam hadits ini, bahwa sifat malu dapat mencegah manusia dari banyak
keburukan.
Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/61760
Pelajaran dari Hadits ini
1. Keistimewaan Perkataan Para Nabi
Perkataan إنَّ ممَّا أدْرَكَ النَّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ (Sesungguhnya di antara apa yang masih dikenal oleh manusia dari perkataan kenabian) menunjukkan bahwa meskipun zaman terus berganti, masih ada warisan penting dari para nabi terdahulu yang tetap dikenal umat manusia. Warisan ini bukan harta atau bangunan, tapi berupa hikmah dan nilai-nilai luhur yang berlaku sepanjang masa. Ini menunjukkan bahwa ajaran para nabi bersifat universal dan abadi, terutama dalam urusan akhlak dan kebaikan. Allah juga menegaskan dalam Al-Qur'an bahwa semua nabi diutus dengan misi yang sama, yaitu menyeru kepada kebenaran dan meninggalkan keburukan:
شَرَعَ
لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ
(Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya) (QS. Asy-Syura: 13).
2. Malu Adalah Warisan yang Tidak Hilang
Perkataan إذا لَمْ تَسْتَحْيِ (Jika engkau tidak punya rasa malu) mengisyaratkan bahwa rasa malu merupakan salah satu nilai tertinggi dalam ajaran kenabian yang tidak pernah dihapus dan selalu relevan sepanjang zaman. Malu adalah benteng diri yang mencegah seseorang dari melakukan dosa dan keburukan. Ketika rasa malu hilang, maka seseorang bisa melakukan segala bentuk maksiat tanpa merasa bersalah. Nabi ﷺ bersabda:
الْحَيَاءُ
مِنَ الْإِيمَانِ
(Malu adalah bagian dari iman) (HR. Bukhari dan Muslim).
Allah juga menyebutkan bahwa Ia selalu mengawasi hamba-Nya:
وَٱللَّهُ
يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ
(Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan) (QS. An-Nahl: 19).
Orang yang masih memiliki rasa malu akan merasa diawasi Allah meski tidak dilihat manusia.
3. Akibat Hilangnya Malu
Perkataan فافْعَلْ ما شِئْتَ (maka lakukanlah sesukamu) bukanlah perintah untuk bebas berbuat, tetapi bentuk peringatan dan ancaman bagi siapa saja yang telah kehilangan rasa malu. Hadits ini menyiratkan bahwa orang yang tidak punya malu akan terjerumus pada semua jenis perbuatan buruk karena ia tidak lagi memiliki penghalang batin. Ini seperti ungkapan sinis: "Kalau kamu sudah tidak malu, ya terserah saja mau buat apa, karena kamu sudah tidak punya pengingat diri lagi." Dalam tafsir ulama, kalimat ini termasuk bentuk "amr bi al-tahdid" (perintah yang bermakna ancaman). Allah telah memberi peringatan serupa dalam Al-Qur’an:
وَذَرِ
ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ دِينَهُمْ لَعِبًۭا وَلَهْوًۭا وَغَرَّتْهُمُ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا
(Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia) (QS. Al-An’am: 70).
Artinya, orang yang tidak lagi menjaga harga dirinya dengan rasa malu akan mudah tertipu oleh dunia dan mengikuti hawa nafsunya.
4. Rasa Malu Menghalangi Keburukan
Hadits ini juga mengajarkan bahwa rasa malu merupakan salah satu benteng utama yang mencegah seseorang dari melakukan keburukan. Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ
لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَإِنَّ خُلُقَ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ
(Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak khas, dan akhlak khas Islam adalah rasa malu) HR. Ibnu Majah (4182).
Ketika rasa malu masih kuat dalam diri seseorang, ia akan berpikir dua kali untuk berkata kotor, menipu, berbuat zina, atau menzalimi orang lain. Karena itu, menjaga rasa malu termasuk menjaga iman dan kesucian diri.
5. Malu Kepada Allah Lebih Utama
Selain malu kepada sesama manusia, hadits ini juga mengisyaratkan pentingnya malu kepada Allah ﷻ. Malu kepada manusia bisa jadi hanya karena takut dipermalukan. Tapi malu kepada Allah bersumber dari keyakinan bahwa Allah melihat segalanya. Rasulullah ﷺ bersabda:
اسْتَحْيُوا
مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
(Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu) HR. Tirmidzi (2458 ).
Malu kepada Allah mencegah seorang mukmin dari berbuat maksiat meskipun dalam keadaan tersembunyi. Inilah bentuk rasa malu yang paling tinggi dan paling mulia.
6. Rasa Malu Adalah Cerminan Keimanan
Seseorang yang menjaga rasa malu dalam hidupnya sedang menunjukkan kualitas imannya. Karena rasa malu lahir dari hati yang hidup, yang takut kepada murka Allah dan tidak ingin berbuat buruk. Sebaliknya, jika seseorang tidak punya malu, itu tanda bahwa imannya rapuh.
Jika hati sudah tidak merasa malu, maka tubuh akan mengikuti untuk melakukan apa saja. Maka dari itu, memperkuat iman berarti juga memperkuat rasa malu.
7. Rasa Malu Perlu Dipelihara Sejak Kecil
Salah satu pelajaran tambahan yang penting adalah bahwa rasa malu bukanlah sesuatu yang muncul sendiri, tapi harus dipelihara dan ditanamkan sejak dini, terutama dalam pendidikan anak. Anak-anak perlu diajarkan untuk malu ketika melakukan kesalahan atau melanggar norma, bukan hanya karena takut dimarahi orang tua, tapi karena tahu itu salah di hadapan Allah. Pendidikan ini akan membentuk akhlak mulia saat dewasa, dan membentengi mereka dari pengaruh buruk lingkungan. Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik yang sangat pemalu, bahkan lebih malu dari seorang gadis pingitan, seperti disebutkan dalam hadits sahih.
8. Masyarakat yang Kehilangan Malu Akan Rusak
Masyarakat yang hilang rasa malu akan menjadi tempat subur bagi dosa dan kehancuran. Ketika orang tidak malu melakukan maksiat di depan umum, berarti batas-batas syariat telah dilanggar secara terang-terangan. Dalam kondisi ini, kerusakan akan meluas dan azab Allah pun bisa turun. Karena itu, menjaga rasa malu bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keselamatan masyarakat secara umum.
Hadits ini mengajarkan bahwa rasa malu adalah benteng utama dari keburukan dan cermin dari keimanan yang sejati. Jika rasa malu hilang, maka dosa dan keburukan akan dilakukan secara terang-terangan tanpa rasa bersalah. Maka, menjaga malu adalah menjaga iman, menjaga masyarakat, dan menjaga hubungan dengan Allah.
Penutup
Kajian
الْحَيَاءُ
شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
("Malu adalah salah satu cabang dari iman.") – HR. Muslim (35).
Melalui kajian ini, kita belajar bahwa ketika rasa malu sudah tidak ada dalam hati, maka seseorang bisa tergelincir pada semua bentuk keburukan tanpa merasa berdosa. Sebaliknya, jika rasa malu tertanam dalam diri, maka ia akan menjadi benteng yang kuat dari dosa dan maksiat.
Harapannya, sepulang dari majelis ini, kita semua bisa membawa satu tekad: membangkitkan kembali rasa malu yang bersumber dari iman. Malu untuk bermaksiat, malu untuk berkata kotor, malu untuk menipu, malu untuk menampilkan aurat, malu untuk menyia-nyiakan waktu, dan malu jika Allah melihat kita dalam keadaan yang Dia benci.
Mari kita mulai dari diri kita, dari lingkungan keluarga kita, dari anak-anak kita, untuk menanamkan rasa malu yang benar. Malu bukan karena manusia, tapi karena Allah. Dan siapa yang menjaga rasa malunya karena Allah, maka Allah akan menjaga kehormatannya di dunia dan di akhirat.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang berhias dengan malu, dan menjaga akhlak sebagaimana para Nabi dahulu menyerukannya. آمين يا رب العالمين.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ