Hadits: Berdoa Dengan Yakin Dikabulkan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mengajarkan kita cara mendekat kepada-Nya, bukan hanya lewat amal dan perbuatan, tapi juga melalui doa yang tulus dari lubuk hati yang terdalam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ, yang telah membimbing umatnya dengan warisan ilmu yang sangat agung.
Jama’ah yang dirahmati Allah,
Kalau kita tengok kehidupan kita sehari-hari, tak terhitung banyaknya permintaan yang kita panjatkan kepada Allah. Kita memohon kesehatan, rezeki, perlindungan, jodoh, keturunan, bahkan sekadar kemudahan dalam pekerjaan. Namun, sayangnya — banyak di antara kita yang berdoa hanya sebatas rutinitas, sekadar lisan yang bergerak tanpa hati yang terlibat. Ada yang berdoa, tapi tak yakin dikabulkan. Ada yang berdoa sambil mengantuk, atau malah sambil memikirkan urusan dunia. Ada pula yang setelah berdoa merasa kecewa karena tak kunjung terkabul, lalu mulai ragu dan berburuk sangka kepada Allah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masalah terbesar bukan pada dikabulkan atau tidaknya doa, tapi pada bagaimana cara kita berdoa. Maka hadits yang akan kita pelajari hari ini adalah jawaban atas persoalan itu semua. Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa doa bukan hanya tentang ucapan, tapi juga tentang keyakinan, kesadaran, dan kehadiran hati. Nabi ﷺ tidak hanya menyuruh kita berdoa, tapi juga memberikan syarat penting agar doa kita tak sia-sia: yaitu berdoa dengan penuh keyakinan dan hati yang tidak lalai.
Hadits ini sangat urgen untuk kita pelajari, karena ia membenahi pondasi spiritual umat Islam dalam berhubungan langsung dengan Allah. Ia memperbaiki adab dalam berdoa, dan mengingatkan kita bahwa Allah itu dekat, Maha Mendengar, dan Maha Menjawab, namun Dia tidak menerima doa yang asal-asalan. Dalam era serba cepat dan penuh distraksi seperti sekarang, hadirnya hati dalam doa menjadi barang langka—padahal itulah inti yang Allah inginkan.
Maka dari itu, marilah kita sama-sama tadabburi hadits ini, kita resapi kata demi kata, dan kita tarik pelajaran yang bisa mengubah cara kita berdoa—agar tidak lagi sekadar lisan, tetapi juga menjadi ibadah yang hidup dalam hati dan jiwa.
Hadits dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ادْعُوا اللَّهَ
وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ
دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan bermain-main.
(HR. at-Tirmidzi no. 3479 dan Al-Bazzar no. 10061)
Maraji: https://dorar.net/h/BcNyNkI1
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
ادْعُوا اللَّهَ
Berdoalah
kepada Allah
Ungkapan ini merupakan seruan langsung dari Nabi ﷺ agar
umat Islam memanjatkan doa kepada Allah.
Kata ادْعُوا berasal dari akar kata da-'aa–yad‘-'uu yang berarti memanggil, menyeru, atau memohon.
Dalam konteks ini, maksudnya adalah memohon kepada Allah
dengan penuh ketundukan dan harapan.
Doa merupakan bentuk penghambaan yang paling tulus
karena menunjukkan bahwa seorang hamba benar-benar membutuhkan Tuhannya.
Perintah ini juga mengisyaratkan bahwa berdoa adalah
bentuk ibadah yang sangat dianjurkan dan tidak boleh diabaikan.
Bahkan dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa orang
yang enggan berdoa dianggap sombong (QS. Ghāfir: 60).
وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ
dalam keadaan kalian yakin akan
dikabulkan
Ungkapan ini menegaskan bahwa doa yang diajukan kepada Allah harus disertai
dengan keyakinan penuh bahwa Allah akan
mengabulkan permintaan tersebut.
Kata مُوقِنُونَ berasal dari yaqīn (keyakinan) yang berarti tidak ada
keraguan sedikit pun dalam hati.
Allah Maha Mendengar, Maha Mengabulkan, dan Maha Kuasa
atas segala sesuatu, maka mustahil bagi-Nya untuk tidak mampu mengabulkan
permohonan hamba-Nya.
Keyakinan ini merupakan syarat penting dalam doa karena
seseorang yang berdoa tanpa keyakinan, sejatinya tidak sungguh-sungguh dalam
permohonannya.
Ibarat seseorang yang mengetuk pintu, tapi tidak percaya
bahwa ada orang di dalam rumah, maka tentu ketukannya pun tidak serius.
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
Dan ketahuilah bahwa Allah
Ungkapan ini adalah bentuk penguatan dan pengingat.
Kata وَاعْلَمُوا adalah fi'il
amr (kata kerja perintah) yang berasal dari ‘alima–ya‘lamu
(mengetahui).
Dalam bahasa Arab, penggunaan kata perintah ini
menandakan bahwa yang disebut setelahnya adalah sesuatu yang sangat
penting untuk diperhatikan dan diyakini.
Nabi ﷺ mengarahkan perhatian kita kepada Allah,
Dzat yang menjadi tujuan doa dan tempat bergantung. Artinya, sebelum seseorang
berdoa, ia harus menyadari kepada siapa ia berdoa—yakni kepada Allah yang Maha
Mengetahui, Maha Mendengar, dan Maha Menjawab doa.
Kesadaran ini akan menumbuhkan rasa khusyuk, takut, dan
harap dalam hati orang yang berdoa.
لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً
tidak mengabulkan doa
Ungkapan ini merupakan pernyataan yang tegas bahwa ada kondisi tertentu yang
menyebabkan doa tidak dikabulkan.
Kata يَسْتَجِيبُ berasal
dari istajāba yang berarti menjawab atau
mengabulkan.
Allah, dalam kebijaksanaan-Nya, bisa memilih untuk
mengabulkan, menunda, atau mengganti doa dengan sesuatu yang lebih baik.
Namun dalam
konteks ini, disebutkan adanya syarat yang membuat doa tidak
dikabulkan sama sekali, yakni jika berasal dari hati yang tidak
hadir (ghāfil).
Ini menunjukkan bahwa doa bukan sekadar ucapan lisan,
melainkan harus melibatkan hati dan kesadaran penuh
terhadap apa yang diminta.
مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
dari hati yang lalai dan berpaling
(tidak serius)
Ini adalah inti dari peringatan dalam hadits ini. Doa yang tidak disertai
dengan kehadiran hati—yakni dari hati yang غَافِل (lalai) dan
لَاهٍ (bermain-main,
tidak fokus)—tidak akan didengar oleh Allah.
Lalai berarti tidak sadar terhadap siapa yang sedang
dimintai dan apa yang diminta. Lāhin artinya sibuk dengan hal lain, tidak hadir
secara emosional dan spiritual.
Seperti orang yang membaca doa sambil mengantuk, atau
sibuk dengan pikirannya sendiri, atau hanya mengucapkan doa secara mekanis
tanpa menghayati maknanya.
Dalam keadaan seperti ini, doa kehilangan ruh dan
nilainya. Maka, hadits ini menekankan pentingnya menghadirkan kesungguhan
hati, penghayatan, dan kesadaran penuh saat berdoa.
Syarah Hadits
Hadits ini diawali dengan perintah langsung: "ادْعُوا اللهَ" yang artinya “Berdoalah kepada Allah.” Ini menunjukkan bahwa doa adalah amalan yang sangat ditekankan dalam Islam. Ia bukan sekadar ibadah tambahan, melainkan bentuk puncak ketundukan dan pengakuan bahwa hanya Allah tempat bergantung. Doa adalah senjata mukmin, dan tanda bahwa hati masih hidup dalam penghambaan. Dalam banyak ayat, seperti dalam QS. Ghafir: 60, Allah menegaskan: "ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ" (Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan bagi kalian). Maka dari itu, perintah ini mengandung anjuran kuat untuk menjadikan doa sebagai amalan harian yang penuh keyakinan dan keikhlasan.
Syarat penting dalam berdoa, yaitu "وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ" — “dan kalian dalam keadaan yakin akan dikabulkan.” Artinya, doa harus disertai dengan keyakinan penuh bahwa Allah benar-benar akan mengabulkannya. Jangan ada keraguan sedikit pun dalam hati. Inilah bentuk husnuzan (berbaik sangka) kepada Allah yang menjadi kunci turunnya rahmat dan ijabah. Keyakinan ini menunjukkan keimanan yang kuat kepada sifat-sifat Allah, seperti As-Sami’ (Maha Mendengar) dan Al-Mujib (Maha Mengabulkan). Jika seorang hamba berdoa dalam keadaan ragu, maka ia telah mengurangi kesempurnaan tauhidnya. Doa yang diyakini akan dikabulkan cenderung diiringi dengan penghayatan dan kesungguhan, yang sangat dicintai oleh Allah.
Selanjutnya, Nabi ﷺ bersabda: "وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ" — “Dan ketahuilah bahwa Allah.” Ini adalah ajakan untuk menghadirkan ilmu dan kesadaran saat berdoa. Jangan sampai seseorang berdoa dalam keadaan tidak mengenal siapa yang sedang dimintai, atau tidak menghadirkan perasaan bergantung kepada-Nya. Frasa ini juga menjadi pengingat bahwa berdoa kepada Allah tidak bisa dilakukan sembarangan. Seseorang harus mengetahui adab-adabnya, mengenali keagungan Allah, dan memahami bahwa Dia tidak akan lalai sedikit pun terhadap permintaan hamba-Nya. Ilmu yang benar akan melahirkan sikap yang benar pula saat berdoa.
Lanjutan hadits ini menjelaskan satu fakta yang sangat penting: "لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً" — “(Allah) tidak mengabulkan doa.” Namun penolakan ini bukan berarti Allah menolak doa hamba secara mutlak, melainkan karena adanya sebab tertentu yang membuat doa tidak layak dikabulkan. Dalam konteks hadits ini, penyebabnya adalah kondisi hati si pemohon. Artinya, walaupun seseorang telah berdoa dengan kata-kata indah, jika hatinya tidak hadir, maka doanya bisa tertolak. Ini menunjukkan bahwa Allah melihat isi hati, bukan sekadar lisan. Doa yang dikabulkan adalah doa yang disampaikan dengan keikhlasan, kesungguhan, dan penuh pengharapan.
Akhirnya, ini inti dari peringatan hadits ini. Nabi ﷺ menegaskan bahwa Allah "لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ" — “tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan berpaling.” Dua kata kunci di sini adalah غَافِلٍ (lalai) dan لَاهٍ (berpaling, sibuk dengan hal lain). Artinya, doa yang keluar dari lisan tetapi tidak disertai hati yang khusyuk, tidak sadar sedang bermunajat kepada Allah, atau justru terganggu pikirannya oleh urusan dunia, tidak akan dikabulkan. Hati yang lalai adalah hati yang tidak merasa butuh, tidak tunduk, dan tidak hadir dalam ibadah. Maka, kualitas doa sangat bergantung pada kualitas kehadiran hati saat berdoa. Doa yang mengetuk pintu langit adalah doa yang datang dari hati yang hidup, sadar, dan penuh keyakinan.
Pelajaran
dari Hadits ini
1. Kewajiban Berdoa sebagai Bentuk Penghambaan
Hadits ini dibuka dengan perintah "ادْعُوا اللَّهَ" (berdoalah kepada Allah), yang menunjukkan bahwa doa bukan sekadar anjuran, tetapi bagian dari ibadah utama. Doa adalah bukti ketundukan hamba kepada Rabb-nya, menunjukkan bahwa seorang manusia adalah makhluk lemah yang tidak bisa lepas dari bantuan Allah. Ketika seseorang berdoa, ia sedang menampakkan kelemahannya dan mengakui keagungan Allah sebagai pemilik segalanya. Bahkan Allah menyebut orang yang enggan berdoa sebagai orang yang sombong dan akan masuk neraka. Firman Allah:
﴿وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ﴾
"Dan Tuhanmu berfirman: 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.'" (QS. Ghāfir: 60).
Ini menunjukkan bahwa berdoa adalah bentuk ibadah tertinggi, dan meninggalkannya termasuk tanda kesombongan spiritual.
2. Berdoa dengan Keyakinan yang Penuh
Frasa "وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ" (dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan) menekankan syarat penting diterimanya doa, yaitu keyakinan sepenuh hati bahwa Allah pasti mendengar dan mampu mengabulkan doa. Yakin di sini berarti meniadakan segala keraguan terhadap janji Allah dan sifat-Nya. Doa yang disertai keraguan menunjukkan ketidakyakinan terhadap rahmat dan kuasa Allah.
Maka, keyakinan dalam doa adalah wujud iman dan husnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah.
3. Mengenal Kepada Siapa Kita Berdoa
Pada potongan hadits"وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ" (dan ketahuilah bahwa Allah) merupakan pengingat penting untuk menyadari siapa yang sedang kita ajak bicara dalam doa. Tidak cukup hanya dengan kata-kata, tetapi harus ada kesadaran mendalam bahwa kita sedang menghadap kepada Dzat Yang Maha Tinggi, Maha Mulia, Maha Mengetahui segala sesuatu, bahkan isi hati kita. Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan:
﴿وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ
أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ﴾
"Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (QS. Qāf: 16).
Mengetahui siapa yang kita ajak bicara akan menumbuhkan rasa takut, harap, hormat, dan kerendahan diri, yang semuanya adalah adab dalam doa.
4. Doa Bisa Tidak Dikabulkan karena Syarat Tidak Terpenuhi
Pada potongan hadits "لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً" (tidak mengabulkan doa) menunjukkan bahwa ada hal-hal yang menjadi penghalang dikabulkannya doa, meskipun Allah Maha Pengasih. Allah tidak akan menerima doa yang tidak disampaikan dengan adab dan kondisi yang benar. Ini memperlihatkan bahwa doa memiliki syarat dan etika, sebagaimana ibadah lain. Doa yang asal ucap, tidak hadir hati, atau tidak disertai keyakinan, akan tertolak. Dalam hadits lain Nabi ﷺ bersabda:
"يُسْتَجَابُ
لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي"
"Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa, yakni berkata: 'Aku sudah berdoa, tapi belum juga dikabulkan.'" (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi, doa harus dilakukan dengan kesabaran, ketekunan, dan adab yang benar.
5. Hati yang Lalai adalah Penghalang Utama dalam Doa
Frasa penutup hadits ini: "مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ" (dari hati yang lalai dan berpaling) adalah kunci utama hadits ini. Allah tidak menerima doa yang keluar dari hati yang tidak hadir, tidak sadar, atau sekadar mengucap tanpa makna. Hati seperti ini disebut ghāfil (lalai) dan lāhin (bermain-main, tak serius). Ini adalah peringatan keras agar kita memfokuskan hati ketika berdoa. Dalam Al-Qur'an disebutkan:
﴿قَدْ
أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ﴾
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya." (QS. Al-Mu’minūn: 1-2).
Khusyuk adalah bentuk hadirnya hati, dan ini berlaku dalam semua ibadah, termasuk doa. Doa tanpa kehadiran hati akan kehilangan ruh dan maknanya.
6. Berdoa Adalah Ibadah yang Paling Dicintai oleh Allah
Meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam hadits ini, konsep bahwa doa adalah ibadah yang sangat mulia diperkuat dalam banyak dalil. Nabi ﷺ bersabda:
"الدُّعَاءُ
هُوَ الْعِبَادَةُ"
"Doa itu adalah ibadah." (HR. Tirmidzi, hasan sahih).
Ini menunjukkan bahwa setiap kali kita berdoa, kita sebenarnya sedang beribadah kepada Allah, dan ini adalah amal yang dicintai oleh-Nya. Maka, memperbanyak doa termasuk bagian dari meningkatkan ibadah.
7. Doa Harus Dibarengi dengan Usaha (Ikhtiar)
Hadits ini mengajarkan pentingnya sikap batin, namun Islam mengajarkan keseimbangan antara doa dan usaha nyata. Seseorang yang hanya berdoa tapi tidak berusaha sama saja tidak sungguh-sungguh. Dalam QS. Ar-Ra'd: 11, Allah berfirman:
﴿إِنَّ
اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ﴾
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
Artinya, doa harus disertai tindakan nyata, niat yang tulus, dan usaha untuk mewujudkan apa yang diminta.
8. Kesungguhan dalam Doa Menjadi Sebab Terkabulnya
Kesungguhan dan pengulangan doa adalah bentuk lain dari keyakinan dan kepercayaan terhadap Allah. Nabi ﷺ sendiri mengajarkan berdoa tiga kali ketika meminta sesuatu. Dalam hadits disebutkan:
"إِذَا
دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيُكْثِرْ، فَإِنَّهُ يُسْتَجَابُ لَهُ"
"Jika salah satu dari kalian berdoa, hendaknya ia memperbanyak (permintaannya), karena Allah akan mengabulkan." (HR. Bukhari secara mu’allaq dan diriwayatkan oleh Abu Dawud).
Kesungguhan juga ditunjukkan dengan doa yang disertai air mata, rendah hati, dan kerendahan diri, sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi dan orang-orang saleh.
Penutup
Kajian
Alhamdulillah, kita telah sampai di penghujung kajian hadits yang penuh makna ini. Sebuah hadits singkat dari Rasulullah ﷺ, namun mengandung faedah yang dalam dan sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Hadits yang mengajarkan bahwa doa bukan sekadar rutinitas ibadah, melainkan interaksi ruhani antara hamba dan Rabbnya yang harus diisi dengan keyakinan dan kehadiran hati.
Jama’ah yang dirahmati Allah,
Dari hadits ini kita belajar bahwa doa adalah bentuk penghambaan, dan syarat utama terkabulnya doa bukan hanya pada kalimat yang kita ucapkan, tetapi pada seberapa dalam keyakinan kita kepada Allah dan seberapa hadir hati kita saat bermunajat. Hati yang lalai, yang tidak sadar sedang menghadap Rabb-nya, bisa menjadi penghalang terbesar dari terkabulnya doa. Maka, memperbaiki cara kita berdoa adalah langkah awal memperbaiki hubungan kita dengan Allah.
Harapan kita setelah mempelajari hadits ini adalah agar setiap dari kita mulai memperbaiki adab saat berdoa: hadirkan hati, tinggalkan kesibukan pikiran, dan yakini bahwa Allah Maha Mendengar dan tak pernah mengecewakan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Semoga selepas kajian ini, ketika kita menengadahkan tangan kepada Allah, doa kita tak lagi sekadar formalitas, tetapi menjadi ibadah yang hidup, sarat harap, penuh keyakinan, dan benar-benar mengetuk pintu langit.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang dimuliakan karena doanya, dan diberikan keistiqamahan untuk terus berdoa dalam lapang maupun sempit, dengan hati yang yakin dan sadar bahwa Dia selalu dekat.
Kita tutup kajian ini dengan doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ