Hadits: Kisah Salman dan Abu Darda Menjaga Keseimbangan dalam Beribadah dan Memenuhi Hak-Hak

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Saudaraku sekalian, kaum muslimin yang dirahmati Allah,

Hari ini kita akan bersama-sama membahas sebuah hadits yang sangat penting dalam kehidupan kita sebagai seorang muslim—hadits yang tidak hanya berbicara tentang ibadah, tetapi juga tentang keseimbangan, tanggung jawab, dan hikmah dalam beragama.

Kalau kita melihat realita di tengah masyarakat, kita akan dapati dua kutub yang ekstrem:
Ada sebagian saudara kita yang terlalu semangat beribadah, hingga mereka menyepelekan hak tubuh, hak keluarga, bahkan hak sosial. Mereka berpikir bahwa makin banyak ibadah yang dilakukan, makin sempurna imannya—padahal, kadang niat itu tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar. Di sisi lain, ada pula yang terlalu sibuk mengejar dunia, hingga melupakan ibadah, mengabaikan shalat, dan menjadikan urusan dunia lebih utama dari segalanya.

Hadits yang akan kita bahas ini hadir sebagai penegas jalan tengah. Islam bukan agama yang mengajarkan rahbaniyyah seperti agama-agama sebelumnya, bukan pula agama yang mengajak kita tenggelam dalam dunia. Islam mengajarkan kita untuk adil—menunaikan hak Allah, hak diri sendiri, dan hak keluarga. Inilah keseimbangan yang sangat dibutuhkan oleh umat di zaman ini.

Banyak orang merasa dirinya sudah "alim" karena kuat puasa, banyak shalat malam, tetapi lupa bahwa istri dan anaknya terlantar. Banyak pula yang giat berdakwah ke luar, namun keluarga sendiri tak terurus. Di sinilah urgensi hadits ini: untuk menanamkan prinsip adil, bijak, dan proporsional dalam beragama.

Maka marilah kita simak dan renungkan bersama, hadits agung tentang Abu Darda dan Salman al-Farisi ini—agar hidup kita tidak hanya rajin beribadah, tetapi juga selaras dengan fitrah, dengan keluarga, dan dengan umat. Karena sejatinya, Islam hadir bukan untuk memisahkan dunia dari akhirat, tapi untuk menyinari dunia dengan cahaya akhirat.


Dari Abu Juhafah Wahb bin Abdullah as-Suwa’i radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

آخَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً، فَقَالَ: مَا شَأْنُكِ مُتَبَذِّلَةً؟! قَالَتْ: إِنَّ أَخَاكَ أَبَا الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا، قَالَ: فَلَمَّا جَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ، قَرَّبَ إِلَيْهِ طَعَامًا، فَقَالَ: كُلْ، فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، قَالَ: فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ، ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لِيَقُومَ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: نَمْ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ، فَقَالَ لَهُ: نَمْ، فَنَامَ، فَلَمَّا كَانَ عِنْدَ الصُّبْحِ، قَالَ لَهُ سَلْمَانُ: قُمْ الْآنَ، فَقَامَا فَصَلَّيَا، فَقَالَ: إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا؛ فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَا ذَلِكَ، فَقَالَ: صَدَقَ سَلْمَانُ.

“Rasulullah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda. Maka Salman mengunjungi Abu Darda dan melihat Ummu Darda dalam keadaan lusuh. Salman berkata, ‘Ada apa denganmu sehingga tampak lusuh?’ Ia menjawab, ‘Saudaramu Abu Darda tidak punya kebutuhan terhadap dunia.’

 

Ketika Abu Darda datang, ia menghidangkan makanan, lalu berkata, ‘Makanlah, aku sedang puasa.’ Salman berkata, ‘Aku tidak akan makan sampai engkau makan.’ Maka Abu Darda pun makan.

Ketika malam tiba, Abu Darda hendak bangun untuk salat malam. Salman berkata, ‘Tidurlah!’ Maka ia pun tidur. Lalu Abu Darda hendak bangun lagi, dan Salman berkata, ‘Tidurlah!’ Hingga ketika menjelang subuh, Salman berkata, ‘Sekarang bangunlah.’ Lalu mereka berdua salat.

Setelah itu Salman berkata, ‘Sesungguhnya dirimu punya hak atasmu, Rabb-mu punya hak atasmu, tamumu punya hak atasmu, dan keluargamu punya hak atasmu. Maka berikanlah kepada setiap yang punya hak, haknya.’ Keduanya kemudian datang kepada Nabi dan menceritakan hal itu, lalu Nabi bersabda: ‘Salman benar.’”

HR. al-Bukhari (1968), at-Tirmidzi (2413).


Arti dan Penjelasan Per Kalimat


آخَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ
Rasulullah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda.

Perkataan ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan ikatan ukhuwah antara dua sahabat, yaitu Salman al-Farisi dan Abu Darda radhiyallahu ‘anhuma. Dalam konteks sejarah, ini terjadi ketika kaum Muhajirin dari Mekkah berhijrah ke Madinah, lalu Nabi mempersaudarakan mereka dengan kaum Anshar.

Tujuannya adalah untuk menanamkan solidaritas dan persatuan Islam yang erat. Hal ini bukan sekadar hubungan pertemanan biasa, tetapi bentuk komitmen saling membantu dan berbagi dalam kehidupan dunia dan agama.


فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ
Lalu Salman mengunjungi Abu Darda.

Perkataan ini menggambarkan adanya interaksi sosial dan perhatian antara dua orang yang telah dipersaudarakan oleh Nabi . Kunjungan ini menjadi pintu masuk bagi Salman untuk melihat langsung kondisi kehidupan Abu Darda.

Dalam budaya Islam, menjenguk atau mengunjungi saudara adalah bentuk silaturahmi yang sangat dianjurkan, bahkan bisa menjadi sarana menasihati dengan hikmah.


فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً
Maka Salman melihat Ummu Darda dalam keadaan lusuh.

Perkataan ini menunjukkan bahwa Salman menyaksikan sesuatu yang tidak biasa dari penampilan istri Abu Darda. Kata "mutabaddilah" mengandung makna tidak berhias, berpakaian seadanya, dan menunjukkan kurangnya perhatian terhadap penampilan.

Ini menjadi indikasi bahwa dalam rumah tangga Abu Darda ada dinamika yang membuat istrinya merasa tidak perlu berhias, kemungkinan karena minimnya perhatian suami terhadap urusan duniawi.


فَقَالَ: مَا شَأْنُكِ مُتَبَذِّلَةً؟!
Maka Salman berkata: “Ada apa denganmu sehingga tampak lusuh?!”

Perkataan ini menunjukkan kepekaan Salman terhadap kondisi saudaranya. Ia tidak diam saja melihat hal yang tidak biasa, tetapi bertanya dengan lembut untuk mencari tahu penyebabnya.

Ini menunjukkan pentingnya komunikasi dan perhatian terhadap sesama, khususnya dalam hubungan ukhuwah. Pertanyaan ini juga mengandung rasa empati dan niat memperbaiki, bukan menghakimi.


قَالَتْ: إِنَّ أَخَاكَ أَبَا الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا
Ia berkata: “Saudaramu Abu Darda tidak punya kebutuhan terhadap dunia.”

Perkataan ini menjadi penjelasan dari kondisi Ummu Darda. Ia menyatakan bahwa suaminya sangat fokus pada akhirat, sampai-sampai meninggalkan perhatian terhadap hal-hal duniawi, termasuk kehidupan rumah tangga.

Ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam pemahaman tentang keseimbangan antara dunia dan akhirat. Walaupun zuhud itu mulia, namun jika sampai mengabaikan hak keluarga, maka itu tidak tepat.


قَالَ: فَلَمَّا جَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ، قَرَّبَ إِلَيْهِ طَعَامًا
Ketika Abu Darda datang, ia menghidangkan makanan untuknya.

Perkataan ini menunjukkan adab menjamu tamu yang dijalankan oleh Abu Darda. Meskipun ia sedang berpuasa, ia tetap menghormati tamunya dengan menyajikan makanan.

Ini juga mengajarkan pentingnya memuliakan tamu, sebagaimana yang ditekankan dalam banyak hadits. Meskipun dalam kondisi ibadah, tanggung jawab sosial tetap dijaga.


فَقَالَ: كُلْ، فَإِنِّي صَائِمٌ
Lalu ia berkata: “Makanlah, aku sedang puasa.”

Perkataan ini menunjukkan bahwa Abu Darda sedang berpuasa sunnah, dan ia tidak bermaksud makan bersama Salman.

Hal ini menyingkap bagaimana semangat ibadah Abu Darda sangat tinggi. Namun, dalam konteks ini, ia lebih mengedepankan ibadah individual daripada kebersamaan dan etika terhadap tamu.


قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ
Salman berkata: “Aku tidak akan makan sampai engkau makan.”

Perkataan ini adalah bentuk kebijaksanaan dan didikan dari Salman. Ia ingin mendidik Abu Darda untuk tidak berlebihan dalam beribadah sunnah sehingga mengabaikan hak-hak lain.

Dengan menolak makan sendirian, Salman mengajak Abu Darda untuk menyadari bahwa menjaga keseimbangan dalam kehidupan itu penting, termasuk saat beribadah.


فَأَكَلَ
Maka Abu Darda pun makan.

Perkataan ini menunjukkan bahwa Abu Darda akhirnya mengikuti ajakan Salman. Ini mencerminkan sikap rendah hati dan kesiapan menerima nasihat dari saudaranya.

Hal ini juga menunjukkan bahwa terkadang seseorang membutuhkan pengingat dari luar untuk menyadari pentingnya menyeimbangkan amal ibadah dengan hak-hak sosial.


فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ، ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لِيَقُومَ
Ketika malam tiba, Abu Darda hendak bangun untuk salat malam.

Perkataan ini kembali menegaskan semangat ibadah Abu Darda. Ia tidak hanya berpuasa di siang hari, tapi juga berusaha menghidupkan malam dengan qiyamullail.

Namun, ini juga menunjukkan kecenderungannya yang terlalu fokus pada ibadah sunnah secara berlebihan sehingga bisa mengganggu keseimbangan hidup.


فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: نَمْ، فَنَامَ
Salman berkata kepadanya: “Tidurlah!” Maka ia pun tidur.

Perkataan ini memperlihatkan bimbingan Salman untuk menanamkan kesadaran bahwa tubuh juga punya hak untuk beristirahat. Tidur adalah bagian dari menjaga kesehatan agar tetap mampu beribadah secara konsisten.

Salman secara halus mengingatkan bahwa ibadah yang berkelanjutan harus dibangun di atas kebugaran fisik dan ketenangan jiwa.


ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ، فَقَالَ لَهُ: نَمْ، فَنَامَ
Kemudian Abu Darda hendak bangun lagi, lalu Salman berkata kepadanya: “Tidurlah!” Maka ia pun tidur.

Perkataan ini menunjukkan konsistensi Salman dalam membimbing saudaranya. Ia tidak hanya menegur sekali, tetapi tetap bersikap lembut dan tegas untuk menjaga Abu Darda dari ketidakseimbangan.

Penegasan dua kali ini menggambarkan bahwa memberi nasihat kadang perlu kesabaran dan pengulangan dengan cara yang santun.


فَلَمَّا كَانَ عِندَ الصُّبْحِ، قَالَ لَهُ سَلْمَانُ: قُمْ الْآنَ، فَقَامَا فَصَلَّيَا
Ketika menjelang subuh, Salman berkata kepadanya: “Sekarang bangunlah.” Maka keduanya pun bangun dan salat.

Perkataan ini menunjukkan bahwa waktu salat malam tetap dihidupkan, namun dengan pengaturan yang lebih bijak dan proporsional. Salman tidak menghalangi ibadah, tetapi menempatkannya pada waktunya.

Ini pelajaran penting bahwa ibadah sunnah harus disesuaikan dengan kondisi fisik dan keadaan sekitar.


فَقَالَ: إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا؛ فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
Kemudian Salman berkata: “Sesungguhnya dirimu punya hak atasmu, Rabb-mu punya hak atasmu, tamumu punya hak atasmu, dan keluargamu punya hak atasmu; maka berikanlah kepada setiap yang punya hak, haknya.”

Perkataan ini adalah inti nasihat dari Salman. Ia merangkum prinsip keadilan dan keseimbangan dalam hidup. Setiap pihak memiliki hak: jiwa butuh istirahat, Allah butuh disembah, tamu perlu dihormati, dan keluarga harus diberi perhatian.

Islam tidak hanya mengajarkan ibadah ritual, tapi juga mencakup aspek sosial, fisik, dan emosional. Ungkapan ini menjadi kaidah penting dalam manajemen waktu dan prioritas dalam kehidupan Muslim.


فَأَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَا ذَلِكَ، فَقَالَ: صَدَقَ سَلْمَانُ
Kemudian keduanya mendatangi Nabi dan menceritakan hal itu, lalu beliau bersabda: “Salman benar.”

Perkataan ini merupakan validasi langsung dari Nabi terhadap nasihat Salman. Ini memperlihatkan bahwa sikap Salman benar-benar sejalan dengan tuntunan syariat.

Rasulullah menegaskan bahwa keseimbangan dalam beragama adalah yang benar. Ini menjadi dalil kuat bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara hak Allah, hak diri sendiri, hak keluarga, dan hak sesama manusia.

 


Syarah Hadits


لَمْ يَأْمُرِ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى هٰذِهِ الْأُمَّةَ بِالِانْقِطَاعِ لِلْعِبَادَةِ
Allah Subḥanahu wa Taʿala tidak memerintahkan umat ini untuk memutuskan diri dari kehidupan demi beribadah secara total.

فَلَا رَهْبَانِيَّةَ فِي الْإِسْلَامِ كَالَّتِي ابْتَدَعَهَا النَّصَارَى فِي دِينِهِمْ
Maka tidak ada rahbaniyyah (menyendiri dari dunia) dalam Islam sebagaimana yang diada-adakan oleh kaum Nasrani dalam agama mereka.

وَفِي هٰذَا الْحَدِيثِ يَرْوِي أَبُو جُحَيْفَةَ وَهْبُ بْنُ عَبْدِ اللهِ السُّوَائِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
Dalam hadits ini, Abu Juḥayfah Wahb bin ‘Abdillah as-Suwa’i radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan...

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آخَى بَيْنَ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ
Bahwa Nabi mempersaudarakan antara Salman al-Farisi dan Abu ad-Darda’.

عُوَيْمِرِ بْنِ قَيْسٍ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا مُؤَاخَاةَ مُوَاسَاةٍ
‘Uwainir bin Qais al-Anṣari radhiyallahu ‘anhuma, dalam ikatan persaudaraan saling membantu.

وَلَيْسَتْ كَالَّتِي فِي أَوَّلِ الْهِجْرَةِ الَّتِي كَانَتْ عُقِدَتْ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لِيَتَوَارَثُوا بِهَا
Dan persaudaraan ini bukan seperti yang terjadi di awal hijrah, yang antara Muhajirin dan Anṣar dilakukan untuk saling mewarisi.

فَقَدْ نُسِخَتْ
Karena hukum tersebut telah di-nasakh (dihapus).

فَزَارَ سَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ أَبَا الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ذَاتَ يَوْمٍ
Maka suatu hari, Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhuma mengunjungi Abu ad-Darda’.

فَوَجَدَ أُمَّ الدَّرْدَاءِ خَيْرَةَ بِنْتَ أَبِي حَدْرَدٍ الْأَسْلَمِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مُتَبَذِّلَةً
Ia mendapati Ummu ad-Darda’, Khairah binti Abi Ḥadrad al-Aslamiyyah radhiyallahu ‘anha dalam keadaan sederhana.

يَعْنِي تَلْبَسُ ثِيَابَ الْخِدْمَةِ وَعَمَلِ الْبَيْتِ وَتَتْرُكُ التَّزَيُّنَ
Maksudnya, beliau mengenakan pakaian kerja rumah dan tidak berhias.

فَسَأَلَهَا عَنْ سَبَبِ هٰذِهِ الْحَالَةِ
Maka Salman bertanya kepadanya tentang sebab kondisi itu.

فَقَالَتْ لَهُ: أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا
Ia menjawab: Saudaramu Abu ad-Darda’ tidak punya kebutuhan terhadap dunia.

اسْتِحْيَاءً مِنْ أَنْ تُصَرِّحَ بِعَدَمِ حَاجَتِهِ إِلَى مُبَاشَرَتِهَا
Karena malu untuk mengatakan secara terang bahwa ia tidak menggaulinya.

وَكَانَتْ هٰذِهِ الزِّيَارَةُ وَهٰذَا الْحِوَارُ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ الْحِجَابُ عَلَى الْمُسْلِمَاتِ
Kunjungan dan percakapan ini terjadi sebelum diwajibkannya hijab bagi para wanita muslimah.

ثُمَّ دَخَلَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لِسَلْمَانَ طَعَامًا يَأْكُلُهُ
Kemudian Abu ad-Darda’ masuk dan membuatkan makanan untuk Salman.

فَقَالَ سَلْمَانُ لِأَبِي الدَّرْدَاءِ: كُلْ مَعِي
Salman berkata kepada Abu ad-Darda’: Makanlah bersamaku.

فَرَدَّ عَلَيْهِ أَبُو الدَّرْدَاءِ أَنَّهُ صَائِمٌ
Namun Abu ad-Darda’ menjawab bahwa ia sedang berpuasa.

فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: مَا أَنَا بِآكِلٍ مِنْ طَعَامِكَ شَيْئًا حَتَّى تَأْكُلَ
Salman berkata: Aku tidak akan memakan makananmu sedikit pun sampai engkau makan.

وَغَرَضُهُ بِذٰلِكَ صَرْفُ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَمَّا يَصْنَعُهُ مِنَ الْجَهْدِ فِي الْعِبَادَةِ
Tujuannya adalah untuk menghentikan Abu ad-Darda’ dari sikap berlebihan dalam ibadah.

فَأَكَلَ مَعَهُ أَبُو الدَّرْدَاءِ نُزُولًا عَلَى رَغْبَتِهِ

 Maka Abu ad-Darda’ pun makan bersamanya karena menghormati keinginannya.

ثُمَّ بَاتَ سَلْمَانُ عِنْدَ أَبِي الدَّرْدَاءِ
Kemudian Salman bermalam di rumah Abu ad-Darda’.

فَلَمَّا انْقَضَى جُزْءٌ مِنَ اللَّيْلِ قَامَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لِيُصَلِّيَ
Ketika sebagian malam telah berlalu, Abu ad-Darda’ bangun untuk shalat.

فَأَمَرَهُ سَلْمَانُ أَنْ يَنَامَ
Salman memerintahkannya untuk tidur.

فَنَامَ أَبُو الدَّرْدَاءِ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ فِي وَقْتٍ آخَرَ
Lalu Abu ad-Darda’ tidur, kemudian ia mencoba bangun lagi di waktu yang lain.

فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: نَمْ
Salman berkata: Tidurlah.

فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ، قَالَ لَهُ سَلْمَانُ: قُمْ الْآنَ
Ketika menjelang akhir malam, Salman berkata: Sekarang bangunlah.

وَقَامَ مَعَهُ سَلْمَانُ فَصَلَّيَا
Salman bangun bersamanya dan mereka berdua shalat.

ثُمَّ نَصَحَهُ سَلْمَانُ وَبَيَّنَ لَهُ
Kemudian Salman menasihatinya dan menjelaskan kepadanya...

أَنَّ لِلَّهِ عَلَيْهِ حَقًّا بِالْعِبَادَةِ، وَلِنَفْسِهِ وَجَسَدِهِ عَلَيْهِ حَقًّا بِالرَّاحَةِ وَنَحْوِهَا
Bahwa Allah memiliki hak atasnya dalam bentuk ibadah, dan tubuhnya pun memiliki hak berupa istirahat dan semacamnya.

وَأَنَّ لِأَهْلِهِ مِنَ الزَّوْجَةِ وَالْأَوْلَادِ عَلَيْهِ حَقًّا
Dan keluarganya, istri dan anak-anaknya, juga memiliki hak atasnya.

كَحُسْنِ الْمُعَاشَرَةِ وَالتَّرْبِيَةِ، وَتَعَهُّدِهِمْ بِمَا يُصْلِحُ حَالَ دِينِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ
Seperti memperlakukan mereka dengan baik, mendidik, serta membina mereka dalam urusan agama dan dunia.

وَأَرْشَدَهُ أَنْ يُعْطِيَ كُلَّ صَاحِبِ حَقٍّ حَقَّهُ
Ia menuntunnya untuk memberikan setiap pemilik hak akan haknya.

ثُمَّ أَتَى أَبُو الدَّرْدَاءِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ لَهُ مَا قَالَ سَلْمَانُ
Kemudian Abu ad-Darda’ mendatangi Nabi dan menyampaikan kepadanya apa yang dikatakan oleh Salman.

فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ سَلمانُ فِيما قالَهُ وَما ذَهَبَ إِلَيهِ.
Rasulullah bersabda: “Salman benar dalam apa yang ia katakan dan apa yang ia tuju.”

وفي الحَديثِ: دَليلٌ عَلى أَنَّ الإِنسانَ لا يَنبَغي لَهُ أَن يُكَلِّفَ نَفسَهُ بِالصِّيامِ وَالقِيامِ، وَإِنَّما يُصَلِّي وَيَقومُ عَلى وَجهٍ يَحصُلُ بِهِ الخَيرُ، وَيَزولُ بِهِ التَّعَبُ وَالمَشَقَّةُ وَالعَناءُ.
Dan dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seseorang tidak seharusnya membebani dirinya dengan puasa dan qiyam (shalat malam), melainkan hendaknya ia melakukan shalat dan bangun malam dengan cara yang menghasilkan kebaikan dan menghilangkan keletihan, kesulitan, serta kepayahan.

وفيهِ: مَشروعيَّةُ المُؤاخاةِ فِي اللهِ، وَزِيارَةِ الإِخوانِ، وَالمَبِيتِ عِندَهُم.
Dan di dalamnya terdapat syariatnya persaudaraan karena Allah, serta anjuran saling mengunjungi antar saudara, dan bermalam di rumah mereka.

وفيهِ: مُخاطَبَةُ الأَجنَبِيَّةِ لِلحاجَةِ، وَالنُّصحُ لِلمُسلِمِ.
Dan di dalamnya terdapat kebolehan berbicara dengan wanita non-mahram jika ada kebutuhan, serta kewajiban memberikan nasihat kepada sesama Muslim.

وفيهِ: فَضلُ قِيامِ آخِرِ اللَّيلِ.
Dan di dalamnya terdapat keutamaan qiyamullail (shalat malam) di akhir malam.

وفيهِ: النَّهْيُ عَنِ المُستَحَبَّاتِ إِذا خُشِيَ أَنَّ ذَلِكَ يَفضِي إِلَى السَّآمَةِ وَالمَلَلِ، وَتَفْويتِ الحُقوقِ المَطلوبَةِ.
Dan di dalamnya terdapat larangan memperbanyak amalan sunnah jika dikhawatirkan akan menyebabkan kejenuhan dan kebosanan, serta menyebabkan hilangnya hak-hak yang wajib dipenuhi.

وفيهِ: كَراهِيَةُ الحَملِ عَلى النَّفسِ فِي العِبادَةِ.
Dan di dalamnya terdapat makruhnya memaksakan diri dalam beribadah.

وفيهِ: الفِطرُ مِن صَومِ التَّطوُّعِ لِلحاجَةِ وَالمَصلَحَةِ.
Dan di dalamnya terdapat kebolehan berbuka puasa sunnah karena kebutuhan atau kemaslahatan.

وفيهِ: مَشروعيَّةُ تَزَيُّنِ المَرأَةِ لِزَوجِها.
Dan di dalamnya terdapat disyariatkannya wanita berhias untuk suaminya.

وفيهِ: مَنقَبَةٌ لِسَلمانَ الفارِسِيِّ، حَيثُ صَدَّقَهُ النَّبِيُّ صلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ.
Dan di dalamnya terdapat keutamaan Salman al-Farisi, karena Nabi membenarkannya.

Maraji: https://dorar.net/hadith/sharh/15223


Pelajaran dari Hadits ini


1. Pentingnya Ukhuwah Islamiyah

Perkataan: آخَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ (Rasulullah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda) mengajarkan bahwa Islam sangat menekankan pentingnya ukhuwah. Pemupukan persaudaraan bukan hanya dalam iman, tapi juga dalam kehidupan sosial. Nabi menciptakan ikatan antara Muhajirin dan Anshar agar mereka saling membantu secara lahir dan batin. Ini adalah dasar masyarakat Islam yang kuat. Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Hujurat (49:10):
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
 (Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu diberi rahmat).


2. Menjaga Silaturahmi dan Taat Ukhuwah

Perkataan: فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ (Lalu Salman mengunjungi Abu Darda) menunjukkan bahwa menjaga ukhuwah tidak cukup dengan ikrar saja, tapi harus ditindaklanjuti dengan silaturahmi. Kunjungan Salman menunjukkan empati dan kepedulian terhadap saudaranya. Rasulullah bersabda:
مَنْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ زَارَ أَخًا لَهُ فِي اللهِ نَادَاهُ مُنَادٍ: أَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ، وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الْجَنَّةِ مَنْزِلًا
 (Barang siapa menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka malaikat akan menyerunya: “Semoga engkau baik dan langkahmu diberkahi, serta engkau mendapatkan tempat di surga.” – HR. Tirmidzi)


3. Perhatian terhadap Keluarga dan Kondisi Rumah Tangga

Perkataan: فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً (Maka Salman melihat Ummu Darda dalam keadaan lusuh) mengajarkan pentingnya memperhatikan kesejahteraan dan penampilan anggota keluarga. Kehidupan rumah tangga harus dihidupi dengan kehangatan, bukan keterasingan. Jika istri tampak tidak memperhatikan diri, itu bisa jadi tanda lemahnya perhatian suami. Allah memerintahkan suami untuk memperhatikan keluarganya dalam QS. At-Tahrim (66:6):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
 (Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...)


4. Kepekaan terhadap Perubahan Kondisi

Perkataan: فَقَالَ: مَا شَأْنُكِ مُتَبَذِّلَةً؟! (Maka Salman berkata: “Ada apa denganmu sehingga tampak lusuh?!”) menekankan pentingnya peka terhadap perubahan kondisi saudara. Salman tidak mengabaikan hal yang ganjil, namun bertanya dengan penuh perhatian. Ini menunjukkan adab dalam bertanya—dengan niat memperbaiki, bukan mencela. Rasulullah bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
 (Agama adalah nasihat – HR. Muslim)


5. Ketidakseimbangan dalam Zuhud

Perkataan: قَالَتْ: إِنَّ أَخَاكَ أَبَا الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا (Ia berkata: “Saudaramu Abu Darda tidak punya kebutuhan terhadap dunia”) mengisyaratkan bentuk kezuhudan yang berlebihan. Sementara zuhud dianjurkan, Islam melarang sikap yang merugikan keluarga dan hak-hak duniawi yang sah. Allah berfirman dalam QS. Al-Qashash (28:77):
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
 (Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia...)


6. Adab Menjamu Tamu meski Sedang Ibadah

Perkataan: فَلَمَّا جَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ، قَرَّبَ إِلَيْهِ طَعَامًا (Ketika Abu Darda datang, ia menghidangkan makanan untuknya) menandakan adab memuliakan tamu. Abu Darda tetap menghormati Salman meskipun ia berpuasa. Rasulullah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
 (Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya – HR. Bukhari dan Muslim)


7. Kesungguhan dalam Ibadah tapi Mengabaikan Tanggung Jawab Sosial

Perkataan: فَقَالَ: كُلْ، فَإِنِّي صَائِمٌ (Lalu ia berkata: “Makanlah, aku sedang puasa”) menunjukkan semangat ibadah Abu Darda, namun belum terintegrasi dengan kesadaran sosial. Islam tidak mengajarkan ibadah yang memutus hubungan dan kewajiban sosial. Rasulullah bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
 (Tidak beriman salah satu dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri – HR. Bukhari dan Muslim)


8. Menyampaikan Nasihat dengan Keteladanan

Perkataan: قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ (Salman berkata: “Aku tidak akan makan sampai engkau makan”) mencerminkan metode pendidikan yang sangat efektif: teladan. Salman tidak memaksa dengan kata, tapi menuntun dengan tindakan. Dalam QS. As-Saff (61:2–3), Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
 (Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.)


9. Menjaga Kesehatan Tubuh untuk Keseimbangan Ibadah

Perkataan: فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: نَمْ، فَنَامَ (Salman berkata kepadanya: “Tidurlah!” Maka ia pun tidur) mengajarkan bahwa tubuh juga memiliki hak untuk istirahat. Islam adalah agama yang adil dan seimbang, bahkan tidur dianggap ibadah jika diniatkan dengan benar. Rasulullah bersabda:
إِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
 (Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu – HR. Bukhari)


10. Prioritas Waktu dan Ibadah

Perkataan: قَالَ لَهُ سَلْمَانُ: قُمْ الْآنَ، فَقَامَا فَصَلَّيَا (Salman berkata: “Sekarang bangunlah.” Maka keduanya pun bangun dan salat) menekankan bahwa ibadah sunnah tetap bisa dilakukan dengan tepat waktu dan teratur, tanpa mengorbankan hak tubuh. Ini mengajarkan manajemen waktu dalam ibadah dan kehidupan.


11. Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Perkataan: فَقَالَ: إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا... فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ (Kemudian Salman berkata: “Sesungguhnya dirimu punya hak atasmu... maka berikanlah kepada setiap yang punya hak, haknya.”) merupakan prinsip agung dalam Islam. Keseimbangan antara hak Allah, diri, keluarga, dan masyarakat harus dijaga. Inilah konsep adil yang ditanamkan dalam Islam. Allah berfirman dalam QS. An-Nisa (4:58):
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
 (Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...)


12. Validasi Nabi atas Prinsip Moderat

Perkataan: فَقَالَ: صَدَقَ سَلْمَانُ (Beliau bersabda: “Salman benar.”) menunjukkan bahwa Nabi mengafirmasi prinsip moderasi dan keseimbangan dalam beragama. Ini menjadi teladan agar umat tidak berlebihan dalam ibadah hingga melalaikan aspek lain dari kehidupan. Dalam HR. Ahmad, Nabi bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
 (Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang memberat-beratkan agama melainkan ia akan dikalahkan oleh agama itu.)


13. Kewajiban Menjaga Kesehatan Jiwa dan Mental

Selain fisik, hadits ini juga menunjukkan pentingnya menjaga kesehatan mental. Keletihan yang berkepanjangan karena ibadah tanpa istirahat dapat mengganggu kestabilan jiwa dan semangat. Rasulullah bersabda:
سَاعَةً وَسَاعَةً
 (Sejenak untuk ibadah dan sejenak untuk hiburan) – HR. Muslim dalam konteks hiburan yang mubah dan menenangkan jiwa.


14. Pentingnya Mendahulukan Wajib daripada Sunnah

Hadits ini juga mengajarkan bahwa ibadah wajib harus lebih diutamakan daripada ibadah sunnah yang bisa mengganggu hak wajib lainnya seperti keluarga dan kesehatan. Nabi bersabda dalam hadits Qudsi:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
 (Tidak ada amalan yang lebih Aku cintai dari hamba-Ku kecuali apa yang Aku wajibkan atasnya – HR. Bukhari)


15. Keutamaan Menasihati dengan Hikmah dan Kesabaran

Hadits ini menunjukkan pentingnya menyampaikan nasihat dengan hikmah, keteladanan, dan kesabaran, bukan dengan marah atau mencela. Salman mengubah Abu Darda melalui pendekatan yang santun dan rasional. Allah Ta’ala berfirman dalam QS. An-Nahl (16:125):
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
 (Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik...)


Secara keseluruhan, hadits ini menanamkan prinsip keseimbangan dalam hidup seorang Muslim: antara hak Allah, hak pribadi, hak keluarga, dan hak sosial. Ibadah tidak boleh dilakukan secara berlebihan hingga mengabaikan amanah lainnya. Islam menuntun umatnya agar moderat, adil, dan bijaksana dalam mengatur waktu, tenaga, dan perhatian untuk semua aspek kehidupan.

 


Penutup Kajian


 Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah,

Setelah kita mempelajari hadits yang agung ini, kita semakin sadar bahwa Islam bukan hanya mengatur hubungan kita dengan Allah melalui ibadah, tetapi juga memperhatikan kesehatan jiwa, hak keluarga, kebutuhan sosial, dan kebijaksanaan dalam bertindak. Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa hidup harus seimbang: antara ibadah dan istirahat, antara tugas keluarga dan tugas agama, antara dunia dan akhirat.

Perkataan Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, 

"إنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، ولِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، ولِأهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ"

adalah prinsip agung dalam manajemen kehidupan seorang muslim. Rasulullah ﷺ membenarkan ucapan ini dengan sabda beliau, "صَدَقَ سَلْمَانُ"—membuktikan bahwa Islam memuliakan keseimbangan, bukan keberlebihan yang melampaui batas.

Harapannya, setelah kita memahami hadits ini, setiap dari kita bisa mengevaluasi diri:
Apakah ibadah kita sudah disertai dengan perhatian pada keluarga?
Apakah semangat dunia kita tidak mengorbankan hak Allah?
Apakah tubuh kita kita perlakukan sebagai amanah, bukan alat untuk disiksa tanpa batas?

Mari kita mulai dari hal-hal kecil: membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, tidak memaksakan diri dalam ibadah sunnah hingga mengganggu fisik, dan tetap menjaga hubungan harmonis dengan pasangan serta anak-anak. Inilah wujud penerapan Islam yang menyeluruh.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang adil dalam menjalankan agamanya, bijak dalam membagi hak-hak, dan selamat dari ekstremisme dalam bentuk apapun.

Akhirnya, kita tutup kajian ini dengan doa kafaratul majelis:

 

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers