Hadits: Neraka Bagi Koruptor Harta Umat
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Jama’ah yang dirahmati Allah,
Izinkan saya memulai kajian ini dengan sebuah realita yang amat dekat dengan kehidupan kita. Di negeri ini—dan juga banyak negeri Muslim lainnya—masih sering kita saksikan betapa harta publik seperti dana sosial, bantuan bencana, zakat, hingga anggaran pembangunan tidak selalu dikelola dengan amanah. Entah karena lemahnya iman, longgarnya pengawasan, atau karena sudah menjadi "budaya" pembiaran, maka penyelewengan dana umat kerap dianggap hal yang biasa.
Padahal, Rasulullah ﷺ telah memberikan peringatan keras terhadap siapa pun yang menyalahgunakan harta milik umat. Dalam hadits yang akan kita bahas hari ini, beliau menyampaikan bahwa orang-orang yang mengambil harta Allah dan Rasul-Nya tanpa hak, maka untuk mereka neraka pada hari kiamat. Betapa berat konsekuensinya, bahkan sebelum disidang di dunia, mereka sudah dijanjikan siksa di akhirat.
Maka hadits ini bukan hanya peringatan bagi pejabat tinggi negara atau bendahara besar, tetapi juga bagi kita semua—yang mungkin terlibat sebagai pengelola dana kegiatan sosial, kas RT, panitia masjid, pengurus sekolah, atau lembaga zakat. Karena sekecil apapun bagian dari amanah harta publik yang kita kelola, kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Jama’ah sekalian,
Kajian hari ini menjadi sangat penting dan mendesak untuk kita pelajari karena:
-
Ia mengajarkan bagaimana Islam menata ekonomi dengan prinsip keadilan dan amanah.
-
Ia memperingatkan kita bahwa dosa dalam pengelolaan harta bukan hanya melanggar hukum dunia, tapi juga melanggar kehormatan syariat.
-
Dan yang tak kalah penting, hadits ini membentuk karakter pribadi yang jujur, adil, dan bertanggung jawab, sebagai pilar penting dalam membangun masyarakat yang berkah.
Semoga dengan memahami hadits ini, kita semakin takut untuk menyentuh harta yang bukan hak kita, dan semakin bersemangat menjadi penjaga amanah di mana pun Allah menempatkan kita.
Hadits dari Khawlah
binti Tsāmir radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ
الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ، وَإِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، لَهُمُ النَّارُ يَوْمَ القِيَامَةِ.
Sesungguhnya
dunia itu hijau lagi manis, dan sesungguhnya para lelaki (sebagian manusia)
menyalahgunakan harta Allah dan Rasul-Nya tanpa hak; bagi mereka (dijanjikan)
neraka pada hari kiamat..
HR. At-Tirmidzi
no. 2374 dan Ahmad no. 27124
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
إِنَّ الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ
"Sesungguhnya dunia itu hijau
lagi manis."
Ungkapan ini menggambarkan dunia dengan dua sifat yang
sangat menarik perhatian manusia: "خَضِرَةٌ" (hijau) dan "حُلْوَةٌ" (manis).
Dalam bahasa Arab, kata “hijau” melambangkan sesuatu
yang menyenangkan dipandang, segar, dan menjanjikan kesuburan atau kehidupan.
Sementara “manis” mengisyaratkan kenikmatan, kesenangan, dan daya tarik bagi
nafsu manusia.
Rasulullah ﷺ sedang
mengingatkan bahwa dunia tampak indah dan menyenangkan secara lahiriah,
sehingga manusia cenderung terpesona dan tergoda olehnya.
Namun, daya tarik dunia ini bersifat sementara
dan menipu, sehingga perlu diwaspadai agar tidak lalai dari
tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu akhirat. Ungkapan ini adalah pembuka yang
mengajak merenungi kecenderungan hati manusia terhadap kenikmatan duniawi.
وَإِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ
"Dan sesungguhnya ada
orang-orang (lelaki) yang menyalahgunakan harta Allah dan Rasul-Nya."
Ungkapan ini mengandung peringatan keras terhadap
sekelompok orang yang memperlakukan harta milik Allah dan Rasul-Nya—yakni
harta yang termasuk dalam kategori baitul mal
(perbendaharaan negara Islam)—secara serampangan.
Kata "يَتَخَوَّضُونَ" secara harfiah berarti berbuat semaunya
atau bertindak sembarangan di dalam sesuatu, yang dalam konteks ini berarti
mereka mempergunakan atau menguasai harta milik umum tanpa hak.
Ini bisa mencakup bentuk korupsi, penyelewengan dana
umat, atau pemanfaatan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi.
Rasulullah ﷺ
mengisyaratkan bahwa orang-orang seperti ini tidak memiliki rasa takut kepada
Allah, dan mereka memanfaatkan jabatan, kekuasaan, atau kedekatan dengan
kekuasaan untuk mengambil harta yang bukan miliknya.
بِغَيْرِ حَقٍّ
"Tanpa hak."
Ungkapan ini menegaskan bahwa tindakan tersebut
dilakukan tanpa alasan yang sah, tanpa izin syar’i
atau legitimasi hukum. Dalam Islam, segala bentuk pemanfaatan harta—terutama
harta umat atau negara—harus dilakukan sesuai aturan dan tanggung jawab yang
benar.
Kata "بِغَيْرِ حَقٍّ" menunjukkan bahwa kezaliman terjadi
ketika seseorang mengambil hak yang bukan miliknya, meski tampaknya ia memiliki
akses terhadapnya.
Ini menjadi catatan penting bahwa memiliki kekuasaan
atau kewenangan tidak serta-merta
berarti seseorang berhak menggunakan harta semaunya. Setiap harta yang diambil
atau dimanfaatkan harus memiliki dasar keadilan dan kejujuran.
لَهُمُ النَّارُ يَوْمَ القِيَامَةِ
"Bagi mereka (disiapkan) neraka
pada hari kiamat."
Ini adalah bagian paling tegas dari hadits tersebut,
yakni ancaman Allah terhadap pelaku penyelewengan.
Kata "لَهُمُ النَّارُ"
menunjukkan balasan langsung berupa neraka, bukan
sekadar azab ringan atau peringatan. Hal ini mencerminkan betapa besar dosanya
orang yang mengkhianati amanah publik, terlebih lagi jika itu dilakukan secara
terang-terangan dan sistematis.
Ungkapan ini juga menegaskan bahwa meskipun pelaku
mungkin selamat di dunia, di akhirat tidak akan lepas dari
hukuman.
Ini menjadi
pengingat keras bagi siapa pun yang diberi amanah untuk mengelola kekayaan umat
agar bersikap jujur, adil, dan takut kepada Allah dalam setiap tindakannya.
Syarah
Hadits
جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْمَالَ قِيَامًا
لِلنَّاسِ
Allah Subḥānahu (Mahasuci Dia) telah menjadikan harta sebagai penopang bagi
manusia,
تَقُومُ بِهِ مَصَالِحُ دِينِهِمْ
وَدُنْيَاهُمْ
yang dengannya tegaklah kemaslahatan agama mereka dan dunia mereka.
وَبَيَّنَ أَنَّ كَسْبَهُ وَإِنْفَاقَهُ
يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مِنَ الْحَلَالِ وَإِلَى الْحَلَالِ الْمَشْرُوعِ
Dan Dia menjelaskan bahwa memperolehnya (harta) dan membelanjakannya seharusnya
berasal dari yang halal dan menuju pada yang halal yang disyariatkan.
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ حَذَّرَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْضَ الرِّجَالِ مِنَ الْعُمَّالِ
وَغَيْرِهِمْ
Dan dalam hadits ini Nabi ﷺ memperingatkan sebagian lelaki dari
kalangan para petugas (pejabat) dan selain mereka,
أَنْ يَتَصَرَّفُوا فِي مَالِ اللَّهِ
بِغَيْرِ حَقٍّ
agar tidak bertindak dalam harta Allah tanpa hak (yang sah).
وَهَذَا مَعْنًى عَامٌّ فِي كُلِّ مَا يَخُصُّ
الْمَالَ
Dan ini adalah makna umum dalam segala hal yang berkaitan dengan harta,
مِنْ حَيْثُ جَمْعُهُ وَكَسْبُهُ مِنْ غَيْرِ
حِلِّهِ
baik dari sisi mengumpulkannya dan memperolehnya dari selain jalan yang halal,
وَإِنْفَاقُهُ فِي غَيْرِ مَوَاضِعِهِ
الصَّحِيحَةِ
maupun membelanjakannya pada selain tempat-tempat yang benar.
وَإِضَافَةُ الْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
يُقْصَدُ بِهَا
Dan penyandaran harta kepada Allah Ta‘ālā dimaksudkan
أَمْوَالُ الْغَنَائِمِ وَبُيُوتُ أَمْوَالِ
الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ
yakni harta rampasan perang dan baitul mal (perbendaharaan) kaum muslimin
secara umum
الَّتِي جَعَلَهَا اللَّهُ لِمَصَالِحِهِمْ
yang telah Allah jadikan untuk kemaslahatan mereka.
فَيَأْخُذُهَا الْعُمَّالُ وَالْحُكَّامُ
بِغَيْرِ حَقٍّ وَبِالْبَاطِلِ
Namun para petugas dan penguasa mengambilnya tanpa hak dan dengan cara yang
batil,
فَيَأْخُذُونَ مِنْهَا أَكْثَرَ مِمَّا
يَسْتَحِقُّونَ عَلَى أَعْمَالِهِمْ
mereka mengambil darinya lebih dari yang pantas mereka dapatkan atas pekerjaan
mereka,
أَوْ يُعْطُونَ مَنْ لَا يَسْتَحِقُّ
atau mereka memberikan kepada orang yang tidak berhak,
أَوْ غَيْرَ ذَٰلِكَ مِمَّا لَيْسَ بِحَقٍّ
atau selain dari itu yang bukan merupakan kebenaran (tidak sah).
فَأَخْبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ هَؤُلَاءِ لَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Maka Nabi ﷺ mengabarkan bahwa mereka ini akan mendapat neraka pada hari
kiamat,
إِلَّا أَنْ يَتُوبُوا
kecuali jika mereka bertaubat,
فَيَرُدُّوا الْمَظَالِمَ إِلَى أَهْلِهَا
dengan cara mengembalikan kezaliman kepada pemiliknya.
وَقَوْلُهُ: «فَلَهُمْ» يَدُلُّ عَلَى
سُرْعَةِ الْعَذَابِ وَقُرْبِهِ الشَّدِيدِ
Dan sabdanya: Maka bagi mereka… menunjukkan cepatnya azab dan dekatnya (azab
itu) dengan keras
مِمَّنْ يَتَصَرَّفُونَ فِي الْأَمْوَالِ
بِغَيْرِ حَقٍّ
terhadap orang-orang yang bertindak dalam harta dengan tanpa hak.
وَفِي الْحَدِيثِ: بَيَانُ أَنَّ الْأَمْوَالَ
الْعَامَّةَ لَيْسَتْ مَرْتَعًا لِمَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَلَيْهَا
Dan dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa harta umum bukanlah ladang bebas
bagi siapa pun yang Allah beri tanggung jawab atasnya,
لِأَنَّهُ سَيُحَاسَبُ عَلَيْهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
karena ia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya pada hari kiamat.
وَفِيهِ: رَدْعٌ لِلْوُلَاةِ وَالْأُمَرَاءِ
أَلَّا يَأْخُذُوا مِنْ مَالِ اللَّهِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ
Dan di dalamnya (terdapat) pencegahan bagi para pemimpin dan penguasa agar
tidak mengambil dari harta Allah sedikit pun tanpa haknya,
وَلَا يَمْنَعُوهُ مِنْ أَهْلِهِ
dan tidak menghalangi harta tersebut dari orang-orang yang berhak menerimanya.
Sumber: https://dorar.net/hadith/sharh/84876
Pelajaran
dari Hadits ini
1. Harta adalah sarana penopang kehidupan (قِيَامًا لِلنَّاسِ)
Allah menciptakan harta bukan sebagai tujuan hidup, tetapi sebagai wasilah (sarana) untuk menopang maslahat agama dan dunia. Dalam Islam, keberadaan harta dimanfaatkan untuk membangun peradaban: mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit, menegakkan jihad, serta menolong fakir miskin. Maka, orang yang menguasai atau mengelola harta wajib memanfaatkannya sesuai tujuan penciptaannya. Harta bukan simbol kemuliaan, tetapi alat ujian: "ثم لتسألنّ يومئذٍ عن النعيم" (At-Takāthur: 8).
2. Wajib mencari dan membelanjakan harta dari jalan yang halal
Setiap muslim diperintahkan untuk memperhatikan dua sisi dalam harta: sumber dan tujuan. Harta yang diperoleh dari jalan haram tidak akan diberkahi, meski kelihatan banyak. Begitu pula harta halal yang dibelanjakan untuk hal yang batil, tetap mengundang murka Allah. Ini menjadi kaidah penting dalam fikih muamalah:
إِنَّ الحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ،
وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ، لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ.
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar, yang tidak diketahui oleh banyak manusia....” (HR. Bukhari-Muslim).
3. Ancaman keras terhadap pengkhianatan atas harta milik umum
Rasulullah ﷺ memberi peringatan khusus kepada petugas negara atau siapa pun yang ditugaskan mengelola harta umat, agar tidak menyentuhnya tanpa hak. Karena kezaliman di bidang harta lebih berat hisabnya daripada kezaliman dalam perkataan. Perbuatan seperti:
Mengambil bagian lebih dari jatahnya,
Memberi kepada orang yang tidak berhak,
Memalsukan laporan,
Menyembunyikan sebagian hasil, adalah bagian dari pengkhianatan yang mengantarkan pelakunya kepada neraka, sebagaimana dalam hadits ini dan banyak riwayat lain.
4. Harta publik bukan milik penguasa, tapi milik umat
Penyandaran harta kepada Allah dalam kalimat "مال الله" menunjukkan bahwa harta tersebut bukan milik personal siapa pun. Harta umat tidak boleh dijadikan ladang pribadi, karena hakikatnya milik bersama. Pemimpin atau pejabat hanya sebagai wakil dan amanah, bukan pemilik. Maka, prinsip akuntabilitas (mas’ūliyah) sangat penting dalam mengelola harta publik.
5. Setiap pengambilan harta secara batil akan dihisab
Islam mengakui hak imbalan bagi orang yang bekerja. Namun bila ia mengambil lebih dari haknya, apalagi tanpa kejelasan aturan atau dengan rekayasa, maka itu adalah ghasab (perampasan hak), bukan imbalan.
6. Taubat dalam urusan harta harus disertai pengembalian hak
Berbeda dari dosa ritual (seperti meninggalkan salat), dosa muamalah seperti mengambil harta orang lain tidak gugur hanya dengan istighfar. Ia harus disertai pengembalian hak.
Ini adalah syarat taubat yang sah bagi pelanggaran harta: penyesalan, istighfar, dan pengembalian hak.
7. Ancaman neraka bagi pelanggar hak keuangan sangat dekat dan nyata
Lafaz hadits: "فلهم النار" memberi isyarat bahwa hukuman atas penyalahgunaan harta itu cepat dan langsung, tidak ada ruang penundaan. Ini memperlihatkan betapa seriusnya Islam menanggapi kezaliman dalam masalah harta. Dalam konteks modern, ini bisa kita lihat pada efek sistemik korupsi terhadap kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan sosial.
8. Hadits ini sebagai dalil bahwa amanah jabatan bukan kekuasaan mutlak
Seseorang yang diberi kedudukan atas pengelolaan harta, tidak berarti berhak memperlakukan harta sesuai keinginannya. Kedudukan tersebut adalah amanah, dan ia akan ditanya secara detail pada hari kiamat:
كُلُّكُمْ
رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari-Muslim).
9. Pentingnya transparansi dan audit dalam pengelolaan harta publik
Hadits ini memberikan pijakan kuat bagi penerapan sistem akuntabilitas dan pengawasan keuangan. Transparansi anggaran, laporan keuangan publik, dan audit internal/eksternal adalah bagian dari menjunjung amanah. Tanpa kontrol, kekuasaan cenderung disalahgunakan.
10. Keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawab
Kekuasaan atas harta menimbulkan dua konsekuensi:
Hak untuk mengatur, tapi
Kewajiban untuk mempertanggungjawabkan.
Islam tidak anti kekuasaan, tapi menekankan pertanggungjawaban yang sangat berat di akhirat. Bahkan, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ.
"Ya Allah, siapa saja yang memegang suatu urusan dari urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia; dan siapa saja yang memegang suatu urusan dari urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka perlakukanlah ia dengan kelembutan." (HR. Muslim no 1828).
11. Bahaya normalisasi penyimpangan keuangan
Ketika penyalahgunaan harta publik dianggap “biasa”, maka masyarakat pun ikut terseret dalam dosa kolektif. Hadits ini seakan membunyikan alarm bahwa setiap bentuk pembiaran terhadap praktik tersebut dapat menyebabkan hilangnya keberkahan umat secara umum.
12. Konsekuensi sosial dari pengkhianatan terhadap harta publik
Selain berdampak di akhirat, tindakan ini merusak kepercayaan masyarakat, melemahkan negara, dan memicu ketimpangan sosial. Maka, hadits ini juga menyiratkan pentingnya menjaga kepercayaan publik sebagai bagian dari maṣlaḥah.
13. Dorongan untuk membangun budaya integritas di lembaga keuangan dan negara
Integritas bukan sekadar nilai moral pribadi, tapi harus menjadi budaya sistemik. Dengan menjadikan hadits ini sebagai rujukan, lembaga pengelola keuangan bisa menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan profesionalitas yang terikat oleh nilai agama.
14. Menjadi pengingat bagi setiap orang yang bekerja di sektor publik
Bukan hanya pejabat tinggi, tetapi siapa saja yang terlibat dalam pengelolaan harta umum—seperti bendahara, akuntan, pengurus dana sosial, pengelola zakat, dll—hadits ini menjadi tameng diri agar tidak tergoda menyentuh harta tanpa hak.
Penutup
Kajian
Alhamdulillāh, segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita kesempatan untuk menuntut ilmu dan memperdalam pemahaman terhadap sabda Rasul-Nya ﷺ. Hadits yang kita pelajari hari ini bukan hanya sekadar pengingat, tetapi peringatan serius dari Nabi Muhammad ﷺ tentang betapa besar tanggung jawab dalam mengelola harta yang bukan milik pribadi, apalagi harta milik umum, umat, dan negara.
Dari hadits ini kita mengambil beberapa faedah penting:
-
Harta adalah amanah, bukan milik mutlak manusia. Allah menjadikannya sebagai sarana menegakkan maslahat dunia dan agama.
-
Setiap bentuk penyelewengan terhadap harta umat adalah dosa besar, dan ada ancaman nyata berupa azab neraka bagi pelakunya.
-
Amanah dan kejujuran adalah standar utama dalam mengelola segala bentuk kekayaan bersama, dari level terkecil hingga paling besar.
-
Syariat mengaitkan urusan dunia dengan hisab akhirat, sehingga tidak ada yang bisa bersembunyi dari tanggung jawab meskipun lolos dari hukum manusia.
Maka harapan besar dari kajian ini adalah, semoga kita semua:
-
Menjadi pribadi yang tak mudah silau oleh kekayaan, dan tidak tergoda mengambil yang bukan hak.
-
Menjadi penjaga amanah yang kuat dalam posisi apapun—sebagai bendahara, relawan, pemimpin, atau bahkan orang biasa yang kebetulan diberi titipan.
-
Dan yang paling penting, semoga hadits ini membangkitkan rasa takut kita kepada Allah dalam perkara harta dan amanah, serta menguatkan niat untuk terus menjaga kebersihan hati dan kehalalan usaha.
Mari kita tutup dengan doa:
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الْأُمَنَاءِ، وَاحْفَظْ أَيْدِيْنَا وَقُلُوْبَنَا مِنَ الْخِيَانَةِ، وَارْزُقْنَا كَسْبًا طَيِّبًا وَقَلْبًا نَقِيًّا، وَاخْتِمْ لَنَا بِالْخَيْرِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang amanah, dan jagalah tangan-tangan serta hati-hati kami dari pengkhianatan, dan anugerahkanlah kepada kami rezeki yang baik serta hati yang bersih, dan akhiri hidup kami dengan kebaikan, wahai Dzat Yang Maha Pengasih dari semua yang mengasihi.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang jujur, amanah, dan selamat dari fitnah dunia dan api neraka.
Kita tutup kajian ini dengan doa kafaratul majelis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ