Hadits: Umar Mencium Hajar Aswad
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Para peserta kajian yang saya hormati,
Alhamdulillah kita dapat berkumpul pada kesempatan yang penuh berkah ini untuk bersama-sama menelaah salah satu hadits yang sangat penting dalam praktik ibadah haji, yaitu mengenai mencium Hajar Aswad. Hadits ini bukan hanya sebuah tindakan ritual, tetapi menyimpan banyak hikmah dan pelajaran yang sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam memahami makna ketaatan dan penghambaan kita kepada Allah SWT.
Sebagaimana kita ketahui, dalam masyarakat kita, ada berbagai macam pemahaman terkait amalan ibadah, termasuk ibadah haji. Salah satu tindakan yang sering dilakukan oleh jamaah haji adalah mencium Hajar Aswad, yaitu batu hitam yang terletak di sudut Ka'bah. Bagi sebagian orang, tindakan ini mungkin hanya dipandang sebagai sebuah tradisi atau rutinitas yang dilakukan oleh setiap jamaah yang melakukan tawaf di sekitar Ka'bah. Namun, sangat penting bagi kita untuk memahami bahwa setiap amalan dalam Islam, terutama yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, bukan sekadar mengikuti suatu kebiasaan, melainkan sebagai wujud ketaatan dan penghormatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Berdasarkan hadits yang akan kita bahas, kita akan menemukan bahwa meskipun Hajar Aswad itu sendiri tidak memiliki kekuatan magis atau memberi manfaat secara langsung, tetapi tindakan mencium atau menyentuhnya memiliki nilai simbolik yang sangat mendalam. Tindakan ini menegaskan bahwa kita mengikuti petunjuk Rasulullah SAW, yang adalah teladan terbaik bagi umat Islam. Lebih jauh lagi, hadits ini mengajarkan kepada kita bagaimana umat Islam yang terdahulu, seperti Umar bin Khattab RA, dengan penuh keyakinan melakukan amalan ini sebagai bentuk ketaatan yang mendalam kepada Rasulullah SAW, meskipun beliau menyadari bahwa Hajar Aswad sendiri tidak memberi manfaat atau mudarat secara fisik.
Di tengah masyarakat saat ini, banyak yang kadang masih salah paham tentang keutamaan-keutamaan ibadah tertentu, seperti mencium Hajar Aswad. Beberapa orang mungkin menganggapnya sebagai suatu hal yang wajib atau bahkan memiliki kekuatan luar biasa. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa amalan ini bukanlah tentang batu atau tempatnya, tetapi tentang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan mempelajari hadits ini, kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai urgensi mengikuti sunnah Nabi, bukan hanya dalam konteks ibadah haji, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Melalui kajian ini, diharapkan kita semua dapat memahami dan mengambil faedah dari tindakan yang tampaknya sederhana ini, yaitu mencium Hajar Aswad, namun sesungguhnya mengandung pelajaran besar tentang bagaimana kita sebagai umat Islam harus senantiasa mengikuti petunjuk Rasulullah SAW, baik dalam amalan ibadah, akhlak, maupun kehidupan sehari-hari. Semoga kajian ini bisa memperkaya pemahaman kita dan memperkuat iman kita dalam menjalankan sunnah-sunnah Nabi.
Mari kita mulai kajian ini dengan penuh semangat dan keikhlasan, serta berharap agar Allah SWT memberikan pemahaman yang benar kepada kita semua. Aamiin.
Hadits dari Abdullah
bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
أنَّ عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ لِلرُّكْنِ: أَمَا وَاللَّهِ، إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ
وَلَا تَنْفَعُ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اسْتَلَمَكَ مَا اسْتَلَمْتُكَ، فَاسْتَلَمَهُ، ثُمَّ قَالَ: فَمَا
لَنَا وَلِلرَّمَلِ؟ إِنَّمَا كُنَّا رَاءَيْنَا بِهِ الْمُشْرِكِينَ وَقَدْ
أَهْلَكَهُمُ اللَّهُ، ثُمَّ قَالَ: شَيْءٌ صَنَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا نُحِبُّ أَنْ نَتْرُكَهُ.
Sesungguhnya Umar
bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata kepada (Hajar) Rukun:
"Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa engkau hanyalah
sebuah batu, yang tidak dapat memberikan mudarat maupun manfaat. Seandainya aku
tidak melihat Nabi ﷺ menciummu, niscaya aku tidak akan
menciummu."
Lalu beliau (Umar) pun menciumnya, kemudian berkata:
"Mengapa kita masih melakukan ramal (berlari-lari
kecil dalam thawaf)? Dahulu kita melakukannya untuk memperlihatkan kekuatan
kita kepada kaum musyrikin, padahal Allah telah membinasakan mereka."
Lalu beliau berkata lagi:
"Ini adalah sesuatu yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, maka kita tidak suka untuk meninggalkannya."
HR Muslim (1270)
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
أنَّ عُمَرَ بنَ
الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِلرُّكْنِ
Bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu berkata kepada (Hajar) Rukun.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat Nabi ﷺ yang juga Khalifah kedua dalam Islam. "Rukun" dalam
konteks ini merujuk pada Hajar Aswad, batu yang terdapat di salah satu sudut
Ka'bah. Perkataan Umar ini menunjukkan interaksi beliau dengan Hajar Aswad,
yang merupakan bagian dari ibadah thawaf.
أَمَا وَاللَّهِ، إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ
حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ
Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa engkau
hanyalah sebuah batu yang tidak dapat memberikan mudarat maupun manfaat.
Umar bin
Khattab radhiyallahu ‘anhu menegaskan keyakinannya bahwa Hajar Aswad hanyalah
benda mati yang tidak memiliki kekuatan untuk memberikan manfaat atau mudarat. Pernyataan
ini merupakan bentuk tauhid, yaitu menegaskan bahwa hanya Allah-lah yang
memiliki kekuasaan untuk memberikan manfaat dan mudarat. Hal ini juga
sebagai pelajaran agar umat Islam tidak menyekutukan Allah dengan benda-benda
tertentu.
وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَلَمَكَ مَا اسْتَلَمْتُكَ
Seandainya aku tidak melihat Nabi ﷺ menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.
Umar
menegaskan bahwa satu-satunya alasan ia mencium Hajar Aswad adalah karena
mengikuti sunnah Nabi ﷺ. Ini
menunjukkan prinsip penting dalam ibadah, yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah
ﷺ meskipun secara logika ibadah tersebut
mungkin tidak memiliki manfaat duniawi yang jelas.
فَاسْتَلَمَهُ
Lalu beliau pun menciumnya.
Setelah
menyampaikan prinsipnya, Umar tetap mencium Hajar Aswad sebagai bentuk
kepatuhan terhadap sunnah Rasulullah ﷺ. Ini
menunjukkan keseimbangan antara pemahaman akidah yang benar dan komitmen dalam
mengikuti sunnah Nabi.
ثُمَّ قَالَ: فَمَا لَنَا وَلِلرَّمَلِ؟
Kemudian beliau berkata: Mengapa kita
masih melakukan ramal (berlari-lari kecil dalam thawaf)?
Umar mempertanyakan alasan di balik tetap dilakukannya
ramal, yaitu berlari-lari kecil dalam tiga putaran pertama thawaf. Ramal
awalnya dilakukan oleh kaum Muslimin untuk menunjukkan kekuatan mereka di
hadapan kaum musyrikin ketika mereka pertama kali berhijrah ke Makkah dan
melakukan thawaf.
إِنَّمَا كُنَّا رَاءَيْنَا بِهِ
الْمُشْرِكِينَ وَقَدْ أَهْلَكَهُمُ اللَّهُ
Dahulu kita melakukannya untuk
memperlihatkan kekuatan kita kepada kaum musyrikin, padahal Allah telah membinasakan
mereka.
Ramal awalnya
bertujuan agar kaum musyrikin melihat bahwa kaum Muslimin tetap kuat meskipun
mereka sebelumnya dianggap lemah akibat hijrah. Namun, setelah Allah
membinasakan kaum musyrikin, alasan utama dari ramal sudah tidak relevan lagi.
Umar mempertanyakan apakah ibadah ini masih perlu dilanjutkan.
ثُمَّ قَالَ: شَيْءٌ صَنَعَهُ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا نُحِبُّ أَنْ نَتْرُكَهُ
Lalu beliau berkata: Ini adalah
sesuatu yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, maka kita tidak suka untuk
meninggalkannya.
Meskipun alasan awal ramal sudah tidak ada, Umar tetap
melanjutkan amalan tersebut karena Rasulullah ﷺ pernah
melakukannya. Ini menunjukkan prinsip dalam fiqih Islam bahwa suatu ibadah
tetap dilakukan selama telah dicontohkan oleh Nabi ﷺ,
meskipun alasan asalnya mungkin sudah tidak relevan lagi.
Syarah
Hadits
الحَجَرُ الأسوَدُ حَجَرٌ كَرِيمٌ
Batu Hajar Aswad adalah batu yang mulia.
أَنزَلَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
مِنَ الجَنَّةِ
Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkannya dari surga.
فَكَانَ يُقَبِّلُهُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Maka Nabi ﷺ menciumnya.
وَاتِّبَاعًا لِهَدْيِهِ نُقَبِّلُهُ
وَنَسْتَلِمُهُ وَنُشِيرُ إِلَيْهِ
Sebagai bentuk mengikuti petunjuknya, kita menciumnya,
menyentuhnya, dan memberi isyarat kepadanya.
وَإِنْ كَانَ حَجَرًا لَا يَضُرُّ وَلَا
يَنْفَعُ
Meskipun ia hanyalah batu yang tidak memberi mudarat maupun
manfaat.
وَفِي هَذَا الحَدِيثِ بَيَانٌ لِتَسْلِيمِ
الصَّحَابَةِ وَشِدَّةِ إِيمَانِهِمْ
Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang kepatuhan para
sahabat dan kuatnya iman mereka.
فَيُخْبِرُ أَسْلَمُ، مَوْلَى عُمَرَ
Maka Aslam, bekas budak Umar, mengabarkan.
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ كَانَ يُقَبِّلُ الحَجَرَ الأَسْوَدَ
Bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu biasa mencium Hajar Aswad.
وَهُوَ المَوْجُودُ فِي البَيْتِ الحَرَامِ
Yang berada di Baitullah (Ka’bah).
وَمَكَانُهُ فِي الرُّكْنِ الجَنُوبِيِّ
الشَّرْقِيِّ لِلكَعْبَةِ المُشَرَّفَةِ مِنَ الخَارِجِ
Dan tempatnya berada di sudut tenggara luar Ka’bah yang
mulia.
وَهُوَ فِي غِطَاءٍ مِنَ الفِضَّةِ فِي
أَيَّامِنَا هَذِهِ
Dan saat ini ia berada dalam penutup dari perak.
وَقَدْ أَوْضَحَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Dan Umar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan.
أَنَّ سَبَبَ تَقْبِيلِهِ لِهَذَا الحَجَرِ
رُؤْيَتُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُهُ
Bahwa alasan dia mencium batu ini adalah karena melihat
Nabi ﷺ menciumnya.
وَلَوْلَا ذَلِكَ مَا قَبَّلَهُ عُمَرُ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ
Seandainya bukan karena itu, Umar radhiyallahu ‘anhu tidak
akan menciumnya.
لِعِلْمِهِ أَنَّهُ حَجَرٌ لَا يَضُرُّ وَلَا
يَنْفَعُ بِذَاتِهِ
Karena ia tahu bahwa batu ini tidak dapat memberi mudarat
maupun manfaat dengan sendirinya.
وَإِنَّمَا النَّفْعُ بِالثَّوَابِ الَّذِي
يَحْصُلُ بِامْتِثَالِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Namun, manfaatnya adalah dalam bentuk pahala yang diperoleh
dengan menaati perintah Nabi ﷺ.
وَالِاسْتِنَانِ بِتَقْبِيلِهِ
Dan mengikuti sunahnya dengan mencium batu tersebut.
وَقِيلَ: إِنَّمَا قَالَ عُمَرُ ذَلِكَ
Dikatakan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu mengucapkan itu.
لِأَنَّ النَّاسَ كَانُوا حَدِيثِي عَهْدٍ
بِعِبَادَةِ الأَصْنَامِ
Karena orang-orang saat itu baru saja meninggalkan
penyembahan berhala.
فَخَشِيَ أَنْ يَظُنَّ الجُهَّالُ أَنَّ
اسْتِلَامَ الحَجَرِ هُوَ مِثْلُ مَا كَانَتِ العَرَبُ تَفْعَلُهُ فِي
الجَاهِلِيَّةِ
Ia khawatir orang-orang bodoh mengira bahwa menyentuh batu
ini seperti yang dilakukan orang-orang Arab Jahiliah.
فَأَرَادَ أَنْ يُعَلِّمَهُمْ أَنَّ
اسْتِلَامَ الحَجَرِ لَا يُقْصَدُ بِهِ إِلَّا تَعْظِيمُ اللَّهِ تَعَالَى
Maka ia ingin mengajarkan bahwa menyentuh batu ini tidak
dimaksudkan kecuali untuk mengagungkan Allah Ta’ala.
وَالوُقُوفُ عِنْدَ أَمْرِ نَبِيِّهِ عَلَيْهِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
Dan berpegang teguh pada perintah Nabi ﷺ.
وَأَنَّ ذَلِكَ مِنْ شَعَائِرِ الحَجِّ
Dan bahwa hal itu merupakan salah satu syiar haji.
وَهَذَا لِأَجْلِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى
فَضَّلَ بَعْضَ الأَحْجَارِ عَلَى بَعْضٍ،
Dan ini karena Allah Ta'ala telah memuliakan sebagian batu
dibandingkan dengan sebagian lainnya,
وَبَعْضَ البِقَاعِ عَلَى بَعْضٍ،
dan sebagian tempat dibandingkan dengan sebagian lainnya,
وَبَعْضَ اللَّيَالِي وَالأَيَّامِ عَلَى
بَعْضٍ،
dan sebagian malam dan hari dibandingkan dengan sebagian
lainnya,
وَإِنَّمَا شُرِعَ تَقْبِيلُ الحَجَرِ
إِكْرَامًا وَإِعْظَامًا لِحَقِّهِ،
dan sesungguhnya yang disyariatkan adalah mencium batu ini
sebagai bentuk penghormatan dan pembesaran terhadap haknya,
وَلِيُعْلَمَ بِالمُشَاهَدَةِ مَنْ يُطِيعُ
فِي الأَمْرِ وَالنَّهْيِ،
dan agar diketahui melalui pengamatan siapa yang taat dalam
hal perintah dan larangan,
وَذَلِكَ شَبِيهٌ
بِقِصَّةِ إِبْلِيسَ حَيْثُ أُمِرَ بِالسُّجُودِ لِآدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ.
dan itu serupa dengan kisah Iblis yang diperintahkan untuk
sujud kepada Adam ‘alaihissalam.
ثُمَّ يُوضِّحُ عُمَرُ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ إِنَّمَا شُرِعَ الرَّمَلُ -وَهُوَ الإِسْرَاعُ فِي
الطَّوَافِ فِي الأَشْوَاطِ الثَّلَاثَةِ الأُولَى- فِي الأَصْلِ؛
Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa sesungguhnya yang disyariatkan adalah
berjalan cepat (ramal) - yaitu mempercepat dalam thawaf pada tiga putaran
pertama - pada awalnya
بِسَبَبِ أَنَّ المُشْرِكِينَ أَشَاعُوا أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ قَدْ أَضْعَفَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ،
karena orang-orang musyrik menyebarkan kabar bahwa Nabi ﷺ dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum telah dilumpuhkan oleh demam Yatsrib
(Madinah),
فَرَاءَيْنَا بِهِ المُشْرِكِينَ، مِنَ
المُرَاءَاةِ،
maka kami memperlihatkan kepada orang-orang musyrik, dalam
bentuk riya' (pamer),
أَيْ: أَرَدْنَا أَنْ نُظْهِرَ القُوَّةَ
لِلمُشْرِكِينَ بِالرَّمَلِ؛
yaitu: kami ingin menunjukkan kekuatan kepada orang-orang
musyrik dengan berjalan cepat (ramal)
لِيَعْلَمُوا أَنَّا لَا نَعْجِزُ عَنْ
مُقَاوَمَتِهِمْ، وَلا نَضْعُفُ عَنْ مُحَارَبَتِهِمْ؛
agar mereka mengetahui bahwa kami tidak lemah dalam melawan
mereka, dan kami tidak lemah dalam berperang melawan mereka;
تَكْذِيبًا لِإِشَاعَتِهِمُ البَاطِلَةِ.
sebagai pembantahan terhadap kabar bohong mereka.
أَمَّا الآنَ فَقَدْ هَزَمَ اللَّهُ الشِّرْكَ
وَأَهْلَهُ، وَفُتِحَتْ مَكَّةُ، وَزَالَ السَّبَبُ الدَّاعِي إِلَى الرَّمَلِ،
Adapun sekarang, Allah telah mengalahkan syirik dan para
pemeluknya, dan Mekkah telah dibuka, serta sebab yang mendorong kepada ramal
telah hilang,
وَلَكِنَّهُ بَقِيَ سُنَّةً مَشْرُوعَةً
سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
tetapi ia tetap menjadi sunnah yang disyariatkan yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ,
فَنَفْعَلُهَا؛ اقْتِدَاءً بِهِ، وَعَمَلًا
بِسُنَّتِهِ.
maka kami melakukannya; sebagai bentuk mengikuti beliau dan
mengamalkan sunnah beliau.
وَكُلُّ مَا قَالَهُ عُمَرُ هُنَا إِنَّمَا
هُوَ مِنْ حَدِيثِهِ مَعَ نَفْسِهِ؛
Dan segala yang dikatakan oleh Umar di sini hanyalah
merupakan percakapan beliau dengan dirinya sendiri;
لِبَيَانِ أَنَّ أَمْرَ الدِّينِ مَبْنِيٌّ
عَلَى التَّصْدِيقِ وَالِاتِّبَاعِ،
untuk menjelaskan bahwa urusan agama didasarkan pada
pembenaran dan pengikutannya,
وَلَيْسَ كَلَامُهُ اعْتِرَاضًا عَلَى
أَفْعَالِ المَنَاسِكِ؛
dan perkataannya bukanlah keberatan terhadap pelaksanaan
ibadah haji;
وَلِذَلِكَ اسْتَدْرَكَ عَلَى نَفْسِهِ،
فَقَالَ: شَيْءٌ فَعَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَا
نُحِبُّ أَنْ نَتْرُكَهُ،
dan karena itu ia memperbaiki dirinya sendiri, lalu
berkata: "Ini adalah sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ maka
kami tidak ingin meninggalkannya,
بَلْ عَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَهُ.
tetapi kami wajib mengikuti beliau.
وَفِي الحَدِيثِ: قَاعِدَةٌ عَظِيمَةٌ فِي
اتِّبَاعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَفْعَلُهُ،
Dan dalam hadis ini terdapat kaidah besar dalam mengikuti
Nabi ﷺ dalam apa yang beliau lakukan,
وَلَوْ لَمْ تُعْلَمِ الحِكْمَةُ فِيهِ.
meskipun hikmah di baliknya tidak diketahui.
وَفِيهِ: مَشْرُوعِيَّةُ تَقْبِيلِ الحَجَرِ
الأَسْوَدِ،
Dan di dalamnya terdapat keabsahan mencium Hajar Aswad,
وَالإِشَارَةُ إِلَى النَّهْيِ عَنْ تَقْبِيلِ
مَا لَمْ يَرِدِ الشَّرْعُ بِتَقْبِيلِهِ مِنَ الأَحْجَارِ وَغَيْرِهَا.
dan isyarat untuk melarang mencium batu-batu lain atau
benda lain yang tidak disyariatkan untuk dicium oleh syariat.
وَفِيهِ: بَيَانُ السُّنَنِ بِالقَوْلِ
وَالفِعْلِ.
Dan di dalamnya terdapat penjelasan tentang sunnah melalui
perkataan dan perbuatan.
وَفِيهِ: أَنَّ عَلَى الإِمَامِ إِذَا خَشِيَ
فَسَادَ اعْتِقَادِ العَامَّةِ أَنْ يُوَضِّحَ لَهُمْ الحَقَّ،
Dan di dalamnya terdapat penjelasan bahwa imam, jika ia
khawatir akan kerusakan akidah masyarakat, maka ia harus menjelaskan kebenaran
kepada mereka,
وَيُبَيِّنَ لَهُمُ الحُكْمَ الشَّرْعِيَّ،
كَمَا فَعَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.
dan menjelaskan hukum syariat kepada mereka, seperti yang
telah dilakukan oleh Umar radhiyallahu
‘anhu.
Sumber: https://dorar.net/hadith/sharh/4646
Pelajaran
dari Hadits ini
1. Penolakan Keyakinan Musyrik terhadap Benda Mati
Perkataan أَمَا وَاللَّهِ، إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ (Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau hanyalah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak memberi manfaat) menunjukkan ketegasan Umar bin Khattab dalam menjaga kemurnian tauhid. Ia menegaskan bahwa benda mati seperti Hajar Aswad tidak memiliki kekuatan apapun kecuali apa yang Allah kehendaki. Ini adalah bentuk nyata dari tauhid rububiyah—meyakini hanya Allah yang mencipta, mengatur, memberi manfaat dan mudharat. Keyakinan seperti ini membedakan Islam dari kemusyrikan yang seringkali menggantungkan harapan kepada benda, tempat, atau simbol tertentu. Allah berfirman dalam Surah Yunus ayat 106:
وَلَا
تَدْعُ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلْتَ
فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ
(Dan janganlah kamu menyeru kepada selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim) (QS. Yunus: 106).
2. Ketaatan Mutlak kepada Rasulullah ﷺ
Perkataan وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَلَمَكَ مَا اسْتَلَمْتُكَ (Seandainya aku tidak melihat Nabi ﷺ menyentuhmu, niscaya aku tidak akan menyentuhmu) adalah bentuk manifestasi tauhid uluhiyah. Dalam tauhid ini, seorang mukmin tidak hanya menyembah Allah semata, tetapi juga tunduk total kepada seluruh ajaran dan ketentuan-Nya yang disampaikan melalui Rasulullah ﷺ. Umar menyentuh Hajar Aswad bukan karena meyakini manfaatnya, tetapi karena mengikuti perintah dan sunnah Nabi ﷺ. Allah berfirman dalam QS. An-Nur ayat 51:
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
(Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menetapkan hukum di antara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami taat." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung) (QS. An-Nur: 51).
3. Penalaran Kritis dalam Syariat tidak Mengalahkan Tunduk kepada Sunnah
Perkataan فَاسْتَلَمَهُ (lalu beliau menyentuhnya) menandakan bahwa Umar tetap menyentuh Hajar Aswad walaupun secara akal tidak melihat manfaatnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam urusan ibadah, akal tunduk kepada wahyu. Islam bukan agama yang anti akal, namun menetapkan bahwa akal tidak boleh mendahului wahyu. Ini mendidik umat Islam untuk memprioritaskan ittiba’ atas logika yang terbatas. Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab ayat 36:
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ
(Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka) (QS. Al-Ahzab: 36).
4. Menjaga Tujuan Ibadah agar Tetap Sesuai Tauhid
Perkataan مَّ قَالَ: فَمَا لَنَا وَلِلرَّمَلِ؟ إِنَّمَا كُنَّا رَاءَيْنَا بِهِ الْمُشْرِكِينَ وَقَدْ أَهْلَكَهُمُ اللَّهُ (Kemudian beliau berkata: untuk apa lagi kita melakukan raml? Dahulu kita melakukannya untuk memperlihatkan kepada kaum musyrikin, dan mereka telah dibinasakan Allah) menunjukkan sikap kritis Umar dalam meninjau kembali praktik ibadah yang dahulu memiliki sebab tertentu. Namun ia tetap tidak serta-merta meninggalkannya karena memahami bahwa ibadah bukan semata reaksi sosial, tetapi bentuk pengabdian kepada Allah. Ini merupakan pelajaran tentang menjaga tujuan ibadah agar tetap lillah (karena Allah), bukan karena faktor duniawi atau sosial. Dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5 Allah menegaskan:
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
(Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama) (QS. Al-Bayyinah: 5).
5. Mengikuti Sunnah adalah Wujud Kesempurnaan Tauhid
Perkataan ثُمَّ قَالَ: شَيْءٌ صَنَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا نُحِبُّ أَنْ نَتْرُكَهُ (Kemudian beliau berkata: sesuatu yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, maka kami tidak suka meninggalkannya) menjadi pernyataan tegas bahwa mengikuti Rasulullah ﷺ adalah bagian dari keimanan dan kesempurnaan tauhid. Meninggalkan sunnah, terutama yang berkaitan dengan ibadah, bisa menandakan lemahnya cinta dan penghormatan kepada Rasulullah ﷺ. Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab ayat 21:
لَّقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
(Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu) (QS. Al-Ahzab: 21).
Juga ditegaskan oleh Nabi ﷺ dalam hadits riwayat Muslim:
مَنْ
رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
(Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan dari golonganku) (HR. Muslim).
6. Pemisahan antara Syariat dan Tradisi sebagai Bentuk Penyucian Tauhid
Hadits ini juga mengajarkan pentingnya memisahkan syariat dari tradisi yang tidak berdasar. Umar tidak menjadikan budaya atau logika sebagai penentu ibadah, tetapi memastikan setiap amal terhubung dengan sunnah. Ini menegaskan bahwa tauhid tidak boleh tercampur dengan bid’ah atau warisan budaya yang menyimpang. Dalam QS. Al-Ma'idah ayat 3 Allah menyatakan:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
(Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu) (QS. Al-Ma'idah: 3), menandakan bahwa syariat telah sempurna dan tidak memerlukan tambahan tradisi.
7. Pembersihan Sumber Ibadah dari Unsur Syirik Halus
Dari perkataan Umar, kita juga belajar untuk membersihkan ibadah dari unsur syirik khafi (tersembunyi), seperti meyakini keberkahan dari benda tanpa dalil. Ibadah kepada Allah tidak boleh disusupi keyakinan terhadap makhluk yang tidak memiliki kekuatan apapun. Nabi ﷺ bersabda dalam HR. Ahmad:
مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
(Barang siapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang tidak darinya, maka ia tertolak) (HR. Ahmad dan Muslim).
8. Keutamaan Meneladani Para Sahabat dalam Menjaga Tauhid
Hadits ini memperlihatkan bahwa para sahabat, khususnya Umar, sangat berhati-hati dalam tauhid. Mereka menjadi teladan dalam menempatkan syariat di atas akal dan tradisi. Meneladani para sahabat adalah cara terbaik menjaga kemurnian agama. Nabi ﷺ bersabda dalam HR. Tirmidzi:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي
(Wajib atas kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku) (HR. Tirmidzi).
9. Menyentuh Hajar Aswad sebagai Simbol Ketaatan, Bukan Pemuliaan Materi
Penyentuhan Hajar Aswad bukan karena kemuliannya sebagai batu, tetapi sebagai simbol ketaatan kepada Allah melalui Rasul-Nya. Ini mengingatkan bahwa ibadah adalah bentuk pengabdian batin, bukan pemuliaan lahiriah. Rasulullah ﷺ bersabda dalam HR. Ahmad:
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
(Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya) (HR. Bukhari dan Muslim).
10. Pentingnya Mengikuti Ibadah Sebagaimana yang Diajarkan Rasulullah ﷺ
Hadits ini menjadi dasar penting bahwa ibadah harus sesuai tuntunan Nabi ﷺ, bukan mengikuti hawa nafsu atau tradisi. Bahkan Umar yang sangat berilmu pun tetap tunduk kepada sunnah. Nabi ﷺ bersabda dalam HR. Bukhari:
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
(Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat) (HR. Bukhari).
Secara keseluruhan, hadits ini menanamkan dasar-dasar tauhid dalam bentuk paling praktis: menjaga akidah dari kemusyrikan, tunduk total kepada sunnah, mengedepankan ketaatan daripada logika, dan membersihkan ibadah dari hal-hal yang tidak berdasar. Iman yang benar akan membawa seorang Muslim kepada ketundukan yang lurus dan bersih kepada Allah semata, melalui petunjuk Rasul-Nya.
Penutup
Kajian
Alhamdulillah, kita telah selesai mempelajari hadits yang sangat bermanfaat ini. Dalam kajian kali ini, kita telah menggali makna dan pelajaran yang terkandung dalam tindakan mencium Hajar Aswad, sebuah amalan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam ibadah haji. Seperti yang telah kita bahas, hadits ini mengingatkan kita bahwa setiap amalan yang dilakukan oleh Nabi SAW, meskipun tampak sederhana, memiliki makna yang dalam dan mengandung nilai-nilai yang penting untuk kehidupan kita sebagai umat Islam.
Faedah utama dari hadits ini adalah pentingnya ketaatan dan penghambaan kepada Allah SWT melalui apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Kita memahami bahwa mencium Hajar Aswad bukanlah karena batu tersebut memiliki kekuatan tertentu, tetapi lebih kepada ketaatan kita untuk mengikuti sunnah Nabi SAW, yang menjadi bentuk penghormatan dan kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini mengajarkan kita bahwa dalam setiap amalan ibadah, yang lebih penting adalah niat kita untuk mengikuti petunjuk Rasulullah SAW, dan bukan hanya sekedar mencari manfaat fisik atau duniawi dari amalan tersebut.
Dari hadits ini, kita juga belajar tentang pentingnya menjaga kemurnian ibadah, agar tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru atau menyamakan ibadah kita dengan amalan yang pernah dilakukan oleh umat terdahulu yang menyembah berhala. Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk tidak menjadikan apapun selain Allah sebagai objek pemujaan atau penyembahan, meskipun itu adalah amalan yang dilakukan oleh Nabi SAW dalam bentuk tertentu.
Harapan saya, semoga kita semua dapat menerapkan pelajaran yang kita dapatkan dari hadits ini dalam kehidupan sehari-hari. Mencium Hajar Aswad dalam konteks ibadah haji adalah simbol dari ketaatan kita kepada Rasulullah SAW. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat mengambil hikmah dari tindakan ini untuk selalu menjaga niat kita dalam mengikuti sunnah Nabi SAW dan menjalankan setiap amalan dengan kesadaran bahwa itu adalah perintah Allah. Dengan begitu, kita akan dapat merasakan keberkahan dalam setiap langkah kehidupan kita, baik dalam ibadah maupun interaksi sosial.
Semoga kajian ini tidak hanya berhenti pada pemahaman teori saja, tetapi juga bisa kita aplikasikan dalam kehidupan nyata, dengan menjaga keikhlasan, niat yang benar, dan sikap taat kepada sunnah Nabi SAW, dalam segala aspek kehidupan kita. Mari kita jadikan setiap tindakan kita sebagai bentuk penghambaan yang murni kepada Allah SWT, dan selalu mengingat bahwa ketaatan kepada-Nya adalah jalan menuju keberkahan dunia dan akhirat.
Akhir kata, saya berharap semoga Allah SWT memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, agar senantiasa istiqamah dalam mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. Semoga kita semua dapat menjadi hamba-hamba yang selalu taat dan patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Aamiin.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ