Hadits: Dunia Cukup Bila Seseorang Sudah Aman, Sehat, dan Cukup Makan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Hadirin sekalian, jama‘ah rahimakumullah...

Di zaman yang serba cepat dan penuh persaingan ini, banyak orang hidup dalam tekanan—tekanan ekonomi, tekanan sosial, bahkan tekanan dari media yang membentuk standar kesuksesan semu. Tak jarang, banyak di antara kita yang merasa kekurangan, merasa gagal, dan lupa bahwa nikmat-nikmat Allah yang paling fundamental telah kita miliki: rasa aman, kesehatan, dan rezeki yang cukup untuk hari ini.

Masyarakat hari ini seringkali terjebak dalam ilusi kekayaan dan kemewahan. Kita diajarkan untuk mengejar “lebih”, tanpa pernah bersyukur atas “cukup”. Padahal, Islam telah mengajarkan prinsip qana‘ah—merasa cukup dan bersyukur atas apa yang ada—sebagai kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.

Hadits yang akan kita kaji ini hadir sebagai terapi jiwa. Ia mengajarkan kita untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, lalu melihat sekeliling dan merenungkan: bukankah kita sudah sangat kaya, jika ketiga hal itu sudah kita miliki?

Karena itulah, kajian kali ini penting untuk membuka mata hati kita kembali, agar bisa menilai hidup dengan pandangan yang lebih jernih dan syar‘iyyah, bukan dengan ukuran duniawi semata. Kita akan gali bersama faedah-faedah besar dari hadits ini, agar lahir rasa syukur yang mendalam, qana‘ah yang menenangkan, dan kebijaksanaan dalam memaknai hidup.

Semoga dengan mempelajari hadits ini, Allah membuka hati kita untuk selalu bersyukur, menjaga nikmat, dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang ridha dan diridhai. 


Hadits dari Ubaidullah bin Mihshan al-Khatmi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَن أَصْبَحَ مِنكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِندَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

Barangsiapa di antara kalian yang pada pagi harinya berada dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia seluruhnya telah dikumpulkan untuknya.

HR At-Tirmidzi (no. 2346) dan Ibnu Majah (no. 4141)

mp3: https://t.me/mp3qhn/318


Arti dan Penjelasan Per Kalimat


مَن أَصْبَحَ مِنكُمْ

Barangsiapa di antara kalian yang berada di waktu pagi...

Potongan hadits ini membuka hadits dengan gaya umum (مَن) yang mencakup siapa saja. Kataأَصْبَحَmerujuk pada kondisi seseorang di pagi hari, yaitu awal aktivitas, awal rezeki, dan awal kehidupan harian. Islam sangat menekankan pentingnya waktu pagi sebagai waktu penuh berkah. Maka, hadits ini mengajak setiap muslim untuk melakukan muhasabah (evaluasi diri) sejak pagi: jika kita bangun dalam keadaan tertentu yang disebutkan setelahnya, maka kita telah memperoleh nikmat besar. Artinya, kebahagiaan dan ketenangan hidup bisa dirasakan sejak fajar, tidak harus menunggu kekayaan atau pencapaian besar.


آمِنًا فِي سِرْبِهِ

...dalam keadaan aman di tempat tinggalnya...

Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar yang sering tidak dirasakan nilainya hingga ia hilang.

Kata "آمِنًا" berarti merasa aman, tidak takut atau terancam.

 "سِرْبِهِ" dalam konteks ini berarti rumah, keluarga, atau lingkungan terdekat. Ini menandakan bahwa ketenangan di rumah dan sekeliling adalah landasan bagi kehidupan yang tenteram.

Banyak orang memiliki harta, tapi tidak merasa aman.

Maka, hadits ini mengajarkan bahwa keamanan pribadi dan domestik adalah bagian dari rezeki yang hakiki. Ini juga menuntut kita untuk menjaga lingkungan yang damai, dan berperan dalam menciptakan stabilitas sosial.


مُعَافًى فِي جَسَدِهِ

...sehat tubuhnya...

Kesehatan adalah nikmat yang sangat besar namun kerap diremehkan. Kata "مُعَافًى" berasal dari akar kata yang berarti terhindar dari bahaya atau penyakit. Seseorang yang "معافى في جسده" berarti bebas dari gangguan fisik, bisa beraktivitas, dan tidak terhalang dalam menjalani tugas sehari-hari.

Dalam Islam, kesehatan dianggap sebagai salah satu dari dua nikmat yang sering dilalaikan, sebagaimana disebut dalam hadits lain.

Maka, pagi hari dengan tubuh sehat sudah cukup menjadi sebab untuk bersyukur dan merasa kaya, karena banyak orang yang memiliki uang, namun tidak bisa menikmati hidup karena sakit.


عِندَهُ قُوتُ يَوْمِهِ

...memiliki makanan untuk hari itu...

Potongan hadits ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan konsep kecukupan dan qana‘ah (merasa cukup). "قُوتُ يَوْمِهِ" berarti kebutuhan makan pokok untuk satu hari saja. Ini menekankan bahwa memiliki cadangan makanan berlebih bukanlah tolok ukur kekayaan sejati.

Dalam Islam, jika seseorang punya apa yang dibutuhkan untuk hari ini, maka ia telah cukup.

Nilai ini menumbuhkan sikap tawakal kepada Allah untuk rezeki esok hari, serta mencegah sifat tamak dan berlebihan. Ia juga menjadi dasar penting untuk hidup sederhana dan berfokus pada kualitas hati, bukan banyaknya harta.


فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا

...maka seakan-akan dunia telah dikumpulkan untuknya.

Kesimpulan dari hadits ini adalah bahwa siapa yang memiliki keamanan, kesehatan, dan makanan harian—ia telah mendapatkan intisari dunia. Kata "حِيزَتْ" bermakna dikumpulkan atau dihimpun, yaitu seluruh kenikmatan dunia seakan-akan telah diberikan kepadanya. Ini bukan dalam arti fisik, tetapi dalam makna spiritual dan hakiki.

Hadits ini membalik paradigma materialistik: bahwa kebahagiaan bukan pada banyaknya kepemilikan, melainkan pada rasa cukup terhadap hal-hal pokok.

Ini adalah ajaran mendalam tentang hakikat kekayaan dan sukses dalam pandangan Islam: bukan siapa yang memiliki banyak, tapi siapa yang bisa merasa cukup.


Syarah Hadits


نِعَمُ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ كَثِيرَةٌ لَا تُحْصَى
Nikmat-nikmat Allah, Mahasuci Dia dan Mahatinggi, atas hamba-hamba-Nya banyak, tidak terhitung.

وَالرِّزْقُ مُتَعَدِّدٌ مُتَنَوِّعٌ
Dan rezeki itu beragam dan bermacam-macam.

فَلَيْسَ الرِّزْقُ مَحْصُورًا فِي الْمَالِ فَقَطْ
Maka rezeki itu tidak terbatas pada harta saja.

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ
Dan dalam hadits ini,

يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bersabda Nabi

مُعَلِّمًا أَصْحَابَهُ وَأُمَّتَهُ مِنْ بَعْدِهِمْ
Dalam posisi sebagai pengajar kepada para sahabatnya dan umatnya setelah mereka:

"مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ"
Barangsiapa di antara kalian yang berada di pagi hari...

أَيْ: أَيُّ عَبْدٍ كَانَ
Yakni: siapa pun dari hamba...

"آمِنًا فِي سِرْبِهِ"
...dalam keadaan aman di tempat tinggalnya...

أَيْ: تَوَفَّرَ لَهُ الْأَمَانُ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ عَلَى أَهْلِهِ وَجَمَاعَتِهِ
Yaitu: telah tersedia baginya rasa aman atas dirinya, atau atas keluarganya dan kelompoknya.

وَقِيلَ: السِّرْبُ هُوَ السَّبِيلُ أَوِ الطَّرِيقُ، وَقِيلَ: الْبَيْتُ
Dan dikatakan: "sِirb" itu adalah jalan atau jalan setapak; dan dikatakan juga: rumah.

"مُعَافًى فِي جَسَدِهِ"
...sehat dalam tubuhnya...

أَيْ: تَحَصَّلَتْ لَهُ الْعَافِيَةُ فِي الْجَسَدِ
Yaitu: telah diperolehnya keselamatan dalam tubuhnya,

فَسَلِمَ مِنَ الْمَرَضِ وَالْبَلَاءِ، وَكَانَ صَحِيحًا
Sehingga selamat dari penyakit dan bencana, dan ia dalam keadaan sehat.

"عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ"
...memiliki makanan hariannya...

أَيْ: وَتَوَفَّرَ لَهُ رِزْقُ يَوْمِهِ وَمَا يَحْتَاجُهُ مِنْ مَؤُونَةٍ وَطَعَامٍ وَشَرَابٍ يَكْفِي يَوْمَهُ
Yakni: tersedia baginya rezeki hari itu dan apa yang ia butuhkan dari bekal, makanan dan minuman yang mencukupi harinya.

"فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا"
...maka seakan-akan dunia telah dihimpun untuknya...

أَيْ: فَكَأَنَّمَا مَلَكَ الدُّنْيَا وَجَمَعَهَا كُلَّهَا
Yakni: seolah-olah ia telah memiliki dunia dan mengumpulkannya seluruhnya.

فَمَنْ تَوَفَّرَ لَهُ الْأَمَانُ وَالْعَافِيَةُ وَالرِّزْقُ، لَا يَحْتَاجُ إِلَى شَيْءٍ بَعْدَ ذَلِكَ
Maka siapa yang telah tersedia baginya keamanan, kesehatan dan rezeki, ia tidak butuh apa-apa setelah itu.

فَكَانَ كَمَنْ مَلَكَ الدُّنْيَا، وَجَمَعَهَا، فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى شَيْءٍ آخَرَ
Ia seperti orang yang telah memiliki dunia, dan telah mengumpulkannya, maka ia tidak butuh hal lain.

وَعَلَى الْعَبْدِ أَنْ يَحْمَدَ اللَّهَ تَعَالَى وَيَشْكُرَهُ عَلَى هَذِهِ النِّعَمِ
Dan atas hamba (wajib) untuk memuji Allah Ta‘ala dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat ini.

وَفِي الْحَدِيثِ: بَيَانُ ضَرُورَةِ حَاجَةِ الْإِنْسَانِ إِلَى الْأَمَانِ وَالْعَافِيَةِ وَالْقُوتِ
Dan dalam hadits ini: terdapat penjelasan akan kebutuhan mendesak manusia terhadap keamanan, kesehatan, dan makanan.

 

Sumber: https://dorar.net/hadith/sharh/133419


Pelajaran dari Hadits ini


1. Makna Kekayaan Sejati Bukan pada Banyaknya Harta, Tapi pada Rasa Cukup

Hadits ini mendobrak paradigma materialistis: bahwa kekayaan bukan ditentukan oleh tumpukan emas atau harta benda, tetapi oleh rasa aman, kesehatan, dan kecukupan kebutuhan harian. Dunia yang dikejar banyak orang, sejatinya sudah dimiliki oleh orang yang bisa menjalani hari ini dengan tenang, sehat, dan tidak kelaparan. Di sini, Nabi ﷺ mengajarkan bahwa kekayaan batin jauh lebih bernilai daripada kelimpahan harta yang tak berujung. Kekayaan sejati adalah ketika hati merasa cukup, walau secara lahir mungkin terlihat sederhana.


2. Pentingnya Menjaga dan Mensyukuri Rasa Aman

Ungkapan "آمِنًا في سِرْبِهِ" (aman dalam lingkungan/dirinya) menunjukkan bahwa keamanan adalah nikmat besar yang sering dilupakan. Banyak orang hidup dalam ketakutan—karena konflik, ancaman, atau bahkan keresahan dalam rumah tangga. Maka jika seseorang bisa bangun pagi dengan hati tenang, tidak takut akan ancaman luar, itu adalah nikmat besar yang wajib disyukuri. Islam menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan ketenangan, baik secara pribadi, keluarga, maupun masyarakat.


3. Kesehatan Tubuh Adalah Nikmat yang Tidak Ternilai

Ungkapan "معافًى في جسده" artinya bebas dari penyakit, kuat secara fisik. Ini menunjukkan bahwa kesehatan adalah harta, bahkan lebih mahal daripada uang. Seseorang bisa memiliki kekayaan, tapi jika tubuhnya sakit-sakitan, maka ia tidak bisa menikmati hartanya. Hadits ini mengingatkan bahwa kesehatan yang kita miliki setiap pagi adalah anugerah besar dari Allah, yang harus dijaga dan disyukuri, baik dengan gaya hidup sehat maupun ibadah yang benar.


4. Rezeki Harian yang Cukup adalah Bentuk Kekayaan yang Layak Disyukuri

Ungkapan "عنده قوت يومه" mengajarkan kita untuk bersyukur atas rezeki hari ini. Islam tidak meminta umatnya menimbun dunia, tetapi mengajarkan bahwa jika kita sudah punya cukup untuk hari ini, itu sudah sangat berharga. Banyak orang yang lupa bahwa hidup itu dijalani hari demi hari, bukan dengan kecemasan atas masa depan yang belum tentu terjadi. Pelajaran ini mendorong kita untuk hidup sederhana, tidak boros, dan senantiasa menggantungkan rezeki kepada Allah setiap hari.


5. Menghimpun Nikmat-Nikmat Dasar adalah Seperti Menghimpun Dunia

Ungkapan "فكأنما حيزت له الدنيا" berarti “seakan-akan dunia telah dikumpulkan untuknya.” Ini menunjukkan bahwa siapa pun yang memiliki tiga hal ini—aman, sehat, dan cukup makan—maka ia telah memiliki segalanya yang dibutuhkan dalam hidup. Dunia tidak harus dimiliki dalam bentuk istana, kendaraan mewah, atau jabatan tinggi. Dunia yang hakiki adalah ketenangan jiwa, kelapangan rezeki, dan kekuatan untuk beribadah. Maka hadits ini adalah ajaran agar kita jangan menilai hidup dari sisi luar saja, tapi dari sisi inti yang esensial.


6. Syukur adalah Kunci Kebahagiaan

Hadits ini menjadi dasar untuk hidup dengan rasa syukur, bukan keluhan. Dengan memahami makna hadits ini, kita diajak untuk memulai setiap hari dengan melihat nikmat yang sudah ada, bukan yang belum kita miliki. Syukur bukan hanya ucapan “Alhamdulillah”, tapi juga berupa ketenangan dalam menjalani takdir, tidak iri kepada orang lain, dan menggunakan nikmat yang ada untuk kebaikan. Syukur akan menumbuhkan ketenangan dan membuka pintu tambahan nikmat dari Allah.


7. Kesederhanaan dalam Hidup adalah Sunnah

Nabi ﷺ tidak memuji siapa yang memiliki banyak harta, tetapi memuji siapa yang hidup dengan cukup. Ini menjadi pengingat bahwa kesederhanaan adalah gaya hidup islami. Hidup hemat, tidak membebani diri dengan utang untuk gaya hidup, dan fokus pada kebutuhan pokok adalah bagian dari ajaran Islam. Dari hadits ini, kita belajar untuk fokus pada keberkahan, bukan pada kuantitas dunia.


8. Mengajarkan Perspektif yang Benar dalam Menilai Nikmat

Sering kali kita tertipu oleh standar dunia yang tidak realistis: seolah-olah belum sukses kalau belum punya rumah besar, mobil dua, atau gaji tinggi. Hadits ini datang untuk mengoreksi cara pandang itu. Nabi ﷺ mendidik umatnya untuk menilai hidup dengan kacamata akhirat: bahwa nikmat dunia hanyalah sarana, dan yang terpenting adalah bagaimana kita memanfaatkannya untuk taat kepada Allah. Dengan perspektif ini, hidup akan terasa ringan, dan kita akan lebih mudah menerima takdir dengan lapang.


9. Islam Mengajarkan Hidup dengan Mindset Harian, Bukan Ketakutan Masa Depan

Frasa "عنده قوت يومه" secara tidak langsung juga mengajarkan filosofi living one day at a time—menjalani hidup satu hari dalam satu waktu. Hal ini mengandung pelajaran manajemen stres dan ketenangan batin. Banyak orang hari ini tertekan bukan karena kekurangan hari ini, tapi karena kekhawatiran berlebihan tentang masa depan. Padahal Nabi ﷺ sudah menanamkan bahwa jika hari ini cukup, maka syukurilah, karena masa depan di tangan Allah. Ini selaras dengan doa yang diajarkan dalam Islam: "اللهم اكفني بحلالك عن حرامك، وأغنني بفضلك عمن سواك" — yaitu cukupkanlah aku hari ini agar tidak tergantung pada manusia.


10. Pentingnya Menyadari dan Menghargai Nikmat yang "Biasa-Biasa Saja"

Tiga nikmat yang disebutkan dalam hadits ini—keamanan, kesehatan, dan makanan—adalah hal-hal yang sering dianggap biasa dan tidak istimewa. Namun Nabi ﷺ justru menegaskan bahwa itulah inti kebahagiaan dunia. Ini mengajarkan kepada kita untuk lebih sadar, hadir, dan peka terhadap nikmat yang kecil, karena di balik yang tampak biasa, tersimpan limpahan karunia yang luar biasa. Kita terlalu sering menunggu sesuatu yang besar agar merasa bahagia, padahal nikmat sejati ada di sekitar kita setiap hari, hanya saja kita belum menyadarinya.


11. Hadits Ini Meruntuhkan Standar Palsu Kebahagiaan yang Dibangun oleh Budaya Konsumerisme

Kehidupan modern hari ini dibentuk oleh standar kebahagiaan palsu: bahwa bahagia itu harus tampil mewah, liburan mahal, dan penuh kemewahan visual. Hadits ini meruntuhkan narasi palsu itu. Nabi ﷺ mendidik kita bahwa dunia tidak perlu dikumpulkan seluruhnya untuk bahagia. Bahkan, cukup dengan tiga nikmat itu saja, seseorang sudah digambarkan seakan-akan telah memiliki dunia. Maka pelajaran ini menjadi penawar dari budaya kapitalistik dan konsumtif yang selalu membuat manusia merasa kurang.


12. Keseimbangan antara Kebutuhan Dunia dan Visi Akhirat

Hadits ini menyeimbangkan antara usaha duniawi dan orientasi ukhrawi. Ia tidak melarang mencari dunia, tapi memberi batas aman: jika aman, sehat, dan cukup makan hari ini, maka sudah cukup untuk bersyukur dan terus bergerak kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa dunia itu hanya alat, bukan tujuan. Pelajaran ini sangat penting di era modern, ketika banyak orang tenggelam dalam dunia dan melupakan akhirat. Hadits ini mendorong kita untuk hidup fokus, cukup, dan berorientasi kepada ridha Allah.


13. Penguatan Spirit Ketahanan Diri (Resiliensi) dalam Islam

Di balik hadits ini, tersimpan pelajaran tentang resiliensi—kemampuan bertahan secara mental dan spiritual. Ketika seseorang mampu melihat bahwa cukupnya kebutuhan dasar sudah menjadi keberuntungan besar, ia akan lebih tahan menghadapi tekanan hidup. Ia tidak mudah iri, tidak mudah lemah karena tidak punya banyak, dan tidak minder di hadapan orang yang tampak lebih sukses. Islam membentuk pribadi kuat yang tahu bahwa keberhasilan hidup itu bukan seberapa banyak yang dimiliki, tapi seberapa dalam ia bersyukur atas apa yang dimiliki. 


Penutup Kajian


Hadirin jama‘ah yang dirahmati Allah,

Setelah kita bersama-sama menyimak dan mengkaji sabda Nabi ﷺ tentang tiga nikmat besar yang menjadi hakikat kekayaan sejati—yaitu rasa aman, kesehatan tubuh, dan kecukupan rezeki harian—maka hendaklah kita berhenti sejenak dari keluh kesah dan mulai mengisi hari-hari kita dengan syukur dan qana‘ah.

Hadits ini telah mengajarkan kita bahwa kebahagiaan itu sederhana, dan bahkan sudah sering kita genggam, hanya saja kita tidak menyadarinya karena terlalu sibuk menoleh ke arah dunia yang tak pernah puas. Betapa banyak orang yang memiliki harta berlimpah, tapi tidak tenang hidupnya karena tidak merasa aman. Betapa banyak yang tubuhnya kuat, tapi pikirannya gelisah karena merasa kekurangan. Maka siapa pun yang hari ini bangun pagi dalam keadaan aman, sehat, dan punya makan siangnya—ia sudah sangat cukup, sudah seperti menggenggam dunia seisinya.

Faedah hadits ini adalah bahwa Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk hidup miskin dalam arti malas berusaha, tetapi Islam mengajarkan kita untuk merasa cukup, mensyukuri nikmat, dan tidak menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang belum kita miliki. Inilah jalan menuju ketenangan sejati yang banyak dicari orang tetapi tersesat dalam pencariannya.

Oleh karena itu, mari kita amalkan isi hadits ini:

  • Mulailah hari dengan bersyukur, bukan mengeluh.

  • Lihatlah apa yang sudah kita miliki, bukan hanya yang belum kita capai.

  • Dan biasakan diri untuk mengatakan, “Alhamdulillah, aku sudah cukup.”

Semoga setelah keluar dari majelis ini, kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih bersyukur, lebih tenang dalam menyikapi hidup, dan lebih bijak dalam memandang dunia. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang pandai memelihara nikmat dan tidak lalai dari tujuan hidup yang sebenarnya: ridha Allah dan keselamatan di akhirat. 

 Akhirnya, kita tutup kajian ini dengan doa kafaratul majelis:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Tampilkan Kajian Menurut Kata Kunci

Followers