Hadits: Kekayaan Itu Bukan Banyaknya Harta
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ
Saudaraku yang dirahmati Allah, di zaman yang serba cepat dan materialistik seperti hari ini, banyak dari kita—baik sadar maupun tidak—menjadikan ukuran keberhasilan hidup dari apa yang tampak di mata: seberapa besar rumahnya, berapa kendaraan yang dimiliki, seberapa mahal pakaiannya, dan seberapa tinggi status sosialnya. Tidak sedikit yang merasa tidak berharga hanya karena belum memiliki tabungan besar, penghasilan tetap, atau belum mencapai standar duniawi tertentu yang ditetapkan oleh masyarakat.
Padahal, kondisi semacam ini justru menunjukkan bahwa kita sedang kehilangan makna sejati dari kekayaan itu sendiri. Kita hidup dalam situasi yang membuat banyak orang kaya secara materi, tapi miskin secara batin. Mereka memiliki banyak hal, tetapi tidak merasa cukup; serba ada, tapi hatinya gelisah; tampak sukses, tapi jauh dari rasa syukur dan ketenangan.
Maka dari itu, hadits yang akan kita pelajari hari ini adalah hadits agung dari Nabi ﷺ yang mengoreksi cara pandang kita, sekaligus menawarkan solusi batin yang menenteramkan:
"Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa."
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Inilah hadits yang layak menjadi cermin, terutama di tengah maraknya budaya konsumtif, ambisi duniawi yang tak terbendung, dan krisis makna dalam hidup. Melalui kajian ini, kita akan memahami bahwa rasa cukup (qana’ah), ridha terhadap takdir Allah, dan membebaskan diri dari ketergantungan pada dunia adalah bentuk kekayaan sejati—yang justru membuka jalan menuju kebahagiaan, kemuliaan, dan keberkahan hidup.
Mari kita simak dan renungi bersama, agar kita tidak hanya mengetahui makna hadits ini, tetapi benar-benar mengamalkannya dan menjadikannya pedoman hidup.
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ
الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Bukanlah
kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya
adalah kekayaan jiwa.
HR Al-Bukhari
(no. 6446) dan Muslim (no. 1051).
Arti
dan Penjelasan Per Kalimat
لَيْسَ الغِنَى
Potongan hadits "لَيْسَ الغِنَى"
berarti “bukanlah kekayaan itu…”. Dalam susunan ini, Rasulullah ﷺ menggunakan bentuk penafian (لَيْسَ)
sebagai cara untuk membantah persepsi umum
tentang makna kekayaan. Banyak orang mengira bahwa siapa yang memiliki harta
banyak, dialah yang kaya. Namun, Nabi ﷺ justru membalikkan
pandangan ini sejak awal. Dalam ilmu balaghah (retorika bahasa Arab), penolakan
semacam ini adalah pembuka penting untuk membongkar konsep yang keliru agar
pendengar siap menerima pengertian yang benar. Jadi, frasa ini menjadi
penegasan bahwa hakikat kekayaan akan didefinisikan ulang,
bukan sekadar seperti yang tampak secara lahiriah.
عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ
Potongan hadits ini bermakna “karena banyaknya harta dunia.” Kata "العَرَضِ" dalam bahasa Arab
mengandung arti sesuatu yang sementara, tidak menetap, dan bisa
hilang kapan saja, yaitu segala jenis harta duniawi seperti
emas, perak, rumah, kendaraan, jabatan, dan lain-lain. Dengan tambahan kata "كَثْرَةِ" (banyak), Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa bahkan jumlah yang banyak pun tidak
menentukan seseorang itu benar-benar kaya. Artinya, orang yang
memiliki banyak ‘perhiasan dunia’ belum tentu memiliki rasa cukup atau
kebahagiaan sejati. Dalam pandangan Islam, kekayaan semacam itu bersifat ilusi
jika tidak dibarengi dengan kelapangan jiwa. Ini adalah kritik tajam terhadap
pandangan materialistik dan gaya hidup konsumtif yang mengukur nilai seseorang
dari apa yang dimilikinya.
وَلَكِنَّ الغِنَى
Potongan hadits ini berarti “tetapi kekayaan itu…”. Di sinilah Rasulullah ﷺ beralih dari penolakan menuju
penetapan definisi yang benar. Kata "وَلَكِنَّ" digunakan untuk
menegaskan bahwa apa yang sebelumnya disangkal akan digantikan oleh makna yang
lebih benar dan lebih tinggi. Pengulangan kata "الغِنَى" (kekayaan) berfungsi
untuk menguatkan makna dan menarik perhatian bahwa yang akan dijelaskan adalah inti
ajaran yang perlu dipahami secara mendalam. Ini adalah teknik
balaghah yang efektif: menyanggah dulu, lalu menetapkan kebenaran dengan jelas.
Maka frasa ini bukan sekadar transisi, tapi pernyataan penting bahwa kekayaan
sejati tidak berkaitan dengan dunia, melainkan dengan kualitas batin.
غِنَى النَّفْسِ
Potongan hadits ini bermakna “kekayaan jiwa.” Inilah puncak makna hadits. غِنَى النَّفْسِ berarti jiwa yang merasa cukup,
ridha, tenang, dan tidak bergantung kepada makhluk. Ini bukan kekayaan karena
banyak memiliki, tetapi karena tidak butuh terhadap apa yang tidak
dimiliki. Kekayaan jiwa menjadikan seseorang mandiri secara
batin, tidak tamak, dan tidak iri pada apa yang ada di tangan orang lain. Ia
akan fokus bersyukur atas yang telah diberikan Allah, bukan sibuk mengeluh atas
yang belum dimiliki. Jiwa yang kaya seperti ini akan memiliki
kedudukan mulia di sisi Allah dan manusia, terhindar dari
kehinaan meminta-minta, dan memiliki kehidupan yang tenteram walau hartanya
sedikit. Inilah standar kekayaan sejati dalam Islam: kebebasan
jiwa dari ketergantungan pada dunia.
Syarah
Hadits
. حُبُّ المالِ وطَلَبُه والحِرصُ عليه
Cinta harta, mencarinya, dan tamak terhadapnya
طَبيعةٌ في النُّفوسِ
adalah sifat alami dalam jiwa manusia,
والنَّفْسُ تَوَّاقةٌ لا تَشبَعُ
dan jiwa itu selalu berhasrat dan tidak pernah kenyang,
مهْما جَمَعتْ مِن مالٍ
meskipun telah mengumpulkan banyak harta.
والإسلامُ دَعا إلى القَناعةِ وحَثَّ عليها
Islam menyeru kepada qana'ah (merasa cukup) dan menganjurkannya.
والقَناعةُ هي الرِّضا بما قَسَمَ اللهُ
Dan qana'ah adalah ridha terhadap apa yang Allah telah tetapkan (bagikan),
وعَدَمُ التَّطلُّعِ لِمَا في أيدي الآخَرينَ
dan tidak menginginkan apa yang ada di tangan orang lain.
وفي هذا الحديثِ يُبَيِّنُ النَّبيُّ صلَّى
اللهُ عليه وسلَّم
Dalam hadits ini, Nabi ﷺ menjelaskan
المَعنى الحَقيقيَّ لِلغِنى
makna sejati dari kekayaan
الواجِبِ على الإنسانِ الاجتِهادُ في تَحصيلِه
yang wajib bagi seseorang untuk bersungguh-sungguh meraihnya,
والذي يَرفَعُ دَرَجاتِه في الدُّنيا
والآخِرةِ
yang dapat mengangkat derajatnya di dunia dan akhirat.
فيُخبِرُ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم
Maka Nabi ﷺ mengabarkan
أنَّ الغِنَى ليس كما يَظُنُّ النَّاسُ
bahwa kekayaan itu bukan sebagaimana yang disangka oleh manusia,
في كَثْرةِ المالِ، ولا في كَثْرةِ العَرَضِ
dalam banyaknya harta atau banyaknya 'aradh (perhiasan dunia),
وهو: كُلُّ ما يُنتَفَعُ به مِن مَتاعِ
الدُّنيا مِن أيِّ شَيءٍ كان
yang maksudnya adalah segala sesuatu dari kenikmatan dunia yang bisa
dimanfaatkan dari bentuk apa pun.
لأنَّ كثيرًا ممَّن وُسِّع عليه في المالِ لا
يَقنَعُ بما أُوتِيَ
Karena banyak orang yang dilapangkan rezekinya tidak merasa cukup dengan apa
yang telah diberikan kepadanya,
فهو يَجتهَدُ في الازديادِ ولا يُبالي مِن
أيْن يَأتيهِ
maka ia bersungguh-sungguh menambahnya dan tidak peduli dari mana harta itu
datang,
فكأنَّه فقيرٌ مِن شدَّةِ حِرصِه
maka seakan-akan dia tetap miskin karena sangat tamaknya.
ولكنَّ الغِنى الحقيقيَّ المعتبَرَ الممدوحَ
Namun kekayaan sejati yang dianggap dan terpuji
غِنى النَّفْسِ بما أُوتِيَتْ وقنَاعتُها
ورِضاها به
adalah kekayaan jiwa terhadap apa yang telah diterimanya, serta qana'ah dan
ridha terhadapnya,
وعدَمُ حِرصِها على الازديادِ والإلحاحِ في
الطَّلب
dan tidak tamak dalam menambah serta tidak memaksa dalam meminta.
لأنَّها إذا استَغْنتْ كَفَّتْ عن المطامِع
Karena jika jiwa telah merasa cukup, ia akan berhenti dari ambisi-ambisi
duniawi,
فعزَّتْ وعظُمتْ
maka ia menjadi mulia dan agung,
وحصَل لها مِن الحُظوةِ والنَّزاهةِ والشَّرفِ
والمدحِ
dan ia akan memperoleh kedudukan, kesucian, kehormatan, dan pujian
أكثَرُ مِن الغِنى الذي يَنالُه مَن يكونُ
فَقيرَ النَّفْسِ بحِرْصِه
yang lebih banyak daripada kekayaan yang didapat oleh orang yang miskin jiwanya
karena ketamakannya.
فإنَّه يُورِّطه في رَذائلِ الأمورِ وخَسائسِ
الأفعالِ
Karena ketamakan itu akan menjerumuskannya ke dalam perkara-perkara hina dan
perbuatan-perbuatan rendah,
لِدَناءةِ هِمَّتِه وبُخلِه
karena rendahnya cita-citanya dan sifat pelitnya,
ويَكثُرُ ذامُّه مِن النَّاسِ
dan banyak orang yang mencelanya,
ويَصغُرُ قَدْرُه عندَهم
serta nilainya menjadi kecil di mata mereka,
فيكون أحقَرَ مِن كلِّ حَقيرٍ، وأذَلَّ مِن
كلِّ ذَليلٍ
sehingga ia menjadi lebih hina dari yang paling hina dan lebih rendah dari yang
paling rendah.
وهو مع ذلك كأنَّه فقيرٌ مِن المال
Dan meskipun begitu, ia seperti orang miskin harta juga,
لكونِه لم يَستغنِ بما أُعطِيَ فكأنَّه ليس
بغَنِيٍّ
karena ia tidak merasa cukup dengan apa yang telah diberikan kepadanya, maka seakan-akan
ia bukan orang kaya.
ولو لم يكُنْ في ذلك إلَّا عدمُ رِضاهُ بما
قَضاهُ اللهُ، لكَفَاه
Dan seandainya tidak ada dalam hal itu kecuali ketidakridaannya terhadap takdir
Allah, maka itu sudah cukup (menjadi celaan).
وفي الحَديثِ: تصحيحُ النَّبيِّ صلَّى اللهُ
عليه وسلَّم للمفاهيمِ
Dan dalam hadits ini terdapat koreksi dari Nabi ﷺ terhadap pemahaman
yang keliru
وتوضيحُه للمَعاني الشَّرعيَّةِ
serta penjelasan beliau terhadap makna-makna syar'i
التي تنفَعُ المُسلِمَ في دينِه ودُنياه
وآخِرَتِه
yang bermanfaat bagi seorang Muslim dalam agama, dunia, dan akhiratnya.
Sumber: https://dorar.net/hadith/sharh/9009
Pelajaran
dari Hadits ini
Hakikat kekayaan adalah kekayaan jiwa
Kekayaan sejati bukanlah terletak pada banyaknya harta benda, melainkan pada rasa cukup dan kepuasan batin terhadap apa yang dimiliki.-
Cinta harta adalah fitrah manusia
Naluri mencintai dan mencari harta merupakan bagian dari tabiat jiwa manusia, sehingga Islam tidak menolaknya secara mutlak, melainkan mengarahkannya. -
Jiwa manusia bersifat tamak dan tidak puas
Jiwa selalu menginginkan tambahan, meskipun sudah memiliki banyak, kecuali jika dilatih dengan qana'ah. -
Islam menganjurkan sifat qana’ah
Qana’ah adalah ridha terhadap pembagian Allah dan menjadi prinsip utama dalam mengatur hubungan manusia dengan dunia. -
Orang yang tamak akan selalu merasa miskin
Meskipun hartanya melimpah, ketamakan membuat seseorang terus merasa kekurangan, dan itu membuatnya seperti orang fakir. -
Ketamakan membuka pintu kehinaan dan dosa
Orang yang rakus terhadap harta cenderung tidak peduli dari mana sumbernya, sehingga bisa terjerumus ke dalam hal-hal tercela dan haram. -
Qana’ah mendatangkan kehormatan dan kemuliaan
Orang yang merasa cukup tidak akan bergantung pada orang lain, sehingga memperoleh kedudukan mulia di mata manusia dan Allah. -
Orang yang tidak ridha dengan takdir Allah berada dalam bahaya
Ketidakridhaan terhadap pembagian Allah adalah bentuk kekufuran terhadap qadha’ dan qadar, serta menunjukkan kelemahan iman. -
Pentingnya koreksi konsep duniawi oleh Nabi ﷺ
Hadits ini mengajarkan pentingnya membetulkan pemahaman masyarakat yang terlalu materialistik, agar tidak terjebak dalam persepsi duniawi semata. - Kesejahteraan batin lebih penting dari kemewahan lahir
Rasa tenang dan cukup dalam hati adalah sumber kebahagiaan sejati, yang tidak bisa dibeli dengan uang. -
Kaya jiwa adalah kunci ketenangan sosial
Jika setiap individu memiliki qana'ah, masyarakat akan lebih harmonis, jauh dari iri, persaingan tidak sehat, dan kriminalitas berbasis ekonomi. -
Kekayaan jiwa adalah syarat dasar bagi kepemimpinan dan amanah
Seorang pemimpin atau pengelola harta publik harus memiliki kekayaan jiwa agar tidak menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi. -
Konsep kekayaan dalam Islam sangat berbeda dari kapitalisme
Hadits ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengukur kesuksesan dengan materi, berbeda dengan sistem ekonomi sekuler. -
Qana'ah sebagai perisai dari penyakit sosial seperti riya’ dan hasad
Orang yang cukup tidak akan sibuk memamerkan atau menginginkan milik orang lain, sehingga terhindar dari penyakit hati. -
Kekayaan jiwa membuka pintu sedekah dan kemurahan hati
Orang yang merasa cukup akan lebih mudah memberi kepada orang lain, bahkan ketika hartanya sedikit, karena tidak terikat pada rasa takut miskin. -
Hadits ini relevan dalam krisis ekonomi atau gaya hidup konsumtif
Dalam zaman modern dengan tekanan konsumsi dan gaya hidup mewah, pesan hadits ini menjadi solusi spiritual atas keresahan dan kecemasan finansial. -
Qana'ah adalah bentuk keimanan kepada rezeki yang telah ditetapkan Allah
Orang yang qana’ah percaya bahwa rezekinya sudah ditakar dan tidak akan tertukar, sehingga tidak gelisah mengejar yang belum tentu miliknya. -
Kekayaan jiwa adalah modal dalam menghadapi musibah dan kehilangan
Orang yang kaya jiwanya akan lebih siap menghadapi kehilangan harta atau ujian dunia karena jiwanya tidak terikat pada materi. -
Qana'ah memperkuat solidaritas sosial dan ukhuwah
Ketika tidak ada iri terhadap rezeki orang lain, hubungan sesama Muslim menjadi lebih tulus dan harmonis.
Penutup
Kajian
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang telah memudahkan kita duduk dalam majelis ilmu, mempelajari sabda Nabi ﷺ yang sarat makna dan bimbingan hidup. Hadits yang kita bahas hari ini bukan hanya menyentuh sisi keimanan, tapi juga langsung menyoroti kondisi batin dan orientasi hidup kita sehari-hari.
Melalui sabdanya, "Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa," Nabi ﷺ mengajarkan kepada kita bahwa kebahagiaan dan kehormatan tidak terletak pada apa yang kita miliki, tapi pada bagaimana hati kita menyikapinya. Betapa banyak orang yang bergelimang harta tapi gelisah, dan betapa banyak pula yang hidup sederhana namun hatinya tenang dan lapang.
Faedah hadits ini begitu agung:
✔️ Ia membentuk cara pandang yang lurus terhadap dunia.
✔️ Ia melatih hati untuk bersyukur, bukan mengeluh.
✔️ Ia menumbuhkan rasa cukup dan menjauhkan kita dari tamak.
✔️ Ia mengajarkan bahwa kemuliaan itu ada pada keridhaan kepada Allah, bukan pada banyaknya harta yang dimiliki.
Maka harapan besar dari kajian ini adalah: semoga hadits ini tidak hanya menjadi ilmu yang kita pahami, tetapi juga menjadi prinsip yang kita hidupi. Semoga mulai hari ini, kita lebih sering melihat ke dalam, bukan hanya ke luar. Kita jaga hati agar tidak silau pada dunia, dan kita rawat jiwa agar tetap merasa cukup, bersyukur, dan tenang dalam segala keadaan.
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang kaya jiwanya, lapang dadanya, dan bersih hatinya. Dan semoga dengan kekayaan hati itu, kita semakin dekat kepada Allah, semakin ringan dalam beribadah, dan semakin bijak dalam menghadapi kehidupan dunia yang fana ini.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَىٰ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ